Sampah, Solusinya Bicara Sistem

Ilustrasi Sampah. FOTO/Net

DKI Jakarta, terutama Pj Gubernur DKI Heru Budi Hartono, punya program baru, yaitu drone pemantau pembuang sampah sembarangan. Di hari pertama drone itu diterbangkan sudah mendeteksi 19 orang pelanggar yang kemudian dikenakan sanksi sosial dan denda, uang dengan total denda Rp 710.000 dan ada yang dijatuhi sanksi sosial melakukan pungut sampah di lokasi.

Anggota  DPRD DKI Jakarta fraksi PDIP, Dwi Rio Sambodo menyatakan dukungannya, menurutnya ini adalah tindakan nyata/konkret tentang keteladanan penanganan membuang sampah yang baik dan benar. Setidaknya ada orientasi efek jera terhadap pelaku yang selama ini bertahun-tahun tidak pernah dilakukan pembinaan yang signifikan, baik secara preventif atau pencegahan maupun kuratif atau tindakan.

Dwi Rio berharap model seperti ini dapat dilakukan di seluruh penjuru kota-kota Jakarta. Apalagi dengan teknologi drone dan CCTV yang dapat menjangkau sudut-sudut kota Jakarta. Termasuk potensi partisipasi masyarakat yang harusnya dapat memperkuat sistem yang saling mengawasi di antara warga. Dengan pemberian sanksi dan reward agar masyarakat lebih peduli dan tertib membuang sampah.

Bicara Buang Sampah, Bicara Sistem

Kemajuan teknologi memang sebuah keniscayaan, akan terus berkembang sepanjang waktu sesuai dengan semakin kreatif dan inovatifnya manusia. Persoalan sampah di Negera maju hampir-hampit tidak menjadi persoalan, dengan teknologi canggih di beberapa negara malah sudah menjadi industri baru pengolahan sampah menjadi produk-produk yang ramah lingkungan dan terbarukan.

Namun tidak di negara-negara berkembang, yang rata-rata menjadi pasar potensial bagi produk-produk negara maju. Sampah menjadi masalah laten, tak terselesaikan meski sudah banyak cara diterapkan dan kecanggihan teknologi dikembangkan. Di Indonesia saja, data tahun 2021, volume sampah di Indonesia 68,5 juta ton dan 2022 naik sampai 70 juta ton. Ada 24 persen atau sekitar 16 juta ton sampah yang masih belum dikelola sampai saat ini oleh  Direktorat Jenderal Pengelolaan Sampah, Limbah dan B3 (Ditjen PSLB3).

Anggota Komisi IV DPR RI Suhardi Duka mengatakan  hanya 7 persen yang terdaur ulang dan 69 persen yang masuk di TPA. Dibanding Malaysia dan Singapura, Indonesia masih terlalu tinggi, 16 juta ton sampah kita belum terkelola dengan baik. Pengelolaan sampah denga prinsip 4R yakni, reduce (mengurangi), reuse (menggunakan kembali), recycle (daur ulang) dan replace (mengganti) serta melakukan pemisahan sampah organik dan sampah anorganik juga tidak banyak membantu.

Banyak ditemui sampah di pantai, pasca banjir yang tak hanya membawa sampah namun juga hasil penebangan liar di dataran yang lebih tinggi. Begitupun sampah rumah tangga yang terbiasa dibuang di sungai, di bakar dengan pembakaran yang tak sempurna. Ataupun sampah yang dihasilkan UMKM dan industri.

Semua mengarah kepada gaya hidup masyarakat yang didukung sistem kapitalisme. Dimana gaya hidup praktis, hedonis, berlebihan menjadi pilihan banyak orang dengan pemahaman itulah hidup modern atau sesuatu yang wajar yang harus dijalani. Pemakaian produk plastik oleh pabrik-pabrik makanan dan minuman juga turut menyumbang sampah yang tak terurai.

Kapitalisme hanya bertumpu pada produksi barang meski belum tentu bisa diakses atau dibutuhkan oleh masyarakat. Pengelolaan sampah hanya diserahkan pada pihak ketiga dan tanpa upaya yang serius dari negara.

Islam Mengatasi Masalah Sampah Berikut Akar Masalahnya

Islam itu bersih, maka jadilah kalian orang yang bersih. Sesungguhnya tidak masuk surga kecuali orang-orang yang bersih” (H.R. Baihaqi). Hadist berikut cukup menggambarkan bagaimana Islam mendudukkan kebersihan , sehingga sesuatu yang kotor ( sampah) akan menjadi perhatian utamanya. Gerakan pengurangan sampah tidak cukup pada teknologi pengelolaannya namun juga edukasi perilaku individu masyarakatnya untuk tidak makan berlebihan. Tidak konsumtif. Tidak berpandangan individualis dalam perkara sisa atau sampah.

Masyarakat pun ditumbuhkan sikap amar makruf nahi mungkar, saling mengingatkan , bahkan di dorong untuk yang memiliki harta lebih untuk mewakafkan tempat atau dananya untuk pembuangan, pengelolaan dan pemilahan sampah. Namun jelas negara tidak akan melepaskan begitu saja, melainkan memberikan jaminan kepada rakyatnya membangun sarana dan prasarana terkait sampah dengan dana dari Baitul Mal. Berikutnya juga mendorong para ahli lingkungan, insinyur dan yang lain untuk berkontribusi kepada negara terkait dengan keilmuan dan keahliannya, semua untuk kemaslatan rakyat.

Sejarah Kekhilafahan Islam telah mencatat pengelolaan sampah sejak abad 9-10 M. Pada masa Bani Umayah, jalan-jalan di Kota Cordoba telah bersih dari sampah-sampah karena ada mekanisme menyingkirkan sampah di perkotaan yang idenya dibangun oleh Qusta ibn Luqa, ar-Razi, Ibn al-Jazzar dan al-Masihi. Tokoh-tokoh muslim ini telah mengubah konsep sistem pengelolaan sampah yang sebelumnya hanya diserahkan pada kesadaran masing-masing orang, karena di perkotaan padat penduduk telah berpotensi menciptakan kota yang kumuh (Lutfi Sarif Hidayat, 2011).

Sebagai perbandingan, kota-kota lain di Eropa pada saat itu belum memiliki sistem pengelolaan sampah. Sampah-sampah dapur dibuang penduduk di depan-depan rumah mereka hingga jalan-jalan kotor dan berbau busuk (Mustofa As-Sibo’i, 2011). Bahkan di Sungai Thames, London, Inggris pada tahun 1858, sekitar bulan Juni hingga Agustus terkenal dengan peristiwa “The Great Stink” atau bau yang ampun-ampunan.

Hal ini karena sungai Thames adalah tong sampah besar bagi penduduk London ketika itu, semua sampah industri, rumah tangga bahkan rumah jagal hewan membuang bangkai hewan sembelihan mereka di sana, ketika tiba musim panas,air sungai menyusut dan bau sampah menguat hingga seluruh kota ditimpa sakit perut parah. Para anggota dewan bersidang setelahnya dan memutuskan untuk membangun proyek terbesar pada abad itu yaitu gorong-gorong sepanjang 133 km, yang pembangunannya diserahkan kepada Joseph Bazalgette, Kepala Teknisi Metropolitan  Board of Work dan diresmikan pada tahun 1856.

Jelas dunia Islam mendahului dunia barat, namun ironinya dunia muslim kini lebih berkiblat pada barat. Meratifikasi apa saja yang diputuskan barat, termasuk tentang krisis iklim, perubahan energi fosil ke energi terbarukan atau green energi dan pengurangan emisi sebagai polusi udara. Diterima begitu saja, padahal negara Baratlah penyebab semua itu, sementara kita dipaksa menjadi Negera penerima produksi mereka baik teknologinya maupun konsepnya ( dalam bentuk kerjasama). Yang tak pernah sekalipun menguntungkan kita. Karena akhirnya berujung pada kesepakatan proyek, penambahan utang luar negeri dan begitu seterusnya.

Kesimpulannya yang kita butuhkan bukan sekadar kecanggihan teknologi, namun juga sebuah sistem yang betul-betul melayani umat untuk maslahat. Bukan manfaat yaitu syariat. Wallahu a’lam bish showab.

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *