Biaya KRL Khusus Kaum Berdasi, Kebijakan Kian Tak Bertaji

 

Tarif rel kereta api listrik diwacanakan akan segera naik, terkhusus bagi kaum yang berpenghasilan tinggi. Menteri Perhubungan Budi Karya Sumadi memastikan tidak ada kenaikan tarif KRL pada tahun 2023 (money.kompas.com, 27/12/2022). Meskipun demikian, Menhub mengungkapkan akan ada penyesuaian tarif bagi kalangan berpenghasilan tinggi. Saat ini tarif KRL masih bersubsidi, tarifnya berkisar Rp 3.000-4.000. Jika tanpa subsidi, tarifnya bisa mencapai Rp 10.000-15.000.

 

Pengamat transportasi, Djoko Setijowarno, mengatakan klasifikasi pelanggan mampu dan tak mampu diverifikasi secara mandiri oleh para pelanggan KRL. Hingga nantinya jika pelanggan tergolong tak mampu akan diberikan akses tiket bersubsidi (merdeka.com, 29/12/2022). Namun, Djoko pun menyadari bahwa kebijakan ini dapat menimbulkan manipulasi. Terutama manipulasi data dari lingkungan tempat tinggal. Antisipasinya, negara akan sering melakukan sidak, untuk pemeriksaan yang terverifikasi dalam Data Terpadu Kesejahteraan Sosial (DTKS). Dan memberikan sanksi bagi para warga yang “mendustakan” status data pribadinya.

 

Berdasarkan kebijakan publik, tentu keputusan ini adalah keputusan tak adil. Ketua YLKI (Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia), Tulus Abadi, mengungkapkan justru kenaikan tarif dirasa lebih adil daripada ada segmentasi harga. Opsi PSO (Public Service Operation) lebih bijak dalam fakta ini. Demikian lanjutnya (merdeka.com, 29/12/2022). Rencana ini tak biasa dilakukan, meskipun dengan pertimbangan agar distribusi tepat sasaran. Malahan, seharusnya negara memberikan insentif bagi masyarakat secara keseluruhan, tanpa ada diskriminasi status ekonomi.

 

Pemisahan tarif ini menimbulkan kontroversi di tengah publik. Tak ayal, kebijakan ini pun huu meresahkan masyarakat. Bagaimana tidak? Hampir semua harga kebutuhan hidup, kompak merangkak baik. Sekarang diikuti juga kebijakan tarif KRL. Menyesakkan.

 

 Secara umum, transportasi publik dibangun untuk mencover seluruh kebutuhan masyarakat. Dan masyarakat bersedia menggunakan transportasi umum. Dengan tarif sama rata, tanpa ada pembeda. Hingga dapat mengurangi volume kendaraan pribadi dan mengurangi kemacetan. Biaya transportasi umum biasanya ditetapkan berdasarkan jarak tempuh. Bukan pada penghasilan. Tentu kebijakan ini tampak nyeleneh dan mengada-ada.

 

Inilah konsep kapitalisme. Sistem yang menjadikan keuntungan materi sebagai satu tujuan utama. Tanpa peduli akibat yang ditimbulkan pada “tubuh” masyarakat secara global. Negara mengatur kebijakan sesuai pesanan. Masyarakat wajib membayar fasilitas publik. Karena keuntungan-lah yang dituju. Sementara pajak yang dibebankan kepada masyarakat sangat berat. Di setiap segi kebutuhan, mulai dari pajak bumi dan bangunan, pajak kendaraan, pajak penghasilan dan jenis pajak lainnya. Kezaliman yang sungguh nyata.

 

Berbanding terbalik dengan kepengurusan sistem Islam. Dalam sistem Islam, pemimpin diposisikan sebagai pengurus seluruh urusan umat. Sesuai tujuannya, tentu para pemimpin negara akan mengoptimalkan seluruh pelayanan umat, dengan dorongan iman dan takwa semata lilLahi Ta’Ala. Termasuk dalam pelayanan bidang transportasi publik.

 

Rasulullah SAW bersabda yang artinya,

Pemimpin suatu kaum adalah pelayan mereka” (HR. Ibnu Majah dan Abu Nu’aim).

 

Sistem Islam menetapkan bahwa pengadaan transportasi publik ditujukan untuk memudahkan kehidupan masyarakat secara umum, baik untuk menempuh perjalanan ke tempat kerja, ke tempat sekolah atau ke fasilitas umum lainnya. Sehingga pembangunannya dilakukan secara efektif dan efisien. Agar tepat guna dan tepat sasaran. Pun demikian dengan pengaturan biaya dan segala bentuk kebijakan yang menyertainya, dibuat seefektif mungkin demi memenuhi seluruh kebutuhan transportasi masyarakat. Sesuai dengan kebutuhan per daerah, yang mungkin berbeda antara satu wilayah dengan wilayah lainnya.

 

Syekh Abdul Qadir Zallum dalam Kitab Sistem Keuangan Negara Khilafah, menjelaskan bahwa infrastruktur milik negara (marafiq) wajib digunakan untuk seluas-luasnya kebutuhan umat. Tanpa ada perbedaan status kaya atau miskin. Semuanya adalah warga negara Daulah memiliki hak yang sama dan semuanya wajib dilayani sempurna. Pembangunan infrastruktur pun menjadi kewajiban negara dalam memfasilitasinya. Tanpa ada yang harus dibebankan kepada rakyat.

Memang betul, pembangunan transportasi membutuhkan biaya yang luar biasa besar. Namun, sistem Islam memiliki solusi tepat menghadapi masalah tersebut. Negara dengan asas sistem Islam, akan mengalokasikan dana pos kepemilikan negara, Baitul Maal untuk pembangunan infrastruktur. Pendanaan ini berasal dari fa’i, usyr, kharaj, ghanimah, dan sumber lainnya. Jumlah pos pemasukan ini sangat besar. Pengelolaan pun dilakukan dengan penuh amanah. Sehingga Daulah mampu menyediakan fasilitas umum yang terbaik untuk pelayanan terhadap umat. Segala operasional dilakukan secara mandiri tanpa ada campur tangan pendanaan dari pihak lain. Sehingga kedaulatan dan kewibawaan negara tetap mulia terjaga.

 

Dalam Daulah pun, negara berhak menentukan harga operasional kepada masyarakat. Namun, tidak dengan harga yang memberatkan rakyat. Dan hasil keuntungan operasional fasilitas umum penyelenggaraan negara dimasukkan dalam pos baitulmaal. Peruntukkannya pun untuk kepentingan umat, diantaranya untuk gaji para pegawai dan pemeliharaan fasilitas umum.

Begitu sempurnanya sistem Islam mengatur seluruh urusan. Semuanya diatur sesuai kebutuhan rakyat. Tanpa ada sedikit pun kezaliman ditimbulkan.

 

Wallahu a’lam bisshowwab

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *