Menyoal Moderasi Beragama, Kunci Kemajuan Dunia?

Ada oleh-oleh menarik dari Forum Lintas Agama G20 tahun 2023 yang belum lama berlalu. Praktik-praktik dalam moderasi beragama di Indonesia menjadi contoh dan dibahas bersama negara-negara peserta lainnya. Dengan tema, Satu Bumi, Satu Keluarga, dan Satu Masa Depan, moderasi beragama di negeri ini dinilai mampu melahirkan ketangguhan sosial sekaligus modalitas mewujudkan kemajuan dunia (kompas.id, 11/5/2023).

 

Harus diakui, sejak dicanangkan menjadi program pengarusutamaan dalam beragama, terlihat pemerintah sangat serius dan konsisten mewujudkan moderasi beragama. Sosialisasi pun getol dilakukan hingga menyentuh semua lapisan. Mulai dari tingkat pendidikan tinggi sampai usia dini. Hal ini berlabuh pada satu tujuan yaitu mewujudkan sikap moderat dalam beragama. Segenap warga negara di tanah air diharapkan bisa berada di pertengahan alias tidak fanatik alias berlebihan dalam agama.

 

Mengapa harus pertengahan? Mengutip laman kominfo, konon terdapat kecenderungan orang-orang yang terjebak pada pengamalan agama yang terlalu fanatik. Dengan mengatasnamakan agama, jadilah sebagian orang menebarkan caci maki, amarah, fitnah, berita bohong, memecahbelah, bahkan menghilangkan eksistensi kelompok yang berbeda. Untuk itu, mereka yang mengamalkan pemahaman agama yang berlebihan itu diharapkan mengambil jalan moderat yang dapat memanusiakan manusia (kominfo.go.id, 2019).

 

Jujur, argumen di atas terdengar merdu dan manis di telinga. Karena dikemas dengan menarik. Namun bila kita sedikit cermat, ada kejanggalan tersirat dari pesan di atas. Seruan untuk moderat seolah ingin mengirim sinyal bahwa Islam yang ideal adalah yang berjalan di tengah (wasathan), ramah, santun, anti fanatisme dan menjunjung tinggi toleransi meski di saat yang bersamaan bisa saja kemudian mengabaikan syariat.

 

Sebaliknya, Muslim taat pada syariat terlebih yang ingin kafah menjalankan aturan Penciptanya, diberi stigma radikal, menebar kebencian bahkan benih terorisme. Terlebih dengan oleh-oleh seperti yang disebut di awal tulisan, tak salah bila akhirnya publik menilai berpegang teguh pada Islam yang murni hanya menjadikan bangsa ini tertinggal jauh dari negara lain di dunia. Benarkah ini yang diinginkan? Padahal bukan rahasia lagi bahwa Islam itu satu kesatuan, tak ada istilah pinggir, tengah ataupun ujung. Syariatnya tidak pula untuk diamalkan sebagian lalu ditinggalkan sebagian lainnya. Bukankah Keseluruhannya diturunkan Sang Khaliq, Maha Pencipta alam semesta sebagai rahmat bagi seluruhnya, dengan catatan harus diambil secara kafah?

 

Allah Swt. berfirman,
Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam keseluruhan, dan jangan kamu turut langkah-langkah setan. Sesungguhnya setan itu musuh yang nyata bagimu.” (QS Al Baqarah:208). 
Imam Ibnu Katsir saat menjelaskan ayat ini, bahwasanya Allah memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang beriman kepada-Nya dan membenarkan Rasul-Nya, hendaklah mereka berpegang kepada tali Islam dan seluruh syariatnya serta mengamalkan perintah meninggalkan semua larangan dengan segala kemampuan yang ada pada diri mereka (Tafsir Ibnu Katsir).

 

Sungguh ironis, di negeri dengan pemeluk Islam terbesar dunia, justru ajaran Islam digiring ke arah moderat. Keinginan umat untuk kembali menapak sunah Rasulullah saw. dan para sahabat secara totalitas dianggap angin  lewat. Padahal sami’na wa atho’na (Kami dengar dan taat) terhadap segala yang datang dari Allah dan Rasulullah saw. sejak berabad lalu hingga akhir zaman sudah seharusnya jadi prinsip umat, tidak untuk diganggu gugat.

 

Apalagi jika menyimak sejarah, masa keemasan dunia tercapai ketika Islam diterapkan mengikuti teladan yang diwariskan Baginda Nabi saw., berikut dengan sistem pemerintahan kekhilafahannya. Siapa pun tak bisa mengingkari kesejahteraan dan kemakmuran dunia di masa kejayaan Umayyah, Abbasiyah hingga Utsmaniyah. Bahkan Barat, diakui oleh para sejarawan banyak berutang besar terhadap Islam.

 

Will Durrent, salah satu sejarawan terkemuka di dunia menuliskan: Agama (Ideologi) Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka (The Story of Civilization). 

 

Dari Jacques C.Reister, seorang sejarawan lainnya juga mencatat,
bahwa selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi.

 

Seolah tak ingin ketinggalan, seorang profesor Studi Arab dan Islam pada Universitas Edinburgh, William Montgomery Watt juga menyatakan cukup beralasan jika kita (Barat) menyadari bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Sebab tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa. Satu lagi di era modern diungkap oleh Barack Obama saat masih menjabat Presiden Amerika. Ia katakan, peradaban dunia berhutang besar pada Islam.

 

Berseberangan dengan fakta sejarah di atas, kerusakan, kemiskinan dan kesengsaraan umat manusia malah terjadi seakan tak ada habisnya. Sebut saja misalnya jumlah pengikut penyimpangan seksual seperti transgender, biseks dan homoseksual kini sudah menyentuh angka 1 juta orang (hidayatullah.com, 2022). Apa kabar kemiskinan? Untuk diketahui, jumlah penduduk miskin pada September 2022 masih sebesar 26,36 juta orang. (bps.go.id, 17/1/2023),  fantastis !

 

Bicara kemajuan generasi, lebih miris lagi. Awal tahun ini, BKKBN menemukan 50 ribu anak menikah dini karena mayoritas hamil di luar nikah (cnnindonesia, 18/1/2023).  Menurut data Kemdikbudristek, pada tahun ajaran 2020/2021 terdapat 83,7 ribu anak putus sekolah di seluruh Indonesia. Dari media asing yang bisa diakses secara daring, terungkap tingkat pengangguran terbuka hasil Sakernas Agustus 2022 sebesar 5,86 persen. Artinya dari 100 orang angkatan kerja yang notabene anak-anak bangsa, terdapat sekitar enam orang penganggur, dan masih banyak lagi realitas yang karena terbatasnya halaman tak bisa dituliskan di sini.

 

Seluruh hal tersebut di atas lebih dari cukup membuat publik bertanya, inikah kemajuan yang dimaksud? Kalau iya, tentu sangat memprihatinkan. Jika tidak, berarti saatnya untuk berbenah. Mari kembali mengkaji dan memahami ajaran Islam sebagai cermin keimanan diri. Agar tak lagi merasa asing atau bahkan takut terhadap syariat Allah yang kafah. Sudah terbukti dengan Islam, kesejahteraan, kemakmuran dan keamanan hadir hingga level yang tak terbandingkan sepanjang peradaban manusia. Bukan dengan moderasi. Wallaahu a’lam.

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *