Filisida Maternal: Alarm Rusaknya Sistem Kehidupan

“Kerja dimana?”
“Nggak kerja, saya cuma mengurus anak-anak di rumah.”

Pertanyaan dan jawaban di atas sudah menjadi kalimat familiar bagi mayoritas ibu rumah tangga. Mindset pekerjaan di Indonesia memang masih berkutat pada aktivitas berangkat pagi, pulang sore dan menghasilkan cuan. Sedang, ibu rumah tangga yang notabene berada di rumah dengan beragam aktivitasnya dianggap biasa saja dan bukan sebuah pekerjaan. Tanpa disadari, melakukan rutinitas yang monoton, beratnya tekanan sosial ekonomi, minimnya apresiasi tak hayal membuat ibu rumah tangga mengalami depresi dan gangguan mental.

Berdasarkan Survei Orami pada laman sirclo.com, sebanyak 40% perempuan di Indonesia mengalami gangguan mental setelah menjadi ibu rumah tangga. Kerentanan ibu rumah tangga mengalami depresi bukan terjadi tanpa sebab. Ketimpangan beban dalam pembagian tugas untuk mengurus rumah tangga menjadi salah satu penyebab umum. Tak dimungkiri, perempuan atau ibu cenderung mengerjakan urusan rumah tangga dalam porsi yang lebih besar. Bukan hanya tugas yang bersifat fisik, tetapi juga perkara yang kasat mata atau yang bisa disebut beban kognitif alias beban mental.

Tugas kognitif lebih berfokus pada perencanaan seperti mengatur, mengantisipasi, menyiapkan kebutuhan rumah tangga hingga melimpahkan semua urusan dosmetik termasuk kebutuhan anak-anak. Parahnya, dalam rasa lelah, tak banyak ibu rumah tangga yang mendapat support system dari orang atau lingkungan terdekat. Pada tekanan yang dianggap berat, tak jarang banyak kisah berakhir tragis.

Baru-baru ini, kasus filisida (tindakan sengaja orang tua membunuh anaknya) kembali terjadi. Di Bandung, Jawa Barat, seorang ibu ditemukan tewas gantung diri bersama kedua anaknya yang diduga diracun terlebih dahulu. Dalam kasus ini polisi menemukan surat terakhir yang berisi keluhan bahwa ia sudah lelah menanggung beban hidup sendirian dengan hutang yang kian menumpuk, sementara suaminya enggan bekerja. Ia juga merasa tidak ada orang sekitarnya yang peduli padanya dan anak-anaknya (metrotvnews.com, 09/09/2025).

Cermin Kegagalan Sistemik

Miris, kisah tragis ini menjadi cermin kerusakan mental ibu akibat beban hidup saat ini. Rumah tangga yang harusnya memberi keteduhan, justru menjadi tempat pesakitan. Peran suami sebagai qowwam, pelindung, pemberi nafkah telah hilang. Hal ini diperparah dengan rasa diabaikan. Ada mata yang melihat namun berpaling. Ada telinga yang mendengar tapi pura-pura tidak tau. Bisa jadi, kondisi di sekitar pun tak jauh berbeda.

Kasus ini tidak bisa hanya dilihat semata-mata sebagai tindakan kriminal individu, melainkan sebagai refleksi kegagalan sistem. Fenomena filisida maternal (ibu mengakhiri hidup anak-anaknya sebelum kemudian mengakhiri hidupnya sendiri) menjadi alarm negara dan masyarakat akan rapuhnya kesehatan mental ibu.

Dilansir dari laman detikNews.com, Menko PMK Pratikno mengungkapkan kasus filisida maternal menggambarkan beratnya beban yang dipikul keluarga, khususnya perempuan dalam tekanan ekonomi, konflik rumah tangga, juga minimnya dukungan psikososial. Ia juga menyampaikan, duka ini bukan hanya luka keluarga, tapi juga menjadi luka Indonesia. Tim Kemenko PMK akan berkoordinasi dengan lembaga terkait dan pemerintah daerah untuk melakukan deteksi dini, intervensi, layanan konseling dan perlindungan bagi keluarga sebagai respons pencegahan.

Sejatinya, menyelesaikan permasalahan ini tidak cukup dengan layanan konseling dan perlindungan keluarga saja. Jauh api dari panggang, upaya tersebut hanyalah solusi jangka pendek. Tanpa menyentuh akar permasalahan, tragedi serupa pasti akan tetap terulang. Inilah problematika sistemis dalam masyarakat. Penyebabnya mulitidimensi dan saling berkaitan satu sama lain.

Diakui atau tidak, sistem kapitalisme telah menempatkan keluarga dalam tekanan berat. Benteng keluarga rapuh dan masing-masing individu masyarakat tidak menjalankan perannya dengan benar. Para perempuan atau ibu dituntut tak hanya mengurus rumah tapi juga harus berjuang mencari nafkah. Kebutuhan pokok terus meningkat, sehingga penghasilan suami tak cukup untuk memenuhinya. Ditambah, aspek pendidikan dan kesehatan yang harusnya menjadi kebutuhan dasar masyarakat tak dijamin negara secara merata.

Cara pandang sekularisme yang menolak peran agama sebagai tuntunan kehidupan terbukti menimbulkan berbagai aturan rusak dan merusak. Alih-alih memberi solusi, sebaliknya justru terus memproduksi persoalan baru. Pola pikir sekularisme juga membuat mayoritas masyarakat mengalami krisis keimanan, gampang tersulut emosi, nir-empati, dan dikuasai hawa nafsu. Sistem tersebut telah membuat banyak orang, tak terkecuali kaum muslim, gagal memahami makna dan tujuan hidupnya sehingga lahirlah manusia-manusia bermental rapuh.

Islam, Agama sekaligus Ideologi

Dalam hal ini, satu-satunya sistem yang manusiawi dan menjaga fitrah manusia hanyalah sistem Islam. Islam bukan sekadar agama, tetapi sekaligus pandangan hidup (ideologi) yang aturannya bersumber pada Wahyu Allah Yang Maha Mengetahui. Islam mengajak orang-orang yang beriman untuk senantiasa bertakwa dalam keadaan apapun. Islam juga mampu memuaskan akal manusia dalam memaknai tujuan hidup yang hakiki.

Seluruh amal perbuatan manusia akan dimintai pertanggungjawaban pada kehidupan akhirat. Kesadaran akan hubungannya dengan Allah SWT inilah yang melahirkan rasa takut berbuat dosa juga rasa tenang (sakinah) dalam jiwa manusia. Sehingga, dengan dilandasi sabar dan tawakal, mereka tidak akan mengalami gangguan mental saat menjalani ujian kehidupan.

Sementara aspek ekonomi, negara dalam sistem Islam akan memenuhi kebutuhan pokok per individu dan menjamin tersedianya pekerjaan yang layak bagi laki-laki baligh dan mampu untuk berkerja. Negara juga berperan sebagai junnah (pelindung). Negara memberikan jaminan keamanan rakyatnya, sehingga tercipta lingkungan mental yang sehat.

Singkatnya, keberadaan individu yang bertakwa, kontrol masyarakat yang peduli dan melakukan amar ma’ruf nahi mungkar, serta negara yang menerapkan sistem Islam secara menyeluruh akan mencegah masyarakat dari gangguan mental. Pendidikan yang baik, pemenuhan kebutuhan pokok masyarakat, perlindungan akhlak, pemimpin yang adil, dan orang tua yang bertanggung jawab hanya lahir dari perabadan yang mulia dan berkah. Seperti itulah gambaran di masa peradaban Islam terdahulu.

Wallahu A’lam Bish Shawab.

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *