Lagi Traficking, Menilik Kebijakan Negara Makin Pusing
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan anak, Bintang Puspayoga mengatakan, “Negara memiliki peran besar dalam menyikapi pelanggaran HAM yang dialami oleh PMI (Pekerja Migran Indonesia). Indonesia tetap berkewajiban dan memiliki tanggung jawab penuh atas pemenuhan hak dan perlindungan terhadap warganya, tidak terkecuali para PMI.” Pernyataan Bintang terkait PMI yang meminta bantuan untuk dipulangkan dari Arab Saudi. Bintang juga menambahkan, Indonesia sebagai salah satu negara anggota PBB juga mengemban penuh atas segala perjanjian yang telah disepakati, salah satunya perlindungan mengenai HAM dalam konvensi-konvensi-nya, seperti Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi ILO, dan Konvensi CEDAW (Republika co.id, 28/1/2023).
Pekerja Migran disebut sebagai pahlawan devisa, namun nasibnya tak pernah beruntung, selalu ada persoalan dalam proses penampungan, keberangkatan hingga ketika sudah sampai di negara tujuan. Sebagaimana yang dilaporkan oleh BP2MI (Badan Pelindungan Pekerja Migran Indonesia) Provinsi Jawa Timur dengan melakukan penggerebekan tempat penampungan CPMI ( Calon Pekerja Migran Indonesia) ilegal yang mengaku sebagai LPK di Tulungagung. Pada hari yang sama, Kepala BP2MI, Benny Rhamdhani mengatakan pihaknya juga sedang mengawal kasus 87 calon pekerja migran Indonesia (CPMI) yang hampir menjadi korban TPPO (Tindak Pidana Perdagangan Orang) melalui Bandara Juanda, Jawa Timur.
Tim dari Dinas Nakertras Propinsi Jawa Timur dan petugas gabungan dari Imigrasi Bandara Juanda, Dansatgaspam Bandara Juanda berhasil menggagalkan 87 orang CPMI non-prosedural (tidak dilengkapi dokumen lengkap) yang hendak diberangkatkan melalui Bandara Juanda, Jawa Timur pada Sabtu (28/1/2023) menuju negara Timur Tengah (republika.co.id, 20/1/2023).
Traficking Terus Ada, Negara Gagal Menjamin Kesejahteraan Rakyat
Traficking kembali terjadi. Hal ini menunjukkan negara belum berhasil mencegah dan melindungi rakyatnya. Yang paling mencolok kesejahteraan tidak terwujud, sebaliknya Kemiskinan hingga tingkat ekstrem menjadi salah satu faktor yang memicu terjadinya traficking. Data yang dilaporkan BP2MI, jumlah pekerja migran Indonesia (PMI) yang ditempatkan di luar negeri sebanyak 200.761 orang pada 2022. Jumlah tersebut melesat 176,44% dibandingkan setahun sebelumnya yang sebanyak 72.624 orang.
Berdasarkan jenis kelaminnya, 122.147 PMI yang ditempatkan di luar negeri merupakan perempuan. Sementara, PMI berjenis kelamin laki-laki yang ditempatkan di luar negeri sebanyak 78.614 orang (DataIndonesia.id, 9/2/2023). Secara logika, mengapa angka yang ditunjukkan lebih banyak perempuan? Pertama tentulah karena perempuan tenaga kerja murah, terampil, mudah dan paling memungkinkan untuk dipekerjakan di saat lapangan pekerjaan bagi pria tidak lagi mudah diakses.
Pasca Pandemi Covid-19, ekonomi dunia jeblok, karena banyak perusahaan yang gulung tikar. Hal ini akibat sistem ekonomi yang sedang diterapkan adalah kapitalisme. Sistem ekonomi yang liberal, berbasis tidak hanya pada sektor ekonomi riil namun juga non riil, sehingga yang terwujud justru balon ekonomi yang bakal meledak pada saatnya menjadi inflasi yang makin memperparah keadaan yang sebelumnya sudah sulit.
Kapitalisme mendudukkan peran negara hanya sebagai regulator kebijakan, sebab para pemilik kapital telah berhasil menguasai penguasa sebuah negeri untuk tunduk kepada kehendak mereka akibat adanya balas budi politik. Sudah jadi rahasia umum, duduknya para penguasa di kursi mereka hari ini bukan upaya yang gratis. Namun berbayar dan harus diganti dengan diluluskannya kehendak para pemilik modal itu. Rakyat tidak menjadi fokus, sebab, rakyat bukan obyek riayah (pengurusan) melainkan masuk dalam faktor produksi yang jika dianggap tidak produktif, entah karena kualitas yang tidak sesuai ataupun terlalu mahal akan dilepas dan diganti dengan yang lain.
Sempitnya lapangan pekerjaan juga didukung dengan undang-undang yang memudahkan tenaga kerja asing masuk ke Indonesia, dari mulai pengawas hingga butuh kasar. Semisal Omnibuslaw atau UU cipta kerja yang baru saja diresmikan oleh Presiden Joko Widodo. Pendidikan di Indonesia yang dilinkkan dengan pekerjaan belum mampu menyerap maksimal, padahal yang disediakan pun hanya sebatas buruh.
Maka, tak ada pilihan lain ketika rakyat harus bertahan, selain perempuan yang harus keluar dari rumahnya, dari kehangatan keluarga dan anak-anaknya untuk menggantikan tugas ayah, suami atau wali menjadi tulang punggung. Padahal, jika perempuan yang bekerja baik di dalam maupun di luar negeri tentulah risikonya tidak kecil. Bahkan dampak berkelanjutan akan sangat mengerikan, dari keluarga yang akhirnya porak poranda hingga masyarakat yang sakit karena tindak kriminal yang kian merajalela.
Islam Solusi Hilangkan Traficking dan Menjaga Keutuhan Keluarga
Dalam pandangan Islam, negara seharusnya mampu melakukan pencegahan yang lebih komprehensif. Tak sekadar mengawal kasus perkasus tapi mencari cara terhakiki untuk menyelesaikan hingga ke akarnya. Sebab, masalah perdagangan manusia ini tak pernah mencapai titik akhir, berbagai perundingan yang dilakukan organisasi Internasional hanya berakhir pada kesepakatan HAM (Hak Asasi Manusia) yang faktanya tak memiliki legitimasi internasional, karena bergantung pada penafsiran masing-masing negara. Terutama negara adidaya hari ini.
Dalam konvensi-konvensi-nya, seperti Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (DUHAM), Konvensi ILO, dan Konvensi CEDAW dimana Indonesia tunduk patuh kepadanya sejatinya hanyalah ilusi. Organisasi internasional itu, misal PBB tak pernah bersungguh-sungguh membantu penerapan hak asasi kepada semua negara yang menjadi anggotanya. Bahkan negara-negara maju itu adalah eksekutor hilangnya HAM bagi negara-negara berkembang. Mereka sejatinya hanya ingin mengontrol hegemoni kapitalisme yang mereka emban itu lestari. Apapun yang terjadi, dunia ditipu dengan kata “perdamaian” , dengan terus menerus menyuntikkan dana dunia ( IMF, World Bank) dalam bentuk utang dan investasi.
Kerakusan investor asing pengemban kapitalisme samasekali tak peduli apakah rakyat dimana proyek mereka berada miskin atau kaya. Profit oriented satu-satunya tujuan perusahaan multinasional ini. Ketamakan mereka benar-benar hanya mengeksploitasi kekayaan alam tanpa memperhitungkan dampak limbah maupun sosial masyarakat. Disinilah urgensitas negara sebagai wakil rakyat untuk mengelola SDA dan mengembalikan hasil pengelolaan kepada rakyat yaitu menjamin sepenuhnya kebutuhan pokok rakyat.
Dalam Islam, negara, yang disebut Daulah Khilafah wajib menciptakan kesejahteraan rakyat individu per individu. Kesejahteraan akan menghindarkan diri dari kejahatan. Selain itu, keimanan yang menjadi asas negara akan menjadikan setiap individu jauh dari sifat serakah sehingga tidak akan menghalalkan segala macam cara untuk meraih kekayaan. Dari status negara sebagai wakil rakyat inilah yang kemudian menjamin kepastian kebutuhan pokok rakyat dari mulai sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamanan bisa diakses dengan baik.
Sanksi hukum pun jelas dan menjerakan. Hari ini kriminalisasi kian sering terjadi, sebab memang pendapatan rakyat kian minim, sementara biaya hidup makin tinggi. Negara malah menyusahkan bahkan memutar balik fakta bahwa pembiayaan oleh negara untuk rakyatnya membebani, tidak mandiri, salah sasaran dan lain sebagainya. Rasulullah Saw bersabda,”Sesungguhnya kepemimpinan merupakan sebuah amanah, di mana kelak di hari kiamat akan mengakibatkan kerugian dan penyesalan. Kecuali mereka yang melaksanakannya dengan cara baik, serta dapat menjalankan amanahnya sebagai pemimpin.” (HR. Muslim). Wallahu a’lam bish showab.
Komentar