Limbah Tailing, Imbas Undang Asing
John NR Gobai, anggota DPR Papua dari daerah pengangkatan Meepago, menceritakan bagaimana perubahan terjadi di kawasan Kokonao, Kabupaten Mimika, untuk menggambarkan kerusakan lingkungan yang terjadi di kawasan itu, dimana limbah tailing PT Freeport menyebar luas dan menimbulkan pengendapan hingga ke Mimika Barat.
“Pada waktu zaman Belanda, sebelum Freeport ada, misalnya di Kokonao, kapal bisa sandar di pinggiran Kokonao. Sekarang, orang mau berpergian, itu dia harus menghitung pasang surutnya air. Ini Kokonao jauh dari areal Freeport,” kata Gobai.
Gobai menerangkan, limbah sisa aktivitas tambang PT Freeport selama puluhan tahun, terbawa melalui sungai-sungai di Mimika bahkan ke laut mengakibatkan pendangkalan di muara-muara sungai, baik yang ada di dalam area Freeport maupun yang di luar. Setidaknya, masyarakat di tiga distrik di Kabupaten Mimika, yaitu Mimika Timur Jauh, Jita dan Agimuga, merasakan dampaknya.
Adolfina Kuum, koordinator umum Komunita Peduli Lingkungan Hidup (Lepemawi) Timika, juga mengatakan bahwa limbah Tailing yang mengisi sungai-sungai membuat perahu nelayan tidak bisa bergerak dan banyak kesulitan hidup yang harus dihadapi masyarakat, diantaranya krisis air bersih. Pihaknya sudah memperjuangkan hak masyarakat adat sejak 2013 lalu namun belum menemui hasil. “Bayangkan, satu hari mama-mama bisa habiskan lima jam untuk jalan, cari sumber air bersih untuk melakukan aktivitas air, sebagai pendukung kehidupan mama-mama dalam rumah tangga,” ujar Adolfina (voaindonesia.com, 1/2/2023).
Setelah komisi IV DPR RI menerima aspirasi dari DPR Papua tersebut, anggota Komisi IV DPR RI Sulaeman L Hamzah mengatakan,“Dari dua sungai yang tadinya itu jadi alur pembuangan tailing ternyata sekarang melebar sampai jauh. Bahkan menutup sampai ke pulau dan masyarakat praktis tidak bisa jalan leluasa seperti sebelumnya.” Komisi IV menyatakan akan melakukan peninjauan ke Papua untuk mengetahui dampak kerusakan lingkungan dari limbah yang disebabkan oleh Freeport.
Sebab, menurut Sulaeman pencemaran limbah tailing telah memberi dampak terhadap mata pencaharian masyarakat setempat, karena laut tercemar hingga menimbulkan penyakit, terutama bagi anak-anak kecil yang kulitnya sensitif. Ia menambahkan masyarakat juga kesulitan untuk mencari air bersih sebab mereka harus mencari ke tempat yang jauh, ditambah akses jalan yang sulit karena adanya pendangkalan sungai (antaranews.com, 2/2/2023).
Kerusakan Lingkungan Buah Kerakusan Pengelolaan SDA oleh Asing
Sungguh disayangkan, limbah Tailing akhirnya memberi dampak yang tidak sepele, pengelolaan SDA ala sistem kapitalis terbukti memberikan dampak buruk terhadap lingkungan. Gara-gara mengundang asing atas nama investasi, kita yang menanggung akibat buruknya, padahal akibat baiknya pun tidak pernah didapatkan.
Faktanya, di sekitar pertambangan, kehidupan masyarakat asli Papua tetap dalam kemiskinan dan kebodohan. Kekayaan alam yang seharusnya bisa mereka nikmati justru limbahnya yang menyakiti. Ironi! Keserakahan telah melalaikan penjagaan lingkungan yang penting untuk umat manusia, dan bahkan membahayakan kehidupan. Dimana negara?
Rasanya harapan para anggota dewan hanya berakhir sekadar harapan, sebab, Freeport telah menyatakan wilayah yang terdampak menurut data yang mereka miliki bukan tanggung jawab perusahaan. “Masalahnya tailing itu tidak ada sebab dari tempat lain,” kata Sulaeman. “Hanya satu-satunya Freeport yang membuang tailing yang dampaknya sampai ke desa-desa dan mudah-mudahan nanti jadi bagian dari tanggung jawab penyelesaian masalah,” imbuhnya.
Sejatinya butuh ketegasan hukum sebab negara memiliki kedaulatan dalam mengatur urusan dalam dan luar negerinya, sayangnya itu pun tidak kita miliki. Yang terjadi justru ketundukan yang teramat dalam untuk diatur dan ditentukan nasibnya oleh asing.
Bagi perusahaan asing keuntungan adalah harga mutlak, dalam perjanjian investasi yang ditandatangani antara dua negara pun tak ada kesepakatan untuk itu. Dan Indonesia adalah salah satu negara paling ramah investasi. Seolah, hanya dengan cara inilah kemajuan dan kesejahteraan rakyat dapat teraih. Dilansir dari Antaranews.com, 19 Januari 2019, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyebut PT Freeport Indonesia masih harus menyelesaikan enam dari 48 sanksi yang telah dijatuhkan terkait pengelolaan lingkungan. Inspektur Jenderal KLHK Ilyas Asaad menjelaskan pengawasan telah dilakukan pihaknya atas rekomendasi dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan telah menjatuhkan 48 sanksi kepada PT Freport Indonesia.
Sanksi tersebut ada 42 kegiatan telah selesai dilaksanakan, sedangkan enam sanksi lainnya belum dapat diselesaikan karena beberapa hal antara lain memerlukan waktu yang lama untuk penyelesainnya. Di antaranya terkait dengan pengelolaan sedimen nontailing dari lower wanagon serta area tambang yang dalam pemasangan alat pemantau kontinu.
Terkait dengan limbah tailing, Ilyas mengatakan sejak 1997 telah disusun dokumen Amdal 300 K yang menjelaskan bahwa untuk mengelola tailing maka dibangun tempat penimbunan yang disebut modified ajkwa deposition Area (ModADA) seluasi 230 kilometer persegi (km2).
Untuk menghindari melubernya tailing, maka di sisi timur dibangun tanggul sepanjang 54 kilometer (km) dan di sisi barat dibangun sepanjang 52 km dengan jarak antara 4 sampai dengan 7 km. Sementara itu, mengenai penggunaan Sungai Ajkwa dan Aghwagon sebagai tempat penyaluran tailing, menurut dia, juga telah sesuai dengan SK Gubernur Provinsi Irian Jaya Nomor 540/2102/set dan Sk Bupati Mimika nomor 4 Tahun 2005 tentang pemanfaatan sungai Aghwagon, Otomona, Ajkwa di Kabupaten Timika.
“Dengan demikian penggunaan sungai serta areal seluas 230 km2 telah diperhitungkan sejak awal sebagai tempat penampungan tailing,” kata Ilyas. Hal ini menunjukkan bahwa perjalanan Freeport menguasai negeri ini tak memberikan kesejahteraan bagi rakyat, sebaliknya malah bencana yang merepotkan negeri ini, ibarat hidup bertetangga, tetangga buang sampah sembarangan sebab tong sampahnya tidak muat kitanya yang repot membersihkan bahkan membuatkan tong sampah baru untuknya.
Sungguh teramat baik, padahal tetangga ini telah menguasai lahan berikut rumah dan seisinya. Membiarkan penghuni rumah kita kelaparan dan kedinginan, mereka asyik terus mengeruk apa yang ada di dalamnya.
Islam Mewajibkan SDA dikelola Negara Bukan Asing
Islam memiliki aturan tertentu dalam pengelolaan SDA. Asing tidak akan mendapatkan kesempatan untuk mengeruk SDA yang merupakan kepemilikan umum seluruh rakyat. Dalilnya adalah apa yang disabdakan Rasulullah Saw,”Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api”. (HR. Abu Dawud dan Ahmad). Hadits tersebut menyatakan bahwa kaum Muslim (manusia) berserikat dalam air, padang rumput, dan api. Dan bahwa ketiganya tidak boleh dimiliki oleh individu.
Pengelolaan SDA harus oleh negara sebagai wakil rakyat, dan pengelolaan negara Islam tentu akan berjalan pada prinsip kemaslahatan umat sehingga lingkungan tetap terjaga, karena keberadaan lingkunan yang baik akan berpengaruh terhadap keberlangsungan kehidupan manusia. Eksplorasi tambang tidak akan dilakukan secara terus menerus, membabi buta tanpa mempedulikan kebutuhan rakyat.
Sebab, dengan kecanggihan teknologi yang harus dimiliki negara, negara akan memaksimalkan pengelolaan barang tambang tidak hanya pada emas namun juga lainnya, dan itu disesuaikan untuk kebutuhan dalam negeri, jika sudah stabil, maka akan dijual ke luar negeri dan keuntungannya akan dimasukkan ke Baitul mal atau kas negara dan masuk pos pendapatan umum. Pos inilah kelak yang akan membiayai seluruh kebutuhan publik pokok rakyat.
Kapitalisme hanya fokus pada produksi tanpa peduli bagaimana distribusi kepada rakyatnya, apakah mereka mudah atau malah kesulitan mengakses kebutuhan pokok tersebut. Negara melalui BUMNnya akan bertindak sebagai pelayan rakyat, yang menjamin terpenuhinya setiap kebutuhan pokok individu, hubungan ini yang tidak ada dalam kapitalisme. Negara dengan rakyat terlalu memperhitungkan untung rugi. Jelas saja ini akan menimbulkan kezaliman.
Mindset penguasa adalah periayah (pengurus umat) tidak akan muncul dalam sistem hari ini, melainkan hanya dalam sistem Islam. Saatnya untuk mewujudkan kesejahteraan hakiki dengan penerapan syariat Islam. Wallahu a’lam bish showab.
Komentar