Kohabitasi, Ilusi Bahagia versi Liberalisasi

 

SuaraNetizenIndonesia_ Seorang warga Dusun Pacet Selatan, Mojokerto, pada Sabtu (6/9) menemukan 65 potongan tubuh manusia, saat sedang mencari rumput. (Detiknews.com, 8-9-2025)
Temuan bagian tubuh ini diidentifikasi milik seorang perempuan muda. Bahkan ratusan bagian tubuh lainnya, masih terdapat di kamar kosnya di Surabaya. Kekasih korban yang telah hidup bersamanya selama ini, diduga kuat sebagai pelakunya.

 

Fakta pembunuhan ini tentu menimbulkan kengerian. Namun latar belakang peristiwa tersebut, tak ayal menyisakan lara bagi khalayak umum. Sebagian paham bahwasanya tak pantas sepasang manusia hidup bersama dalam 1 atap tanpa ikatan pernikahan. Namun sebagian masyarakat lainnya, masih menganggap hal tersebut adalah tren di kalangan muda.

 

Mereka menyebutnya dengan istilah baru yaitu living together atau kohabitasi. Atau biasa kita sebut sebagai, samen leven atau kumpul kebo. Meski ditentang banyak pihak, tetapi tren ini masih cukup banyak peminatnya. Beragam alasan melatarbelakangi, seperti beban finansial, rumitnya prosedur perceraian, ketidakpercayaan pada pernikahan, atau pergeseran norma, yang melonggarkan pandangan terhadap relasi di luar nikah ini.

 

Jika dahulu masyarakat memandang rendah terhadap aktivitas yang satu ini. Namun kini, masyarakat nyaris tak mampu berbuat banyak, bahkan semakin apatis menghadapi hidup, sehingga hilang kontroling, sikap saling menyayangi, menjaga, kemudian menasehati di antara sesama manusia, hingga tren ini pun terus berjaya.

 

Kohabitasi diambil dari Bahasa Inggris ‘cohabitation‘ yang artinya hidup bersama dalam satu atap tanpa ikatan pernikahan yang sah. Ia hanya membahas tentang kondisi tersebut, bukan tentang persetubuhan atau perzinaannya, seperti yang dipahami banyak orang. Istilah ini marak seiring dengan pro kontra masyarakat terhadap substansi Pasal 412 KUHP Baru. Akan tetapi siapapun tentu mengerti bahwasanya sepasang manusia tinggal seatap tanpa ikatan pernikahan, tentu meniscayakan terjadinya perzinaan.

 

Kohabitasi Lahir dari Sekularisme

Sekularisme yang menegasikan peran Allah di dalam kehidupan, menjadikan manusia bertindak semaunya, termasuk memutuskan tinggal serumah dengan lawan jenis tanpa pernikahan. Tidak peduli halal-haram, tren ini akhirnya berkembang di kalangan anak muda.

 

Normalisasi kohabitasi menjadikannya tren toksik yang menyesatkan manusia. Tanpa pemahaman agama, siapapun akan tergelincir dengan hal ini. Saat pacaran tak dianggap sebagai hal tabu, maka tinggal bersama dengan seseorang lawan jenis, akhirnya menjadi hal yang lumrah. Sekularisme tak mampu melahirkan kebaikan.

 

Masyarakat tak menasehati, negara pun tak menjaga. Terbukti di pasal 412 KUHP Baru, seseorang tidak bisa diperkarakan jika tidak ada laporan dari pihak keluarganya. Maka, sama halnya dengan membiarkan pergaulan bebas, atau bahkan memfasilitasinya dengan payung hukum.

 

Islam Menjaga Keutuhan Keluarga

Istilah kohabitasi (cohabitation), hidup bersama (living together), partner hidup (domestic partner), hubungan yang terbuka (open relationship), pasangan tanpa pernikahan (unmarried couple), pertemanan yang menguntungkan (friends with benefits)  dan sebagainya, meskipun tampak keren dan seolah wajar, tapi jika didetili, pada hakikatnya tetaplah aktivitas zina.

 

Allah sudah menetapkan hukum tegas:
Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera…”
(QS An-Nur: 2)

 

Islam memiliki pemahaman yang khas tentang hubungan sesama manusia. Maka tak akan terjadi dalam Islam, sepasang manusia bukan mahram, yang tinggal bersama di bawah satu atap. Islam memiliki penjagaan berupa pakaian yang telah ditetapkan Syarak, bentuk pergaulan pria dan wanita dalam kehidupan umum atau khusus, keharusan menundukkan pandangan (ghodul bashar), menghindari bercampur (ikhtilat) dan bersepi-sepi (khalwat), dan sebagainya.

 

Islam juga memiliki sistem pergaulan (nizhomul ijtimaiy) yang menjaga manusia agar tetap berada dalam koridor syariat, hingga fokus beraktivitas mulia sebagaimana ditentukan oleh Allah Al-Mudabbir. Maka tak akan terjadi pacaran di sana, apalagi sampai tinggal serumah dengan orang asing (bukan mahram), dan juga menghilangkan nyawa (membunuhnya).

 

Dalam Islam persanksian pun tegas mencegah manusia agar tak melakukan kerusakan dan pelanggaran hukum Allah sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, dengan mekanisme yang bersifat pencegah (zawajir) dan penebus (jawabir).

 

Pun terdapat kontrol masyarakat terhadap segala bentuk pergaulan bebas. Masyarakat mengingatkan dan mencegah terjadinya kemungkaran, dan menjadi lapis pertama aktivitas perbaikan (muhasabah), sehingga pelanggaran dapat segera terdeteksi dan diperbaiki.

 

Negara menerapkan tata kehidupan, sebagaimana Islam mengaturnya secara kafah, yang mendatangkan keberkahan. Negara juga berperan besar dalam menjaga masyarakat. Edukasi melalui dakwah dan pembinaan akan senantiasa diberikan, agar masyarakat pun memiliki pemahaman yang benar terhadap Islam.

 

Islam melindungi keluarga dengan menciptakan suasana yang penuh keberkahan di dalamnya. Setiap peran didorong untuk memaksimalkan upayanya, semata-mata agar hadir kebaikan yang banyak, di dalam rumah tersebut. Maka tak perlu seorang pun ke luar dari rumah, demi mencari bahagianya sendiri. Dalam Islam, terdapat standar kebahagiaan hakiki, yaitu menggapai rida Allah semata. Bukan kebahagiaan semu yang ditawarkan sekularisme. [SNI]

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *