RUU Kesehatan dan Ancaman Liberalisasi Kesehatan
RUU kesehatan saat ini sedang pada tahap pembahasan antara DPR RI dengan pemerintah. Meskipun kementerian kesehatan mengusulkan tambahan pasar yang berkaitan dengan perlindungan hukum untuk dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya, akan tetapi dalam rancangan undang-undang kesehatan masih ada persoalan serius di dalamnya. Melalui RUU ini pemerintah akan mempermudah dokter asing maupun dokter diaspora untuk beroperasi di dalam negeri.
Dilansir dari Katadata.co.id, aturan ini tertuang dalam draft revisi undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Draft tersebut mengatur mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan asing yang dapat beroperasi dalam negeri dengan syarat yang diatur pada pasal 233 dan pasal 234. Syarat pertama dalam pasal 233 adalah dokter luar negeri tersebut harus lolos evaluasi kompetensi. Evaluasi kompetensi disini berupa kelengkapan administratif dan penilaian kemampuan praktik. Setelah itu mereka wajib memiliki surat tanda registrasi sementara (STR) dan surat izin praktek (SIP), tetapi pemerintah akan membebaskan kewajiban kepemilikan STR sementara para dokter asing yang memberikan pendidikan dan pelatihan di dalam negeri dengan syarat harus mendapatkan persetujuan dari Menteri Kesehatan melalui penyelenggara pendidikan dan pelatihan. Sementara menurut pasal 234 RUU kesehatan persyaratan kepemilikan STR dan SIP dapat diterobos khusus dokter asing spesialis maupun dokter diaspora spesialis.
Impor dokter asing bukan kali ini saja di wacanakan pemerintah. Di tahun 2020 lalu, pemerintah telah merencanakan membuka program ini dengan alasan agar rakyat tidak lagi berobat ke luar negeri sehingga hal ini akan menguntungkan Indonesia dengan terjaganya devisa negara dan kini masuknya dokter asing ke Indonesia akan memiliki aturan kuat melalui RUU kesehatan.
Kebijakan pemerintah ini sejatinya konfirmasi bahwa pemerintah gagal mencetak sumber daya manusia di bidang kesehatan seperti dokter ahli yang berkualitas dan memadai, padahal negeri ini tidak kekurangan sumber daya manusia lulusan pendidikan kesehatan jika pemerintah fokus memberikan pendidikan berkualitas yang ditunjang oleh fasilitas pendidikan yang terbaik pula.
Maka tentu mereka akan berdaya di negeri ini bahkan negara tidak perlu membuka peluang bagi dokter asing untuk bekerja di negeri ini, sebab hal tersebut hanya akan menambah besar persaingan tenaga kerja di negeri ini yang berujung pada bertambahnya jumlah pengangguran.
Namun hal tersebut tidak menjadi pilihan, hal ini wajar terjadi sebab kesehatan dalam perspektif negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler adalah jasa yang harus dikomersialkan. Negara akan berhitung untung rugi ketika membuat kebijakan untuk menjamin berlangsungan komersialisasi. Tak heran RUU kesehatan ini dinilai syarat dengan upaya meliberalisasi dan mengkapitalisasi kesehatan. Padahal persoalan kesehatan di Indonesia sebenarnya masih banyak dan sangat kompleks, namun RUU kesehatan justru tidak menawarkan solusi yang komprehensif dan menyentuh akar persoalan.
RUU Kesehatan tidak menawarkan upaya mewujudkan pelayanan yang berkualitas dan mudah bagi rakyat, tetapi justru merugikan kepentingan rakyat termasuk para tenaga kesehatan. Inilah fakta buruknya kepengurusan rakyat di bawah penerapan sistem kapitalisme sekuleris. Berbeda dengan sistem peraturan dalam Islam, kehadiran penguasa atau Khalifah itu sebagai pelaksana syariah secara kafah yaitu untuk menjamin pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh warga negaranya baik muslim ataupun non muslim, kaya ataupun miskin. Sebab dalam pandangan Islam kesehatan adalah kebutuhan pokok masyarakat dan menjadi tanggung jawab negara bukan jasa untuk dikomersialkan.
Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang artinya “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (Hadits Riwayat Bukhari). Sehingga apapun alasannya tidak dibenarkan dalam Negara Khilafah ada program yang bertujuan mengkomersialisasi pelayanan kesehatan, baik dalam bentuk investasi atau menarik bayaran kepada rakyat untuk mendapatkan untung sebagai pelayan rakyat. Negara bertanggung jawab langsung dan sepenuhnya terhadap ketersediaan fasilitas kesehatan baik dari segi kuantitas serta kualitas terbaik dengan para dokter ahli obat-obatan dan peralatan kedokteran yang dibutuhkan serta sebarannya hingga ke pelosok negeri.
Negara wajib mengelolanya secara langsung di atas prinsip pelayanan sebagaimana perbuatan Rasulullah Saw sebagai penanggung jawab dan pengatur langsung kemaslahatan publik di Madinah, termasuk masalah pelayanan kesehatan pembiayaan seluruh pelayanan kesehatan. Khilafah tidak akan membebani publik, rumah sakit dan insan kesehatan sepeserpun. Pembiayaan pelayanan kesehatan tersebut diambil dari Baitul Mal , dengan pemasukan sangat besar sebab diatur oleh sistem ekonomi Islam. Demikian pula pembiayaan untuk pendidikan calon dokter, sehingga tersedia dokter umum dan ahli secara memadai, juga lembaga riset laboratorium industri, farmasi dan biaya apa saja yang dibutuhkan bagi terjaminnya pelayanan kesehatan gratis, berkualitas terbaik, mudah diakses oleh siapapun, kapanpun dan dimanapun. Para dokter dan insan kesehatan bahkan memiliki ruang yang memadai untuk mendedikasikan keahlian bagi kesembuhan dan keselamatan jiwa masyarakat. Tidak akan ada lagi beban agenda kesehatan dan persaingan dengan dokter-dokter asing karena negara akan mendahulukan pemanfaatan sumber daya manusia. Dalam negeri inilah fakta jaminan kesehatan Khilafah buah dari penerapan Syariah Islam kaffah yang bersumber dari Allah Swt. Wallahu a’lam bish showab.
Komentar