Perundungan: Lembar Kelam Generasi akibat Sekularisme

 

SuaraNetizenIndonesia_ Tahun 2025 tampaknya menjadi tahun paling suram yang menimpa generasi. Satu demi satu korban perundungan (bullying) berjatuhan. Pada Oktober 2025, terdapat tiga kasus bunuh diri oleh remaja belasan tahun. Di Sukabumi, Jawa Barat, seorang siswi (14) mengakhiri hidupnya diduga akibat kekerasan verbal. Dua kasus bunuh diri lainnya terjadi di Sawahlunto, Sumatra Barat, pun akibat perundungan. Sedangkan terbaru, siswa Tangsel (13) akhirnya meninggal dunia setelah dibully sejak MPLS sampai akhir hidupnya.

Berdasar data Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), hingga November 2025 tercatat 601 kekerasan di sekolah. Jumlah ini melampaui tahun 2024, sebanyak 573 kasus.
Miris memang, generasi yang kita harapkan memegang tongkat estafet kekuasaan, ternyata adalah seorang penjahat kecil, yang kerap menyiksa dan menyakiti orang lain. Bagaikan tren, kasus perundungan menjalar ke berbagai wilayah di negeri ini. Muncul pelaku-pelaku baru dan bentuk aksi yang beraneka ragam.

Perundungan bukan masalah individu semata, namun ia adalah persoalan sistemik. Peran Allah yang hilang dari pengaturan kehidupan, membuat manusia pongah ingin meraja di segala bidang. Parahnya, ia meninggikan dirinya sembari menginjak kehormatan orang lain. Maka tak cukup hanya memberi sanksi pada pelaku, tetapi perlu perbaikan dalam seluruh aspek kehidupan.

Konon perundungan telah ada di masa lampau. Socrates seorang filsuf yang hidup pada abad 5 SM, harus mengalami perundungan dari para elite politik Athena. Begitu pula di abad 18 dan 19, budak-budak di negara Barat, dihina secara verbal, fisik dan emosional oleh pemilik mereka. Hingga perang dunia pertama, tradisi perundungan juga menimpa para prajurit yang enggan turun ke medan perang. Mereka mendapat cowardice card atau kartu pengecut, dan dibully oleh sesama tentara atau komandan mereka.

Perundungan (bullying) adalah perilaku agresif yang secara sengaja dilakukan berulang-ulang oleh seseorang atau sekelompok orang yang memiliki kekuasaan, untuk menyakiti, mengintimidasi, atau merendahkan orang lain. Bentuknya bermacam-macam, seperti kekerasan fisik, verbal, sosial, atau siber (online). Akibatnya, korban merasa tertekan, bahkan mengalami trauma fisik maupun psikisnya.

Perundungan biasanya menyasar orang tertentu yang dianggap memiliki kekurangan fisik atau psikis, keterbatasan komunikasi, tidak mampu membela diri, tidak percaya diri, serta tidak memiliki banyak teman. Karakteristik inilah yang menjadikan mereka rentan menghadapi perundungan.

Dalam kehidupan sehari-hari, ada pula saling ejek dengan teman, tetapi hal ini tidak tergolong perundungan, sebab tidak dilakukan untuk mengintimidasi orang lain. Sedangkan perundungan menunjukkan sikap dominasi terhadap orang lain, melalui aksi ancaman berulang-ulang hingga mengakibatkan cedera fisik atau psikis.

Fenomena ini sungguh sangat memprihatinkan. Pelaku dan korban, kini sama-sama perlu mendapat perhatian. Pelaku tentu harus mendapat tindakan tegas dan diberi sanksi. Sedangkan korban, perlu dilindungi dan dipastikan sembuh dari luka badan dan batinnya. Sebab jika tidak, bisa jadi ia kelak berubah sebagai pelaku perundungan baru.

 

Sekularisme Menyakiti Generasi

Tak mudah hidup di bawah naungan sekularisme. Tanpa panduan Ilahi, manusia bebas melakukan aktivitas apapun untuk memuaskan keinginannya. Akibatnya, nilai-nilai materi menjadi hal yang dianut oleh individu: harus cantik, pintar, populer, kaya dan sebagainya. Ketika tak satupun faktor pendukung tadi melekat dalam dirinya, maka seseorang menjadi inferior dan rendah diri, sehingga mudah menjadi target hinaan.

Di samping itu situasi rumah yang tidak kondusif karena pertengkaran kedua orang tua atau perceraian, membuat anak patah hati dan melampiaskan kekecewaannya kepada pihak yang dianggap lemah. Atau bisa juga karena pergaulan dengan kelompok teman yang kerap kali melakukan tindak kekerasan, seperti membuat onar dan gaduh, tawuran, geng motor dan sebagainya, membuat perilaku keras tadi terbawa olehnya.

Pun yang tak kalah mengkhawatirkan adalah pengaruh media sosial, baik berbentuk gim (games), atau challenge, yang membuat seseorang terpacu dan berani melakukan kekerasan fisik, karena mengejar reward. Atau dari tayangan infotainment di televisi yang menjadikan candaan kepada pihak yang lemah, kalah, tertipu (kena prank) dan tersakiti. Penonton bersorak dan tertawa, seolah wajar melihat pihak yang teraniaya. Hal ini membuat nalar anak-anak tak lagi berkembang dengan baik. Mereka tak mampu membedakan benar atau salah, baik atau buruk. Yang harusnya iba, menolong pihak yang lemah, justru sebaliknya malah bersikap kasar, menyakiti atau membiarkan keburukan tersebut terjadi.

Lemahnya pengawasan di sekolah dan orang tua, juga membuat perundungan semakin menjadi-jadi. Akhirnya korban tak punya tempat berlindung, sekolah menutupi perkara karena khawatir nama baik lembaga akan merosot. Orang tua pun abai, sibuk dengan urusannya tak mampu mendeteksi sedari dini. Sedangkan pelaku bullying terus melancarkan aksinya dengan membabi buta. Maka orang tua dan guru harus peka menyaksikan perubahan sikap anak-anak, apakah mereka tampak gelisah, cemas, atau enggan sekolah dan hilang barang pribadinya. Bahkan bisa jadi terdapat tanda-tanda kekerasan fisik, seperti memar, luka, gores maupun luka terbuka atau sakit di bagian tubuh tertentu, yang diduga kuat akibat bullying.

 

Islam Melindungi Generasi

Islam memiliki nilai kemuliaan yang berbeda dibanding pada pemahaman lainnya. Sebagaimana disebutkan di dalam hadits,
dari Abu Hurairah berkata, Rasulullah saw. bersabda: “Sesungguhnya Allah tidak melihat fisik dan harta kalian, tetapi Ia melihat hati dan amal kalian.” (HR Bukhari)
Maka menghina, menertawakan atau menganiaya seseorang, bukan hanya tidak boleh, tetapi haram. Berdosa bagi seseorang, menyakiti orang lain.

Keluarga sebagai institusi terkecil, memberi teladan baik kepada anak-anak, melalui pengasuhan dan kasih sayang. Masyarakat pun tolong menolong dalam kebaikan dan takwa, serta memperbaiki tatkala ditemukan kemungkaran. Dalam pandangan Islam, negara memiliki peran yang jauh lebih besar lagi, yaitu menjaga kehormatan seseorang dengan penerapan Islam kaffah. Darinya akan tercapai maqashid syariah, yakni menjaga agama atau hifz al-din, menjaga jiwa atau hifz al-nafs, menjaga akal atau hifz al-aql, menjaga keturunan atau hifz al-nasl, dan menjaga harta atau hifz al-mal.

Negara juga memiliki perangkat berupa para syurthah dan qadi, yang akan menimbang perkara tatkala terjadi pelanggaran hukum syara’. Suasana keimanan (Jaawul iimani) pun melingkupi kehidupan, karenanya seluruh komponen baik penguasa, masyarakat, sekolah, dan keluarga, bahu membahu menjaga kehormatan seseorang. Pelanggaran sekecil apapun, akan segera terdeteksi dan diperbaiki dengan persanksian yang bersifat penebus (jawabir) dan pencegah (zawajir).

Pendidikan pun diarahkan untuk membentuk kepribadian (syakhsiyah) Islam, sehingga tak akan ada individu yang tinggi hati, merasa lebih mulia dibanding lainnya. Kehidupan berjalan semata-mata untuk menegakkan agama Allah, alhasil tidak akan ada seseorang yang menghabiskan energinya untuk berseteru. Justru sebaliknya, seluruh potensi dikerahkan untuk meninggikan kalimatullahu. Inilah sebaik-baik negeri yang akan menjaga dan memuliakan manusia. Tsumma takuunu khilaafatan ala minhajin nubuwwah

Artikel Lainnya

Marak Perundungan Anak, Dimana Letak Masalah Utamanya ?

Kasus perundungan tidak akan menuai penyelesaian dengan seruan revolusi mental, pendidikan berkarakter ataupun kampanye anti bullying. Sesungguhnya akar utama masalah perundungan adalah sistem kehidupan sekuler liberal yang rusak dan merusak. Sebaliknya, permasalahan generasi saat ini akan menuai penyelesaian dengan mengembalikan peradaban Islam yang komprehensif dalam lingkup keluarga, masyarakat dan negara melalui institusi Khilafah. 

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *