Pemberian Gelar antara Politis atau Akademis
Massa aksi yang mengatasnamakan Mahasiswa Unnes menggugat, melakukan protes atas pemberian gelar Doktor Honoris Causa untuk Moeldoko (Kepala Staff Kepresidenan). Menurut penuturan Ramdan sebagai koordinator aksi bahwa pihak Unnes mengobral gelar Doktor HC kepada sejumlah pejabat dan politisi yang tidak memiliki latar belakang dalam berkontribusi jasa dan karya luar biasa bagi bangsa dan negara. (cnnindonesia.com, 22 Oktober 2022).
Sebagai Pembelannya, Rektor Unnes Fathur Rokhman menyebut bahwa Moeldoko diberi gelar doktor kehormatan bidang manajemen strategi pembangunan sumber daya manusia pada program pasca sarjana karena dianggap memiliki karya pengabdian luar biasa pada bidang SDM. (tempo.com, 22 Oltober 2022)
Aksi serupa yang dilakukan oleh mahasiswa dan sejumlah pihak juga pernah digelar di Unnes saat pemberian gelar Doktor Honoris Causa kepada Nurdin Halid pada 11 Februari 2021, saat itu para mahasiswa menilai Nurdin tidak layak diberikan gelar kehormatan karena pernah tersangkut kasus korupsi dana distribusi minyak goreng bulog, Nurdin juga dikenal sebagai sosok kontroversial selama memimpin PSSI. Bahkan Majalah Tempo edisi 13 Februari 2021 menulis, bahwa pemberian gelarpada Nurdin Halid tidak transparan. Dari kalangan internal kampus Unnes pun menggugatnya, hal itu dinyatakan oleh lima orang dosen dan tiga orang guru besar Unnes. (Tempo.com, 17 Februari 2021).
Kampus dalam Kapitalisme
Pada faktanya di zaman kapitalisme sekarang, ada beberapa perguruan tinggi atau kampus yang menjadi tempat balas budi politik. Terlebih ada ketentuan bahwa rektor dipilih oleh presiden, implikasinya ada kampus yang dengan mudah memberikan anugerah gelar-gelar kehormatan seperti doktor HC atau profesor tak tetap kepada mereka yang memiliki ‘catatan hitam’ karena kedekatan mereka dengan penguasa, sebaliknya di sisi lain kampus tersebut justru mencopot dosen atau mahasiswa yang kritis terhadap kebijakan penguasa atau dianggap menghina presiden.
Dari fakta demikian, tentu bukan salah publik jika pihak Unnes mencederai lembaga pendidikan tinggi.
Di sisi lain, Unnes sudah beberapa kali melakukan tekanan kepad dosen atau mahasiswa yang dianggap menghina presiden, seperti yang pernah terjadi pada Sucipto Hadi Purnomo, Dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Jawa Unnes, yang dibebastugaskan dari jabatannya dan dicabut gelarnya karena dianggap menghina Presiden Jokowi dalam unggahan di Facebooknya, beliau mengikuti proses pemeriksaan yang berjalan.
Tekanan dari berbagai pihak pun dialami oleh Wahyu Suryono Pratama sebagai Ketua BEM KM Unnes, usai melakukan kritik petinggi negara, dengan menyebut Wapres Ma’ruf Amin sebagai The King of Silent serta sebutan untuk Ketua DPR Puan Maharani sebagai The Queen of Ghosting.
Dua kondisi yang begitu kontras ini menjadi bukti integritas akademik yang mudah dimanfaatkan sesuai dengan kepentingan para petinggi
Fakta ini wajar dan logis terjadi dalam sistem kapitalisme, yang menjadikan manfaat sebagai asas perbuatannya, maka tak khayal jika perguruan tinggi pun tersandera politik yang memuluskan kepentingan orang-orang tertentu.
Gelar kehormatan menjadi instrumen balas budi, ajang membangun jaringan dan perjanjian politik.
Kampus dalam Islam
Kondisi demikian tidak akan terjadi di dalam sistem Islam, Integritas sangat dijunjung tinggi dalam pemberian gelar, sebuah karya yang akan menjadi ukuran sumbangsih nyata ilmuwan terhadap kehidupan.
Sebab sebuah gelar adalah representasi keilmuan seseorang yang akan dipertanggungjawabkan di akhirat, karenanya kampus atau ulama terpercaya tidak akan mudah memberi gelar kecuali mereka yang telah memenuhi persyaratan tersebut.
Bahkan sebuah gelar akan mudah dicopot, ketika si pemilik gelar melakukan pelanggaran syariat dan mencederai keilmuan mereka. Sehingga publik bisa mendapati betapa banyak karya yang dihasilkan oleh ilmuwan muslim pada masa pemerintahan Islam, karena mereka amanah dengan gelar mereka dan konsisten menyumbangkan ilmu mereka untuk kemuliaan Islam dan kaum muslimin
Sejarah gemilang peradaban Islam menorehkan bukti nyata, bagamana penghargaan yang luar biasa dari para pemimpin Islam kepada para ilmuwan atau ulama, seperti pada masa Khalifah Abu Ja’far Abdullah ibn Muhammad al-Mansur, sebagai khalifah kedua pada masa Abasiyah, Khalifah yang mengalokasikan dana sangat besar untuk proyek penerjemahan astronomi dari periode klasik (Yunani-Romawi) demi kepentingan kaum muslimin.
Sementara para politikus dan pejabat dalam sistem Islam tidak haus gelar kehormatan demi meraih kedudukan. Islam memandang bahwa jabatan adalah sebuah amanah yang harus diberikan kepada orang-orang yang mampu dan memiliki kapasitas atas jabatan tersebut. Selain itu kepribadian politikus yang terwujud dalam pola pikir dan pola sikap mereka harus sesuai Islam.
Inilah yang dicontohkan Rasulullah saw, ketika mengangkat wali-walinya untuk mengurus urusan rakyat di semua wilayah daulah Islam pada masa itu, seperti mengangkat Ali bin Abi Thalib sebagai qadhi di Yaman, Abdullah bin Rawahah sebagai pencatat hasil pertanian Yahudi Khaibar.
Rasulullah saw pun tidak segan memberhentikan al’alla bin al Hadhrami sebagai amil di Bahrain karena utusan Abdul Qais mengadukan perkaranya kepada Rasulullah saw.
Begitupun sikap Rasulullah saw yang tidak memberikan kedudukan kepada Abu Dzar Al Ghiffari karena Rasulullah saw sebagai kepala negara melihat ada titik kelemahan pada diri Abu Dzar. Inilah mekanisme pengaturan klasifikasi para ilmuwan dan para pejabatnya dalam Islam.
Komentar