“Kok Bisa Ya?”
Kalimat judul di atas mengutip pertanyaan Ibunda dari almarhum mahasiswa UI, yang jadi korban lakalantas saat diundang sebagai narasumber di akun Narasi milik jurnalis senior, Najwa Shihab beberapa hari lalu (YouTube). Beliau bingung mengapa laporan yang dilayangkan terkait kasus tabrakan yang melibatkan oknum purnawirawan dihentikan penyidikannya namun dengan penetapan putranya sebagai tersangka.
Kejanggalan memang mewarnai kasus ini. Menurut salah satu anggota Komisi III DPR RI, Taufik Basari, dalam kacamata hukum, seseorang yang sudah meninggal dunia, maka gugurlah tindak pidana ataupun tuntutan terhadap orang tersebut. (cnnindonesia.com, 2/2/2023) Namun belakangan korban justru ditetapkan terduga bersalah lalu penyidikan dihentikan.
Bila kita berkaca pada nurani, nyata kasus di atas bukan yang pertama. Para pengamat dan pakar hukum telah banyak mengungkap sederet peristiwa senada yang berseliweran di berbagai situs berita daring. Ironis, di saat negeri ini berbenah menyambut resolusi di tahun baru dan jelang tahun politik, hadirnya soalan macam ini dengan sendirinya kontra produktif. Kelihatannya jalan menuju supremasi hukum yang menjunjung tinggi keadilan masih panjang dan berliku.
Apalagi saat viralnya kasus di atas belum selesai, beredar pula meme di media sosial dengan ikon burung kenari, yang menyiratkan bahwa keadilan bukan untuk diminta melainkan dibeli. Seolah publik sepakat beramai-ramai membenarkan anggapan bahwa rasa keadilan bisa ditukar dengan berlimpahnya cuan. Menyedihkan. Quo vadis hukum di negeri ini?
Lepas dari centang perenang persoalan yang membelit, hukum dan keadilan idealnya buta. Artinya setiap orang harus dipandang sama posisinya di mata hukum. (Wikipedia) Tak memilih jabatan, kedudukan, kekayaan, atau bahkan mantan. Jika berbuat kesalahan, konsekuensinya harus menebusnya dengan menerima sanksi yang dijatuhkan. Namun apa daya, belakangan sering kita saksikan justru hal sebaliknya. Harta, tahta dan kuasa acap kali bersinar menyilaukan di hadapan rasa keadilan. Jadi teringat perkataan manusia termulia, utusan Allah swt. di muka bumi ini, Baginda Nabi Muhammad saw. saat bersabda,
“…Ketahuilah, demi Zat yang jiwa Muhammad berada di dalam kekuasaan-Nya, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari)
Dari hadis di atas Rasulullah saw. telah memberi teladan jauh sebelum Wikipedia dan semua pakar hukum yang ada saat ini lahir. Bahwa hukum harus ditegakkan dengan tidak membedakan status maupun kedudukan pelakunya. Inilah esensi keadilan yang hakiki. Maklum, bukankah risalah Islam sejatinya datang dari Dzat yang Maha Adil? Mustahil zalim ataupun menzalimi.
Terhadap peristiwa hilangnya nyawa seorang manusia, Islam memandang hal itu sebagai perbuatan yang lebih berat dari dunia beserta isinya. Dari al-Barra’ bin Azib radhiyallahu ‘anhu, Nabi saw. bersabda,“Hilangnya dunia, lebih ringan bagi Allah dibandingnya terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. An Nasa’i dan Tirmidzi)
Lebih jauh, perbuatan membunuh yang didefinisikan dengan menghilangkan nyawa manusia dikategorikan empat macam, pembunuhan sengaja, pembunuhan seperti sengaja, pembunuhan tersalah/tidak sengaja. (Abdurrahman al-Maliki, Nizhâm al-‘Uqûbât)
Dalam konteks kecelakaan sampai korban wafat, jelas masuk dalam kategori pembunuhan tidak disengaja. Ada pun sanksinya berupa membebaskan seorang budak yang beriman dan membayar diyat yang diserahkan pada keluarga korban.
Firman Allah swt,” Dan barang siapa membunuh seorang mukmin dengan tidak sengaja, (hendaklah) ia memerdekakan seorang budak yang beriman serta membayar diyat yang diserahkan kepada keluarganya, kecuali jika mereka bersedekah (tidak mengambilnya).” (QS. An Nisa:92)
Tak tanggung-tanggung besarnya diyat yang harus dibayarkan untuk satu nyawa manusia yang melayang sebagaimana disyariatkan dalam Islam. Tepatnya berjumlah seratus ekor unta! Dalam Sunan An-Nasa’i, diriwayatkan bahwa Nabi saw. menulis dalam surat beliau:“Diyat nyawa adalah seratus ekor unta.”Dengan catatan, 40 ekor di antaranya dalam kondisi mengandung. Masya Allah!
Gamblang, betapa Islam sangat menghargai dan melindungi segenap jiwa umat manusia yang notabene ciptaan Allah Swt.
Tak berhenti sampai di situ, Rasulullah menegaskan, ”Siapa saja yang membunuh seorang mu’ahid (non muslim yang mendapatkan jaminan keamanan) tanpa alasan yang haq, ia tidak akan mencium wangi surga, bahkan dari jarak empat puluh tahun perjalanan sekali pun.” (HR Ahmad).
Penjagaan dan perlindungan bagi segenap warga negara dalam naungan Islam yang diterapkan secara kafah, terbukti tiada duanya. Tidak sedikit ahli dan sejarawan yang menuliskan kesaksiannya dengan tinta ‘emas.’ Salah satunya, Thomas Walker Arnold, seorang sejarahwan Kristen. Dia menulis, “Perlakuan terhadap warga Kristen oleh pemerintahan Khilafah Turki Utsmani, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.” (The Preaching of Islam: 1896)
Terakhir, – meminjam sekali lagi pertanyaan pada judul di atas – “Kok bisa ya syariah yang kafah dan indah ini kemudian dituding tidak cocok, radikal, intoleran dan lain sebagainya?” Sebuah pertanyaan yang bahkan rumput bergoyang pun enggan menjawab malah turut bertanya. Wallaahua’lam.
Komentar