Ngenger jadi Geger

Dalam budaya Jawa, ikut orang untuk memperoleh ilmu, gaji atau lainnya sering disebut ngenger. Ngenger bisa tanpa dibayar atau barter dengan sesuatu, misal tenaga dibarter dengan biaya sekolah. Namun yang kebanyakan adalah ikut orang untuk dibayar alias dalam istilah masa kini, ikut orang untuk menjadi pegawainya, dengan bayaran. Namun, hari ini mengapa banyak sekali ngenger yang justru jadi geger (ribut hingga timbulkan bencana: Jawa)?

Adalah Rohimah (29) yang bekerja di rumah pasangan Yulio Kristian (29) dan Loura Francilia (29) sebagai Asisten Rumah Tangga (ART) selama lima bulan. Namun, tiga bulan terakhir sang ART seringkali dianiaya, dipukul benda tumpul, ditusuk peniti dan lain sebagainya hanya karena kejadian sepele atau jika apa yang dikerjakan salah tidak sesuai dengan perintah. Bahkan yang terakhir adalah upaya penyekapan sang ART di rumah pasangan suami istri, di Perumahan Bukit Permata Blok G1, RT 04 RW 22, Desa Cilame, Kecamatan Ngamprah, Kabupaten Bandung Barat.

Kedua suami istri penganiaya itu kini sudah diamankan , dan Rohimah di dievakuasi warga dengan sebelumya ia disekap di rumah tersebut. Maka warga mendobrak pintu sehingga Rohimah selamat.. Apa yang bisa kita lihat? Fakta betapa nyawa manusia sangat murah, harga rasa aman kian mahal, bahkan kepada orang yang ada perjanjian muamalah dan bukan budak tak pandang bulu, begitu emosi langsung menjadi sasaran mereka yang berada dalam posisi lemah.

Hal ini tidak terjadi di dalam negeri, nasib para Tenaga Kerja Wanita (TKW) kita pun tak beda. Mereka bekerja di luar negeri sebagai pembantu rumah tangga atau umum baik di instansi maupun di pabrik namun kerap mendapat perlakuan yang tidak adil. Kendala bahasa dan budaya yang kerap kali menjadi persoalan. Belum lagi dengan ancaman pemerkosaan, perzinahan, perdagangan orang dan lain sebagainya. Seolah menegaskan meskipun hukum internasional telah menghapuskan perbudakan di bumi ini namun faktanya masih saja ada yang berpikiran demikian jika melihat tenaga kerja dari luar negri seperti TKI ataupun ART ini.

Mengapa demikian? Karena kapitalisme memang meniscayakan yang demikian, manusia yang lemah secara status sosial maupun ekonomi, dianggap masyarakat kelas bawah. Tak pantas sejahtera dan hanya menjadi beban negara. Kebahagiaan bagi kapitalisme adalah sebanyak-banyaknya memberikan kesenangan materi pada jasad. Antara kebutuhan dan keinginan hampir-hampir tak bisa dibedakan.

Sebab kapitalisme memandang kebutuhan manusia itu tak terbatas, sehingga harus terus menerus memproduksi meskipun modal harus berutang, dengan riba atau berupa kerjasama ekonomi dan lain sebagainya dengan negara yang lemah secara bargaining namun kaya sumber daya alamnya. Seperti Indonesia ini. Oleh karena tidak mengenal halal haram, segala cara ditempuh yang penting menghasilkan uang. Dan tidak dipedulikan lagi apakah ada individu rakyat yang tidak mampu mengakses produk tersebut. Hal demikian tidak akan dicari solusinya, namun justru dibiarkan karena dianggap lemah.

Kapitalisme juga memandang manusia adalah bagian dari proses produksi, sehingga tidak ada perbedaan yang sangat jelas antara pria dan wanita. Seorang wanita hakekatnya adalah ibu generasi, pencetak generasi cemerlang namun rusak ketika sistem ekonominya kapitalis. Mereka di bidik sekaligus didorong untuk berdaya guna terutama ekonomi dengan menghasilkan uang atau materi.

Pada gilirannya itulah penyebab marak para wanita yang akhirnya mengambil cara bekerja di luar rumah dan mengabaikan keluarganya. Hancur keluarganya berikut akses generasi untuk tumbuh menjadi sosok berkepribadian Islamiyah hilang. Sebab, wanita yang murah dan mudah diatur menjadi aset produksi terbaik bagi industri kapitalisme . Setinggi-tingginya karir ibu rumah tangga yang terutama dan tertinggi adalah menjadi ibu dan pengatur rumah tangga. Ini yang justru dianggap racun bagi kapitalisme, ibu, perempuan atau wanita penghargaan tertinggi hanya jika ia berdaya guna ekonomi.

Berbalik kondisi dengan Islam, penghargaannya terhadap perempuan tak ada bandingnya. Sebab, banyak ayat dalam syariat yang menjelaskan bagaimana kedudukan wanita dan cara memperlakukannya. Salah satunya dengan mewajibkan hanya pria yang mencari nafkah, ketika seorang suami tidak mampu menafkahi maka tanggungjawab dialihkan kepada wali dan ahli warisnya, jika tidak maka negara yang wajib mengambil alih. Artinya seorang wanita seumur hidupnya tidak diwajibkan sendirian mencari nafkah sendiri. Kesejahteraannya sepenuhnya ada dalam jaminan negara.

Perempuan sebagai pihak paling rentan dalam sistem perekonomian tidak lantas dieksploitasi ataupun diabaikan, hal itu yang kini kita bisa lihat, mengapa para perempuan itu harus bekerja keras, bekerja apapun bahkan hingga ke luar negeri meninggalkan suami dan keluarganya karena memang tidak terwujud kesejahteraan bagi mereka.

Saatnya mencabut sistem batil, saatnya menarik perempuan dalam peran sebenarnya yaitu ibu pencetak generasi cemerlang, kuat, bertakwa dan memiliki kepribadian yang khas, yaitu Islam dan bukan sekadar mesin pencetak uang ataupun komoditas ekonomi. Semua harus di tata ulang yaitu dengan syariat Allah SWT. Wallahu a’lam bish showab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *