Islam Tuntaskan HIV AIDS

SuaraNetizenIndonesia_ Bekasi menduduki peringkat kedua kasus HIV AIDS terbanyak di Jawa Barat, setelah Bandung. Dalam laporan Dinkes Kota Bekasi, terdapat 321 kasus baru sepanjang Januari hingga Juli 2025, dari 50.583 yang menjalani tes. Kepala Bidang Pengendalian dan Pencegahan Penyakit (P2P) Dinas Kesehatan Kota Bekasi, Vevie Herawati mengatakan jumlah rentang usia kasus HIV di Bekasi bervariasi mulai dari 0-50 tahun. (Rakyatbekasi.com, 22-9-2025)
Pada tahun 2024, terdapat 2.900 kasus anak-anak dan remaja (kelompok usia 14–19 tahun), yang sebagian besar masih berstatus pelajar, dari total 10.000 kasus HIV AIDS di Jawa Barat. Mirisnya, mereka mengakui telah melakukan aktivitas seksual dengan lebih dari satu orang. (TVonenews.com, 14-8-2025)
Selain itu terdapat pula kenaikan yang signifikan pada jumlah komunitas LGBT. Pada periode 2024, terdapat 5632 kasus. Sedangkan 2023, 544 kasus. Kenaikan hingga 10 kali lipat ini, menjadikan Kota Patriot masuk ke dalam zona merah rawan LGBT.
Kedua kasus ini seolah berebut panggung, berusaha menunjukkan eksistensinya. Tentu ini bukan prestasi, perlu upaya serius memperbaiki hal ini, tidak hanya di Bekasi, tetapi di seluruh wilayah di tanah air. Jika tidak, penyimpangan yang dahulu hanya kita saksikan di layar kaca, menjadi semakin dekat, bergerak menimpa tetangga, kerabat, dan orang-orang yang kita kenal.
Sekularisme Memberi Ruang
Sekularisme yang memisahkan agama dari kehidupan (fashludin anil hayah) meniscayakan lahirnya kebebasan perilaku. Manusia melakukan perbuatan apapun yang dia sukai, tanpa sandaran agama. Mereka menegasikan peran Allah di dalam ranah kehidupan. Termasuk dalam berperilaku seksual. Gonta ganti pasangan, hubungan anal, atau penggunaan narkoba lewat jarum suntik bersama, membuat penularan HIV AIDS berjalan dengan mudahnya.
Jika LGBT terjadi akibat kesalahan pada orientasi seksual, maka HIV AIDS lebih kepada pola perilaku seksual berisiko. Keduanya bisa saja terjadi bersamaan dan menambah besar dampak yang terjadi. HIV tinggi sering ditemukan di wilayah dengan perilaku seksual berisiko tinggi, salah satunya pada sebagian populasi LGBT. WHO dan UNAIDS mencatat data epidemiologi bahwa angka HIV di banyak negara lebih tinggi pada kelompok LSL (Laki Suka Laki) atau MSM (men who have sex with men) ketimbang hubungan biasa.
Norma yang berlaku, membuat keduanya dijauhi masyarakat. Alhasil stigma negatif mengiringi perjalanan kasus ini, sehingga banyak penderita HIV AIDS yang malu berobat. Pun deteksi dini maupun pengobatan, menjadi terlambat. Sementara negara hanya berupaya mengobati dan memperbaiki stigma, melalui tema besar tahunan di setiap peringatan hari AIDS internasional. Tentu bukan solusi jitu bagi kasus ini, sebab tak menyentuh akar masalah. Karenanya upaya perbaikan, jangan hanya berhenti pada pengobatan dan kampanye edukasi seksual yang aman saja.
Apalagi media sosial juga turut andil membuka celah pergaulan bebas. Tayangan mengumbar aurat menjadi hal yang dianggap biasa. Maka tak heran sekularisme tak pernah tuntas menghabisi penyimpangan ini. Perlu upaya sistemik untuk perbaikan, yaitu kembali kepada Allah Sang Pengatur kehidupan (Al-Mudabbir).
Islam Menuntaskan
Dalam Islam seluruh aktivitas manusia wajib terikat hukum syara’, maka negara akan menerapkan aturan Allah SWT, secara menyeluruh. Perilaku seks menyimpang atau homoseksual (liwath) dan zina termasuk dosa besar. Nabi ﷺ bersabda, “Allah melaknat orang yang melakukan perbuatan kaum Luth.” (HR Ahmad, Al-Bazzar, dan dinilai sahih sebagian ulama).
Pelaku zina akan dirajam bagi yang sudah menikah (muhshan) dan dicambuk 100x bagi yang belum menikah (ghayru muhshan) serta diasingkan selama setahun.
Sedangkan bagi liwath, persanksian berbentuk takzir (sanksi yang ditetapkan oleh khalifah atau hakim) berbeda-beda di setiap kepemimpinan. Imam Hanafi berpendapat bahwa takzir untuk pelaku liwath tidak terkategori zina. Sedangkan bagi Maliki, Syafi’i dan Hanbali, sanksi liwath sama dengan zina. Abu Bakr dan Ali ra. berpendapat bahwa pelaku liwath dijatuhi hukuman mati, tanpa membedakan statusnya, menikah atau tidak.
Islam memiliki mekanisme penjagaan hukum Allah SWT yakni melalui kerja para qadi dan syurthah (hakim dan kepolisian). Mereka yang memperbaiki kerusakan dan menghentikan pelanggaran, dengan sanksi yang bersifat sebagai penebus (jawabir) dan pencegah (zawajir).
Tidak hanya melarang, Islam pun mengatur langkah-langkah strategis pencegahan, di antaranya adalah menertibkan media, melarang tayangan pornografi dan pornoaksi, serta prostitusi, yang berkelindan di tengah kehidupan. Negara membatasi ruang pemikiran umat, agar tidak masuk kemungkaran di sana. Seluruh pintu kebebasan ditutup, perilaku menyimpang pun tidak akan dibiarkan merajalela.
Negara mendidik masyarakat dengan menancapkan akidah, agar seluruh aktivitas yang lahir, hanya untuk mendapatkan rida Allah semata. Penerapan syariat secara kaffah, memastikan setiap lini kehidupan berjalan sesuai tuntunan, baik sosial, ekonomi, pendidikan, hukum, kebijakan, persanksian dan sebagainya.
Maka langkah-langkah pencegahan dapat dilakukan sedari dini melalui pendidikan yang menancapkan akidah, sistem pergaulan yang mengatur interaksi pria dan wanita, kewajiban menutup aurat, pemisahan kehidupan khusus dan umum, kemudahan menyelenggarakan pernikahan, dan sebagainya.
Sedangkan tindakan kuratif, baik berupa pengobatan, sanksi hukum yang tegas, maupun yang bersifat sosial seperti mengasingkan pelaku, bertujuan agar perilaku menyimpang tidak menyebar. Masyarakat yang sakit akan membebani negara dan tak mampu mencapai kebaikan.
Sedangkan Islam menjaga seluruh hak umat, termasuk menjaga keturunan (hifzh an-nasl) dan jiwa (hifzh an-nafs). Karenanya, masyarakat yang taat dan tunduk kepada syariat, akan mudah memperoleh keberkahan dan mencapai kebangkitan. Wallahu a’lam bishshawab.
Komentar