Ketika Generasi Terjebak Dunia Maya: Islam Menawarkan Solusi Nyata

SuaraNetizenIndonesia–Perkembangan teknologi digital kerap dikaitkan dengan kemajuan zaman. Namun di balik deras informasi digital, ada tantangan besar yang dihadapi generasi muda. Penelitian global menunjukkan penggunaan gawai berlebihan dengan paparan layar (screen time) di atas 7,5 jam/hari berpotensi melalaikan generasi muda dari peran kehidupan nyata. Jika telah nyandu, medsos bisa menjadikan generasi bermental lemah, malas berpikir, mengalami gangguan tidur, rendah diri, bullying, sulit bersosialisasi, depresi, dan perilaku melukai diri sendiri. 

 

Meta sendiri sebagai perusahaan terbesar dalam industri media sosial mengakui bahaya dan dampak negatif yang ditimbulkan dari platformnya. Ia pernah meminta maaf melalui pernyataan publik di hadapan badan legislatif maupun inisiatif perusahaan kepada orang tua yang anaknya menjadi korban eksploitasi dan pelecehan seksual melalui platformnya. Walaupun hingga kini Meta tak lantas menutup platform miliknya. 

 

Fenomena ini memicu kekhawatiran. Sejumlah negara di dunia menyikapi bahaya itu dengan regulasi yang ketat. Australia misalnya, secara tegas dan terang-terangan membuat aturan anak di bawah usia 16 tahun dilarang mengakses medsos. Di Indonesia sendiri, pemerintah melalui Menteri Komunikasi dan Digital Meutya Hafid mengatakan sudah memiliki aturan terkait pembatasan akses medsos pada anak yang tertuang pada PP Nomor 17 Tahun 2025 tentang Tata Kelola Penyelenggaraan Sistem Elektronik dalam Perlindungan anak.

 

Dalam PP tersebut disebutkan anak di bawah 13 tahun hanya diperbolehkan memiliki akun pada produk layanan digital berisiko rendah yang dirancang khusus untuk anak-anak dan itu pun harus disertai izin orang tua. Pemerintah juga akan mengeluarkan Permen mengenai sanksi-sanksi bagi platform yang enggan patuh pada aturan. (Kompas.com, 13-12-2025) 

 

Generasi dalam Jebakan Medsos dan Algoritma 

 

Tak bisa dimungkiri, saat ini media sosial telah menjadi bagian tak terpisahkan dari kehidupan manusia, terutama Gen Z yang hidup dan tumbuh bersama teknologi (digital natives). Hampir semua aktivitas Gen Z bergantung pada media sosial dari mulai belajar, mengakses informasi, hingga berbelanja. Di balik itu terungkap realitas yang lebih dalam dari media sosial. Derasnya arus digitalisasi bisa menjadi bom waktu bagi generasi jika tidak digunakan dengan bijak. Seluruh konten digital menjadi tabungan informasi dan bisa mengendalikan cara berpikir mereka, merusak mental dan arah pandangnya terhadap kehidupan. Tentu ini tidak boleh dibiarkan mengingat generasi muda adalah aset masa depan yang akan membawa perubahan. 

 

Karenanya peran negara dalam mengawasi dan mengontrol derasnya arus digitalisasi sangatlah penting. Apalagi ide-ide sekuler dan liberal yang bertengger di media sosial begitu banyak dan deras, yang pada titik ini membutuhkan benteng dari negara. Namun tentunya upaya menyelamatkan generasi muda dari ruang digital tersebut tidak cukup ditempuh dengan pendekatan moral semata atau langkah teknis seperti regulasi pembatasan penggunaan gawai dan literasi digital yang parsial. 

 

Perlu upaya mendasar yang dilakukan agar hasilnya bersifat sistemik, karena hakikatnya masalah ini muncul akibat ruang digital yang dikuasai oleh paradigma kapitalisme yang menjadikan platform media sosial sebagai bisnis besar. Kapitalisme meniscayakan algoritma media sosial tidak dirancang untuk menghadirkan manusia pada kebenaran atau makna hidup, melainkan menjaga simpanan untuk akumulasi kapital. Alhasil generasi yang terbentuk pun pragmatis, individualis, relativis, hingga mudah stres dan mengalami tekanan mental. 

 

Perubahan mendasar yang dimaksud adalah upaya yang datang dari sistem di mana negara bertanggung jawab menjaga dan membentengi generasi. Upaya pertama adalah merubah paradigma kapitalisme sekuler dengan cara pandang yang sahih yakni Islam. Karena meskipun Gen Z selama ini kerap dicap sebagai generasi rapuh, cemas, dan minim daya juang, namun pernyataan ini tak sepenuhnya benar.

 

Di balik tekanan mental yang dialami, nyatanya Gen Z menyimpan potensi kritis yang kuat, berani menyuarakan pendapat, dan cakap memainkan media sosial sebagai alat mobilisasi. Ini terbukti dengan maraknya aktivisme digital dan kampanye sosial lokal maupun global yang membuktikan bahwa Gen Z bukanlah generasi apatis, melainkan generasi yang sedang mencari perubahan.  

 

Upaya kedua, negara harus memfilter semua tayangan di berbagai platform media sehingga yang hanya tersisa konten yang dapat memupuk keimanan dan semangat perubahan. Bila perlu negara akan mendesain sistem algoritma yang menunjang kemajuan peradaban agar sesuai dengan ideologi Islam yang dapat mendeteksi dan memblokir otomatis berbagai konten yang merusak pemikiran. 

 

Penjagaan Islam Terhadap Generasi 

 

Islam hadir menawarkan solusi bagi semua masalah kehidupan. Dalam hal generasi, Islam memandangnya sebagai aset berharga yang akan membawa perubahan besar bagi peradaban. Karenanya Allah secara tegas melarang kaum muslimin untuk meninggalkan keturunannya dalam keadaan lemah baik secara iman, ilmu, maupun ekonomi. 

 

Allah Swt. berfirman: “Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya meninggalkan dibelakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.” (TQS. An-Nisa: 9)

 

Sistem Islam memosisikan negara/penguasa sebagai penjaga generasi. Sebab ia adalah pemegang kekuasaan yang dipilih umat untuk menegakkan hukum Allah dalam menjalankan roda pemerintahan agar sesuai dengan syariat-Nya. 

 

Atas prinsip ini, maka keberadaan teknologi, algoritma, maupun platform media akan dibangun di atas landasan akidah Islam. Seluruh sistem digital akan didesain otomatis memblokir konten berbahaya dan merusak. Dengan mekanisme ini, keberadaan ruang digital akan dipastikan aman dan nyaman bagi pengguna dan masyarakat secara umum, sehingga tidak ada ruang bagi platform yang membawa ide kufur menyesatkan bagi pengguna medsos.

 

Sebab semua platform akan diarahkan kepada misi dakwah dan jihad, di samping informasi umum yang sifatnya berita, imbauan, arahan, ataupun kebijakan yang harus segera tersampaikan. 

 

Negara pun akan memastikan setiap warganya, terutama generasi muda memahami literasi digital sebelum berselancar di dunia maya agar umat bisa menggunakan medsos dengan bijak. Literasi ini dimasukkan ke kurikulum pendidikan sebagai bagian pertumbuhan peradaban karena internet sudah tak bisa dipisahkan dari kehidupan.

 

Namun demikian pembinaan generasi agar memiliki visi misi Islam, dakwah jamaah, akan tetap dilakukan bahkan difasilitasi negara sehingga terbangun kesadaran bahwa semua aktivitasnya terikat dengan syariat. Sebab generasi muda dengan potensi yang dimilikinya adalah aset untuk peradaban Islam di masa mendatang.

 

Meskipun dulu sejak Rasulullah masih hidup dan belum ada teknologi canggih, pembinaan dua generasi (tua dan muda) di rumahnya Arqam bin Arqam berhasil Rasulullah lakukan hingga lahir bibit-bibit unggulan untuk diterjunkan di tengah medan kehidupan.  

 

Pada akhirnya, teknologi maupun ruang digital akan menjadi tatanan kehidupan yang membawa rahmat dan wasilah memperkuat dakwah dan semangat jihad fii sabilillah.Wallahu a’lam bissahawwab. [SNI].

Artikel Lainnya

Marak Perundungan Anak, Dimana Letak Masalah Utamanya ?

Kasus perundungan tidak akan menuai penyelesaian dengan seruan revolusi mental, pendidikan berkarakter ataupun kampanye anti bullying. Sesungguhnya akar utama masalah perundungan adalah sistem kehidupan sekuler liberal yang rusak dan merusak. Sebaliknya, permasalahan generasi saat ini akan menuai penyelesaian dengan mengembalikan peradaban Islam yang komprehensif dalam lingkup keluarga, masyarakat dan negara melalui institusi Khilafah. 

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *