Nyawa Bukan Angka Statistik, Kapan Evaluasi?

Suara Netizen Indonesia–Kejadian Luar Biasa (KLB) terpaksa ditetapkan menyusul kasus keracunan MBG ( Makan Bergizi Gratis) yang terus terjadi dan semakin meningkat dalam tiga pekan terakhir, yang terakhir terjadi di Kabupaten Bandung Barat dan Kabupaten Mamuju.

 

BGN (Badan Gizi Nasional) mencatat per 22 September terdapat 4.711 orang yang menjadi korban keracunan di seluruh Indonesia, tersebar di tiga wilayah berdasarkan klasifikasi BGN yang meliputi wilayah I Sumatra sebanyak 1.281 orang, wilayah II Jawa sebanyak 2.606 orang, dan wilayah III Kalimantan, Bali, Sulawesi, NTT, Maluku, dan Papua sebanyak 824 orang (CNN Indonesia, 26-9- 2025). 

 

Dengan tersedu-sedu, Wakil Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Nanik S Deyang meminta maaf atas kasus keracunan yang menimpa ribuan anak sekolah di daerah-daerah Indonesia. Ia juga mengaku minta maaf atas nama seluruh dapur MBG atau SPPG. Nanik berkata kasus keracunan ini bukan sekadar angka, melainkan nyawa. 

 

Nanik juga berkata kasus keracunan ini bukan sekadar angka, melainkan nyawa sekaligus berjanji kejadian ini tidak akan lagi terjadi. BGN bertanggungjawab penuh atas kesalahan ini. Sepertinya inilah kebiasaan pejabat di negeri ini, bertindak setelah viral dan meminta maaf meski bukan itu solusinya. 

Baca juga: 

Sekolah Rakyat atau Sekolah Unggulan Garuda?

 

Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) per 21 September 2025 mencatat keracunan MBG di Indonesia mencapai 6.452 orang. Dengan tertinggi di Jawa Barat mencapai 2.012 orang, disusul D.I Yogyakarta sebanyak 1.047 orang, Jawa Tengah 722 orang, Bengkulu mencapai 539 orang, dan Sulteng 446 orang.

 

Nyatanya data terus bertambah setelah kasus baru terjadi di Kecamatan Ujungjaya, Kabupaten Sumedang, Jawa Barat pada Jumat, 26 September 2025 sebanyak 103 siswa di Kecamatan Ujungjaya juga keracunan setelah menyantap MBG (kompas.com, 26-9-2025).

 

JPPI menyoroti munculnya berbagai persoalan selayaknya menjadi alarm keras bagi negara, mulai dari kasus anak-anak yang mengalami keracunan akibat kualitas makanan yang buruk, makanan basi dan berulat, hingga munculnya dugaan penyelewengan anggaran dalam pengadaan bahan pangan. Persoalan ini bukan lagi masalah teknis semata, melainkan indikasi dari kelola tanpa ‘tata’ dan kelola secara ‘ugal-ugalan.’

 

Epidemiolog Universitas Griffith Australia, Dicky Budiman menyoroti kasus keracunan di Bandung, Jawa Barat dengan mengatakan ada titik kritis penyajian makanan yang terabaikan. Karena sebenarnya, keracunan pangan itu sepenuhnya bisa dicegah. Kalau sampai berulang, itu jelas sinyal kegagalan governance, kapasitas, pembinaan, dan pengawasan (detikcom, 26-9-2025).

 

Ketua Umum Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI) dr Piprim Basarah Yanuarso juga merasa prihatin, “Sudah cukup lah. Enough is enough. Cukup berhenti sampai sini keracunannya.” (detik.com, 25-9-2025).

 

Yang menyakitkan, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) Dadan Hindayana meskipun mengatakan pemerintah memang mengalami dilema antara melengkapi sumber daya manusia agar program berjalan dengan lancar, atau mengejar target jumlah penerima manfaat, namun kemudian ia mengatakan kasus keracunan masih dalam batas wajar, dari total sajian makanan keracunan hanya 4.711 porsi dari 1 miliar porsi yang sudah dimasak selama 9 bulan, artinya program unggulan Presiden Prabowo Subianto ini berjalan dengan baik. Artinya, sebagian besar anak memang senang dengan program makan bergizi (fajar.co.id, 26-9-2025).

 

Sejahtera Haruskah Membahayakan?

 

Jika dikalkulasi dengan angka dan itungan statistik tentulah tak akan berujung, selalu ada sanggahan dan pembenaran. Padahal, meski tidak sampai membawa kepada kematian, seseorang sakit karena keteledoran adalah bentuk membahayakan nyawa. Dan apakah mencapai kesejahteraan harus melalui jalan membahayakan? 

 

Program MBG sejatinya hanyalah program populis, menyenangkan hati rakyat karena sudah terlanjur janji kampanye. Padahal, jika pun tidak ada tidak sampai menjadikan keadaan genting dan berakibat kematian. Masih banyak masalah urusan rakyat yang jika tidak diperbaiki dengan benar akan mengancam nyawa, sebut saja perseteruan lahan antara masyarakat dengan militer akibat tukar guling lahan yang mencaplok lahan dan ruang hidup rakyat. 

 

Atau kasus perzinahan, filisida maternal, jembatan rusak sehingga akses sekolah terpaksa ditempuh dengan perahu bocor atau berenang melawan arus deras dan lainnya. Sorotan Netizen akhirnya tertuju pada petinggi BGN yang tidak ada satu pun ahli gizi, melainkan purnawirawan TNI dan satu eks jurnalis nasional. Padahal program ini bertujuan untuk memperbaiki gizi anak dan ibu hamil, juga menghilangkan stunting. Lembaga ini juga berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden.

Baca juga: 

Drama Ibadah Haji, Danantara Beraksi

 

Tidakkah saatnya melakukan evaluasi? Besaran dana yang disediakan untuk MBG mengalahkan anggaran untuk program pendidikan, bukankah semestinya lebih fokus pada pendidikan yang hingga hari ini bisa terseok-seok. Kesejahteraan guru tidak merata, banyak bangunan sekolah tak layak atau rusak, hingga kurikulum yang tidak mampu membentuk kepribadian tangguh, cerdas dan bertakwa. 

 

Mungkin ada yang mengatakan, bukankah pemerintah sudah membuka Sekolah Rakyat dan Sekolah Unggulan Garuda? Bisa dipastikan, bahwa keduanya sama dengan program MBG ini, salah fokus. Ibarat sakit, hanya mengobati gejala tapi tidak menyentuh akar. 

 

Islam Solusi Riil Semua Persoalan Umat

 

Rasulullah saw.bersabda,”Imam/Khalifah adalah penggembala (raa’in), dan dialah yang bertanggungjawab terhadap gembalaannya.”(HR. Bukhari dan Muslim). Hadis ini menjelaskan perbedaan yang signifikan fungsi pemimpin dalam Sistem Kapitalisme hari ini dengan Sistem Islam. Sekaligus menunjukkan bahwa mengatur urusan rakyat tidak cukup adanya sosok pemimpin tapi juga bagaimana ia memimpin dan dengan apa. 

 

Islam mewajibkan pemimpin itu meriayah (mengurusi) urusan rakyat agar terwujud kesejahteraan dan keadilan. Bukan dengan itungan Gross National Produk (GNP) tapi individu per individu. Dan itu hanya bisa jika menerapkan Sistem Islam kafah. Sebab Islam bukan hanya memerintahkan seorang hamba menyembah Allah dan tidak mempersekutukannya, tapi juga memerintahkan berhukum ( menjadikan solusi) hanya dengan apa yang diturunkan Allah swt. kepada Rasulullah saw. 

 

Allah swt. berfirman yang artinya, “, “Dan hendaklah kamu memutuskan perkara di antara mereka menurut apa yang diturunkan Allah, dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu mereka..” (TQS al-Maidah:49). Syariat Islam menetapkan pengelolaan sumber daya alam oleh negara saja dan mengharamkan dijual atau privatisasi kepada asing, hasilnya dikembalikan kepada masyarakat sebagai pemilik asal kekayaan alam itu. Baik berupa zatnya misal listrik, BBM dan lainnya. Maupun berupa pembangunan sarana publik seperti sekolah, rumah sakit, jalan, transportasi dan lainnya. 

Baca juga: 

Jaminan Stabil Pangan, Beras SPHP Meluncur

 

Syariat juga mewajibkan negara menjamin rakyatnya mudah bekerja, baik membuka lowongan pekerjaan yang luas maupun memberikan modal bergerak dan tidak bergerak bagi warga yang ingin berwiraswata, bertani, nelayan dan lainnya. Mekanisme ini sangat ampuh untuk mengatasi kesenjangan sosial, kemiskinan hingga gizi buruk. Sebab setiap ayah atau wali dimudahkan mencari nafkah. 

 

Sejarah mencatat, Khalifah Umar bin Abdul Aziz, dalam kitab Tarikh Khalifah Umar bin Abdul Aziz karya Ibnu Abdil Hakam, dikisahkan bahwa ia mendirikan dapur umum untuk memastikan tidak ada seorang pun yang kelaparan di bawah pemerintahannya. Perbedaannya, anggaran pada masa keKhilafahan berasal dari Baitulmal yang samasekali bebas daei unsur pajak dan utang. Namun dari pengelolaan harta milik umum (SDA), harta milik negara ( jizyah, kharaz dan lainnya) dan zakat. Wallahualam bissawab. [SNI). 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *