Semesta pun Rindu Khilafah
SuaraNetizenIndonesia_ Alam mulai gelisah. Banjir bandang dan longsor luar biasa dahsyatnya, menerjang beberapa wilayah di tanah air. Sumatera terdampak kerusakan yang sangat berat. Rumah-rumah warga dan jalan-jalan, hancur. Banyak manusia hilang, terluka, dan tewas karenanya. Tak sedikit pula hewan yang terperangkap di lokasi bencana. Suwarnadwipa, kini tak berkutik menghadapi alam.
Warga yang selamat memilih mengungsi. Sedangkan yang hilang telah mencapai ratusan orang. Hingga Senin (1/12/2025) pukul 17.00 WIB, laporan BNPB menyebutkan bahwa korban meninggal mencapai 600-an orang. Gubernur Aceh Muzakir Manaf menangis saat menyebut, empat kampung di Aceh yaitu Sawang, Jambuai, Bireun, dan Peusangan, hilang akibat banjir bandang ini, yang disebut sebagai bencana yang lebih dahsyat dari tsunami. (Aliansinews.id, 1/12/2025).
Menurut BNPB, banjir dan longsor ini dipicu Siklon Tropis KOTO di Laut Sulu dan Bibit Siklon 95B di Selat Malaka, yang menyebabkan hujan lebat dan angin kencang di kawasan Sumut. Namun para pakar menyatakan, di samping faktor alam tadi, terjadi alih fungsi hutan menjadi perkebunan dan pemukiman, yang mengakibatkan berkurangnya kapasitas serapan air di wilayah tersebut. Wilayah yang dulunya tertutup rapat oleh hutan, kini berubah menjadi hamparan perkebunan sawit. Kelompok advokasi lingkungan Walhi meyakini banjir dan longsor ini tak bisa dilepaskan dari kerusakan hutan yang diduga kuat akibat penebangan kayu yang masif dan penambangan emas.
Alam tampak tertekan. Eksploitasi besar-besaran tak pelak merusak lapisan tanah. Akar yang biasa mencengkeram tanah, dan menahan air, kini tiada. Penebangan hutan dilakukan semena-mena, atas nama pembangunan. Bukankah pembangunan sejatinya tak merusak alam, dan kehidupan? Namun angka deforestasi netto tahun 2023–2024 sudah tembus 175 ribu hektar. Tahun ini diperkirakan mencapai 600 ribu hektar. Tentu bukan sekadar angka di atas kertas, melainkan adanya amanah kepemimpinan yang harus dipertanggungjawabkan.
Banjir Membuka Tabir
Hujan menyingkap tabir rahasia. Segala yang tersembunyi, meluncur bersama air. Saat gelondongan kayu menerjang pemukiman bersama air dan lumpur yang membawanya, 600.000 hektar hutan primer lenyap dalam periode yang sama.
Video gelondongan kayu terbawa arus banjir bandang menerjang Kabupaten Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, dan Sibolga, Sumatera Utara (Sumut) viral di media sosial. Kondisi ini lantas menjadi sorotan publik. Banyak warganet menduga tumpukan kayu yang juga berserakan di pantai Air Tawar, Padang, Sumatera Barat (Sumbar) itu merupakan hasil penebangan ilegal. Namun, hingga saat ini asal-usul gelondongan kayu tersebut, masih menjadi teka-teki. Tumpukan ini menjadi bukti kuatnya terjangan air yang membawa material berat, dari kawasan hulu hingga pesisir.
Kementerian Kehutanan (Kemenhut) menanggapi video tersebut menduga kayu gelondongan itu berasal dari pemegang hak atas tanah (PHAT) yang berada di area penggunaan lain (APL). Meski diduga kayu tersebut adalah kayu lapuk bekas tebangan, tetapi tim Gakkum Kemenhut tetap akan melakukan pemeriksaan menyeluruh.
Slogan nasional ‘Gerakan Satu Juta Pohon Setahun’, ternyata tak sejalan dengan fakta. Terdapat ketidaksinkronan antara kebijakan yang dikeluarkan, dengan realita yang ada. Inilah yang terjadi apabila manusia dibiarkan mengatur dirinya. Maka ketika kebijakan tak lagi relevan, alam pun menggeliat, marah.
Khilafah Melindungi Alam
Setiap benda memiliki karakteristik (qadar). Maka saat manusia ingin mengoptimalkan manfaat benda tersebut, ia tak boleh mengabaikan karakteristiknya. Demikian pula halnya dengan alam semesta beserta isinya, baik, manusia, flora dan fauna, termasuk air, udara, cuaca dan sebagainya. Maka ketika manusia berbuat semena-mena memanfaatkan potensi hutan hingga melampaui batas, yang terjadi adalah bencana. Sebab karakteristik pepohonan adalah menahan erosi, menyaring air, menyimpan karbon, rumah bagi spesies lainnya. Tatkala terjadi deforestasi, karakteristik tadi akan hilang. Begitu pula air dengan karakteristiknya yang selalu menuju tempat yang lebih rendah. Tanpa akar dan tanah yang menahannya, ia akan meluncur ke bawah, mengakibatkan banjir bandang dan longsor.
Perubahan cuaca tidak menentu, kondisi kelembaban udara, adalah beberapa dampak dari perubahan iklim. Es di kutub pun sudah mencair karena global warming. Anomali cuaca dan air, akan menjadi petaka karena ulah tangan manusia sendiri.
Dalam Islam, hutan adalah kepemilikan umum (milkiyah ammah), yakni izin dari Allah SWT kepada masyarakat secara bersama-sama untuk memanfaatkannya. Akan tetapi pemanfaatan ini tidak boleh dikuasai oleh individu ataupun korporasi. Negara yang bertanggung jawab mengelolanya, untuk kemudian kemaslahatannya dikembalikan kepada rakyat.
Islam tidak akan membiarkan terjadinya pembalakan liar, ekploitasi hutan dan ahli fungsi oleh korporasi. Karenanya terdapat mekanisme persanksian yang bersifat penebus (jawabir) dan pencegah (zawajir) beserta para penegak hukum (qadi), terhadap setiap pelanggaran hukum syarak.
Aktivitas manusia bertujuan untuk meraih rida Allah, sehingga akan selalu terikat dengan syariat. Maka manusia harus menjaga alam, sebagai amanah yang akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah. Pepohonan akan memberikan faidah ketika manusia mengelolanya dengan bijak, dan mengukur setiap tindakan terhadapnya. Tidak eksploitatif demi keuntungan materi.
Pada masa Umar bin Khaththab, Umar bin Abdul Aziz, Abbassiyah, dan Utsmaniyah terdapat pola penanganan bencana. Pertama adalah menarik dana dari Baitulmal (kitab Al-Amwāl fi Daulah al-Khilāfah karya Syeikh Taqiyuddin an-Nabhani). Kemudian memobilisasi aparat negara untuk mengoptimalkan bantuan dan membuka posko-posko darurat. Kemudian mengevakuasi korban ke tempat aman. Pada masa Utsmaniyah, saat terjadi gempa di Anatolia, evakuasi dan tempat pengungsian disiapkan oleh Sipahi (militer lokal).
Pendataan korban dan PSU (prasarana, sarana, dan utilitas) yang terdampak bencana agar dapat terpetakan masalah. Kebutuhan hidup para korban ditanggung, sebagaimana Khalifah Umar bin Khaththab, mengimpor gandum dari Mesir. Negara pun melakukan rekonstruksi dan rehabilitasi untuk memperbaiki kerusakan. Hal ini pernah dilakukan Khalifah al-Walid ketika membangun kembali kota yang hancur akibat gempa. Tsumma takuunu Khilafatan ala minhajin nubuwwah.
Komentar