Selamatkan Lingkungan Dari Keserakahan Kapitalisme

Komisi IV DPR RI mendesak Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menindaklanjuti laporan kerusakan lingkungan oleh PT Freeport di Mimika, Papua Tengah. Melalui Wakil Ketua, Anggia Erma Rini menyatakan, pihaknya mendapat laporan atas terjadinya pencemaran dan kerusakan lingkungan akibat permasalahan limbah tailing. Limbah ini muncul dari kegiatan operasional penambangan yang dilakukan PT Freeport.

 

KLHK diingatkan untuk bersikap objektif dalam menindaklanjuti laporan masyarakat adat Mimika. Anggia meminta laporan tindak lanjut tersebut paling diterima pada 15 Februari 2023. Menurut Ketua Kelompok Khusus DPR Papua, tiga Dirjen KLHK sudah bertemu dengan manajemen PT Freeport pada 11 Februari yang lalu dan berencana akan kembali pada tanggal 13 Februari 2023 (Jubi.id, 13/2/2023).

 

Investasi asing melalui perusahaan multinasional memang seringkali memberikan banyak dampak negatif bagi negara. Kontribusi terhadap pencemaran dan kerusakan lingkungan yang mengancam keselamatan manusia dan kelestarian alam adalah salah satu harga yang harus dibayar atas investasi ini.

 

Beberapa perusahaan multinasional tercatat pernah melakukan pencemaran dan kerusakan lingkungan diantaranya PT Newmont Minahasa Raya di Teluk Buyat, PT Exxon Mobil Oil Indonesia di Nangroe Aceh Darussalam dan PT TEP Australia (Ashomre Cartier) di Laut Timor. Perusahaan multinasional lain yang saat ini juga bermasalah adalah PT Freeport.

 

Freeport merupakan anak perusahaan Freeport Mcmoran Copper & Gold Inc. yang berpusat di Phoenix, Arizona, Amerika Serikat yang telah melakukan penambangan selama puluhan tahun di Papua. Kasus pencemaran dan kerusakan lingkungan yang ditimbulkan akibat proses penambangan ini telah bergulir sejak tahun 2000.

 

Pelanggaran Freeport banyak diberitakan di berbagai media nasional dan internasional. Berbagai pelanggaran itu diantaranya adalah deforestasi dan polusi. Dimana tailing yang merupakan material sisa yang tertinggal setelah proses pemisahan mineral emas dan perak  digelontorkan langsung ke berbagai sungai di wilayah Papua.

 

Diantaranya Sungai Aghawagon, Otomana, hingga Ajkwa, tidak hanya itu sungai Minajerwi, Yamaima, Nipa, Kopi, dan Sempan mengalami pendangkalan akibat sedimentasi limbah Freeport. Sungai-sungai ini bahkan mengalami penyempitan di muara sungai hingga menjadi daratan. Lebih dari enam ribu jiwa di tiga distrik menerima dampak langsung kerusakan lingkungan sejak Freeport beroperasi.

 

Masyarakat suku Kamoro yang mendiami Kampung Pasir Hitam secara turun temurun terpaksa kehilangan tanah leluhurnya karena digusur tailing  dan deforestasi Freeport. Tak hanya manusia, habitat buaya di kawasan sungai dan muara ikut hancur. Kondisi ini mengakibatkan buaya-buaya keluar dan memasuki pemukiman warga. Beberapa warga bahkan kehilangan nyawa dan terluka akibat serangan buaya-buaya ini (Betahita.id, 07/10/2022).

 

Kapitalisme Biang Kerok Kerusakan

 

Meski telah diberikan sanksi administratif kepada Freeport, nyatanya tak memberikan efek jera karena pencemaran dan kerusakan lingkungan masih terus berlangsung hingga saat ini. Padahal kerusakan lingkungan jelas-jelas merupakan ancaman bagi warga sekitar tambang yang seharusnya tinggal dengan aman serta hidup dengan baik dan makmur.

 

Diperlukan peran dan keseriusan negara dalam bertindak serta kebijakan tegas dalam rangka melindungi dan menjamin hajat hidup mendasar bagi warga negaranya. Namun Pemerintah Indonesia selaku pemegang kekuasaan tertinggi malah kehilangan kedaulatan untuk menekan Freeport.

 

Justru pemerintah seolah-olah melakukan pengabaian terhadap masyarakat Papua dengan tidak segera menindaklanjuti laporan dari warganya. Audit lingkungan yang tidak transparan dan tertutupnya ruang publik untuk membahas dan menuntut pencemaran serta kerusakan lingkungan akibat penambangan Freeport, menimbulkan kecurigaan dan kerancuan informasi di tengah masyarakat.

 

Inilah kebijakan yang dihasilkan oleh sistem kapitalisme, dimana kebijakannya memberikan ruang bebas tanpa batas kepada para korporat untuk mengelola sumber daya alam atas nama investasi tanpa memperhatikan Amdal (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup). Menjadikan korporasi lepas tanggungjawab terhadap pengelolaan limbah berbahaya yang bisa meracuni rakyat dan merusak ekosistem. Bahkan tak jarang pengelolaan limbah industri menjadi beban biaya negara.

 

Paradigma yang dibangun pemerintah adalah sistem pembangunan yang menekankan sektor pertumbuhan ekonomi yang ditopang oleh investasi modal asing secara besar-besaran. Memang industri yang dikembangkan tidak berbasis atau bertumbuh pada sektor pertambangan saja tetapi juga sektor pembangunan ekonomi masyarakat.

 

Namun lagi-lagi akses dan aset sumber daya alam hanyalah dimiliki oleh kaum kapitalis sebagai penguasa dan pengusaha. Dalam sistem kapitalisme, negara hanya bertindak sebagai regulator memuluskan kepentingan korporasi melalui pengesahan UU. Alhasil kampanye pelestarian lingkungan dalam sistem ini hanya omong kosong belaka.

 

Islam Adalah Solusi

 

Sebagai sebuah ideologi, Islam memiliki sistem berbeda yang bersifat khas. Di dalamnya ada konsep bagaimana mengelola sumber daya alam dan peruntukkannya. Menurut Islam, hutan, air, dan energi yang terkandung di dalam bumi termasuk kepemilikan umum. Maka pengelolaannya tidak boleh diserahkan kepada swasta (corporate based management).

Tetapi wajib dikelola oleh negara (state based management) dimana hasilnya dikembalikan kepada rakyat dalam berbagai bentuk benda yang diperlukan atau dalam wujud layanan berupa kebutuhan dasar utama yaitu sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan secara gratis, murah lagi berkualitas serta infrastruktur yang memadai.

 

Keselamatan rakyat sangat erat kaitannya dengan lingkungan tempat dimana mereka tinggal. Karena itu negara bertanggungjawab menciptakan lingkungan yang sehat dan baik. Negara wajib menghindarkan rakyat dari kerusakan lingkungan termasuk dari akibat limbah industri yang tidak dikelola dengan baik.

 

Dalam Islam kelestarian lingkungan bukan hanya dalam tataran konsep atau kampanye kosong ala kapitalisme tapi terwujud nyata dalam kehidupan muslim. Seperti yang dicontohkan Rasulullah SAW ketika membangun Hima al-Naqi yang terletak di dekat kota Madinah. Sebagai kawasan hima, Nabi SAW melarang siapapun berburu binatang dalam radius empat mil dan dilarang merusak tanaman dalam radius dua belas mil.

 

Khalifah Umar bin Khattab juga pernah membangun hima, yakni Hima al-Rabadha yang dimanfaatkan untuk menanam kelapa sawit dan ladang untuk makanan ternak. Dalam pemanfaatan kawasan hima ini, Khalifah Umar mendahulukan kepentingan umum. Hima ini terbuka untuk seluruh rakyat yang membutuhkan tanpa terkecuali.

 

Hima merupakan kawasan konservasi alam baik untuk kehidupan binatang liar maupun tumbuhan. Pembangunan hima adalah dasar dari undang-undang lingkungan di dalam Islam sebagai suatu usaha untuk melindungi hak-hak sumber daya alam asli dan kontribusi Islam dalam melestarikan lingkungan hidup.

 

Inilah contoh nyata bahwa para pemimpin Islam berusaha melestarikan lingkungan dan tidak mengambil keuntungan dari warganya. Jangankan menipu rakyat, mengorbankan alam dan hewan tidak akan mereka lakukan. Karena kepemimpinan dalam Islam berlandaskan keimanan yang kokoh. Para pemimpin Islam paham betul bahwa ada pertanggungjawaban besar di akhirat terhadap kepemimpinannya.

 

Sudah seharusnya penguasa negeri yang mayoritas muslim ini meneladani Rasulullah SAW dan para pemimpin Islam. Mellindungi dan menjaga rakyat serta lingkungannya. Tak berani bertindak sewenang-wenang karena Allah SWT telah mengamanatkan mereka menjadi pemimpin atas orang-orang yang dipimpinnya. Seperti sabda Nabi SAW ,”Imam (pemimpin) itu pengurus rakyat dan akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyat yang diurusnya. “ (HR. Bukhari dan Muslim). Wallahu’alam

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *