Pemenuhan Gizi, Harusnya Tak Sekedar Narasi

Hari Pangan, selalu diperingati dari tahun ke tahun. Memperingati Hari Pangan, 16 Oktober 2022 lalu, Kementerian Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan, menekankan pada pemenuhan gizi keluarga demi memaksimalkan tumbuh kembang anak. Dengan gaya hidup bersih dan sehat, harus didukung dengan pemenuhan gizi seimbang dengan nutrisi optimal (republika.co.id, 16/10/2022).

Namun, di tengah kemiskinan ekstrim, rakyat pun hanya bisa pasrah pada keadaan. Bagaimana caranya dapat memenuhi gizi keluarga? Sementara kebutuhan makan pun tak bisa optimal terpenuhi. Bahan pangan serba mahal, di tengah cekikan ekonomi yang kian menyengsarakan.

Krisis ekonomi ini mencetuskan kemiskinan ekstrim. Presiden Joko Widodo mengungkapkan, diperkirakan 553 juta jiwa terancam kemiskinan ekstrim dan 345 juta jiwa terancam kekurangan pangan dan kelaparan (kompas.com, 16/8/2022). Untuk mengantisipasi terus meningkatnya tingkat kemiskinan, pemerintah telah kucurkan dana sebesar Rp 450 Trilliun (m.antaranews.com, 20/10/2022). Hal ini diungkapkan oleh Sekretaris Eksekutif Tim Nasional Percepatan Penanggulangan Kemiskinan (TNP2K), Suprayoga Hadi. Dari 34 provinsi, ada 14 provinsi yang mengalami peningkatan kemiskinan ekstrim. Suprayoga pun melanjutkan, pasti ada something wrong, sehingga harus segera dikoreksi dan dibenahi.

Rasanya hanya halusinasi, saat kampanye optimalisasi gizi keluarga di tengah krisis ekonomi yang mencekam. Program-program bantuan pemerintah, hanya sekedar “numpang lewat”. Tak bisa sepenuhnya memenuhi segala kebutuhan rakyat. Apalagi hantaman inflasi telah nyata di hadapan mata. Otomatis, seluruh kebutuhan hidup pun naik drastis.

Dampak kemiskinan ini pun sangat tampak. Stunting, misalnya. Masalah yang belum juga temu solusi hingga kini. Sehingga dapat dikatakan bahwa peringatan hari pangan hanya sekedar ilusi tanpa solusi. Peringatan ini pun hanya sekedar seremoni tahunan yang tak memberikan dampak positif bagi nasib umat. Peringatan ini seolah menyerahkan segala masalah hanya pada kemampuan masyarakat. Padahal faktanya mustahil rakyat bangkit sendiri tanpa adanya fasilitasi dan regulasi dari negara.

Inilah kelirunya pengelolaan di bawah sistem ekonomi kapitalistik liberal. Sistem ini hanya menambal cacat-cacat lokal. Sedangkan pusat kerusakannya tak pernah disentuh. Sistem yang hingga kini diterapkan, adalah biang kerok segala masalah pangan. Kapitalisme, yang menyandarkan segalanya pada materi, menjadi malapetaka besar bagi rakyat. Karena negara tak lagi peduli pada nasib rakyat. Negara hanya memandang rakyat sebagai “objek” penjualan segala komoditas. Padahal seharusnya negara mengurusi segala kebutuhan rakyat, termasuk penyediaan pangan bernutrisi dan terjangkau untuk seluruh lapisan masyarakat.

Islam-lah satu-satunya harapan. Sistem Islam menyuguhkan pengaturan yang sempurna dalam pemenuhan seluruh kebutuhan hidup rakyat. Karena sistem Islam menjadikan kesejahteraan umat sebagai tujuan utama. Dalam pengelolaan sistem ekonomi Islam, segala masalah dapat terurai sempurna.

Kisah pemimpin Khilafah yang begitu menggugah. Saat Umar bin Khaththab, Sang Khalifah, membawa sekarung gandum, dan berbagai makanan bergizi untuk keluarga yang kelaparan di tengah dinginnya malam. Kisah yang sangat masyhur hingga kini. Inilah gambaran luar biasa saat Islam mengelola kebutuhan pangan umat.

Islam menjanjikan solusi tuntas. Kemiskinan ekstrim dan kerawanan pangan tak hanya diatasi dengan ilusi dan narasi.

Wallahu a’lam bisshowwab.

Artikel Lainnya

Krisis Air Mengancam, Akibat Sistem yang Makin Kejam

Sistem kapitalisme sekuler pun “mengizinkan” pembangunan yang berlebihan tanpa mengindahkan dampaknya bagi lingkungan. Dengan pembukaan dan pembebasan lahan yang luas. Tentu saja, semua ini berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Konsep ini pun diperparah lagi dengan program liberalisasi sumberdaya alam. Sistem ekonomi kapitalisme melegalkan pengelolaan sumberdaya air oleh pihak swasta.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *