Balada 300T, Di Mana Gerangan Sikap Amanah dan Integritas?
Anda tentu sepakat, jabatan dan kekuasaan itu adalah amanah. Berupaya menjalankan amanah dengan sebaik-baiknya menunjukkan wujudnya integritas. Keduanya bagai panci dan tutupnya, saling mengisi dan melengkapi. Namun apa jadinya jika kedua hal tersebut tak lagi hadir di sebagian besar aparat sipil negara yang idealnya wajib amanah dan berintegritas? Bahkan publik melalui kacamata awamnya menilai dua sikap di atas kini nyaris sirna diterpa angin cuan yang berembus kencang.
Bagaimana tidak, semua berawal dari pernyataan salah satu Menteri Koordinator negeri ini saat berbicara di Universitas Gadjah Mada (UGM) dan Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Terungkap adanya transaksi pencucian uang sebesar 300 triliun rupiah di lingkungan Kementerian Keuangan. Berdasarkan penelusuran data, indikasi akan hal itu sebenarnya telah dilaporkan sejak tahun 2009 hingga tahun lalu (cnnindonesia, 8/3/2023).
300 triliun? Wow, angka yang fantastis. Terbayang sebanyak apa sekolah yang bisa direnovasi, rumah sakit yang bisa dibangun, atau jembatan yang diperbaiki agar tak ada lagi siswa yang terpaksa bertaruh nyawa menyeberang sungai demi bisa sampai di sekolah. Sungguh ironis, sebagai instansi dengan besar tunjangan di luar gaji pegawai paling tinggi dibandingkan instansi pemerintah lainnya, siapa sangka di tempat yang sama kebocoran anggaran sampai ratusan triliun justru terjadi. Mengutip laman daring internasional, tunjangan ASN Kementerian Keuangan diatur dalam Peraturan Presiden (Perpres) 156/2014, di mana tunjangan terendahnya yakni sebesar Rp 2,57 juta untuk kelas jabatan terendah, dan sebesar Rp 46.9 juta untuk kelas jabatan 27 (cnbcindonesia.com, 20/9/2022).
Bisa jadi realitas inilah yang membuat Bapak Menko akhirnya gemas dan menyingkap kasus 300T yang langsung viral ke mana-mana setelah belasan tahun hanya mengendap di lembar-lembar laporan dan dokumen. Apalagi pencucian uang dan korupsi maupun manipulasi bak setali tiga uang alias sami mawon. Sama-sama menyembunyikan uang yang bukan haknya. Bila pelakunya pejabat publik, lebih besar kemungkinannya uang rakyatlah yang ditilap.
Merujuk Wikipedia, tindak pencucian uang adalah suatu upaya perbuatan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal usul uang/dana atau harta kekayaan hasil tindak pidana melalui berbagai transaksi keuangan agar uang atau harta kekayaan tersebut tampak seolah-olah berasal dari kegiatan yang sah/legal. Luar biasa bukan? Seolah masih kurang saja penderitaan rakyat di penjuru negeri, masih harus ditambahkan masalah pencucian uang dan penyelewengan pajak. Padahal jika seorang aparat sipil, abdi negara sudah melakukan tindak khianat terhadap amanah yang diberikan, bagaimana ia bisa berkhidmat pada kepentingan rakyat?
Lebih jauh, hal tersebut wajar saja, sebab demokrasi yang digadang-gadang sebagai solusi problem bangsa selama ini memang tak kenal halal dan haram. Sekularisme yang menjadi asasnya menolak campur tangan syariat dari Sang Maha Pencipta. Maka lambat laun perilaku mengambil sesuatu yang bukan haknya menjadi hal biasa. Rasa takut karena yakin akan pengadilan di hari kiamat seolah menguap entah ke mana.
Bertentangan dengan hal itu, Islam justru mendasarkan segala sesuatunya pada iman. Yaitu keyakinan yang kokoh pada Allah SWT., Rasulullah saw. dan risalah Nabi juga hari perhitungan kelak. Konsekuensinya, menuntut untuk selalu tunduk pada syariat. Bukan memperturutkan akal manusia dan hawa nafsu seperti pada demokrasi. Namun semata taat pada syariat Allah yang menghadirkan solusi segala problem kehidupan, termasuk dalam perkara yang mengatur sikap pemimpin atau pemerintahan dalam mengurusi urusan rakyatnya. Kemaslahatan rakyat hal utama, bukan lantas hanya memperkaya diri dan golongan.
Dalam salah satu hadits, Rasulullah saw. mewanti-wanti agar muslim memilih pejabat yang amanah. Dari Abu Dzar Al-Ghifari ra. yang mengutip sabda Rasulullah saw.,”Wahai Abu Dzar, kamu ini lemah (untuk memegang jabatan) padahal jabatan merupakan amanah. Pada hari kiamat ia adalah kehinaan dan penyesalan, kecuali bagi siapa yang mengambilnya dengan benar dan melaksanakan tugas dengan baik.” (HR. Muslim)
Demikianlah ketaatan pada syariat akan menumbuhkan suasana keimanan di penjuru negeri. Setiap orang akan merasa selalu diawasi oleh Dzat yang Maha Melihat dan tak pernah tidur. Senantiasa sadar bahwa akan ada hisab atas segala amal dan perbuatan manusia. Kelak di hari yang tiada naungan kecuali naungan-Nya. Hanya saja yang demikian bisa terwujud dengan satu syarat, yaitu tegaknya syariah secara kaffah. Niscaya akan terlahir sosok pejabat yang jujur dan amanah. Pantang melakukan korupsi, cuci uang, terlebih menerima suap dan semua yang melanggar tuntunan Rasul saw. Salah satu buktinya yang fenomenal tercatat dalam sejarah, ketika khalifah Umar bin Abdul Aziz menutup hidungnya saat membagi-bagikan minyak wangi karena khawatir akan mencium sesuatu yang bukan haknya. Masya Allah. Wallaahua’lam.
Komentar