Keracunan Akibat Program MBG Berulang, Dimana Jaminan Keselamatan Rakyat?

Kasus keracunan akibat program Makan Bergizi Gratis (MBG) kembali mencuat di berbagai daerah. Di Kabupaten Lebong, Bengkulu, tercatat 456 siswa mengalami gejala keracunan massal usai makan menu MBG (kompas.com, 30-08-2025). Disusul di Lampung Timur, 20 santri Pondok Pesantren Al Islah dilarikan ke rumah sakit yang diduga juga karena keracunan setelah menyantap MBG (kompas.com, 29-08-2025).
Kejadian serupa juga menimpa 135 siswa SMP Negeri 3 Berbah, Sleman (tirto.id, 27-08-2025). Sebelumnya juga sebanyak 196 siswa dan guru SD hingga SMP di Kecamatan Gemolong, Kabupaten Sragen, mengalami keracunan massal usai menyantap MBG. Hasil uji laboratorium di Sragen mengungkap bahwa sanitasi lingkungan yang buruk menjadi faktor utama penyebabnya (cnnindonesia.com, 13-08-2025).
Melihat rentetan kasus tersebut, Kepala Badan Gizi Nasional (BGN) menyatakan akan meningkatkan Standar Operasional Prosedur (SOP) pengiriman MBG ke sekolah, bahkan untuk sementara harus menginstruksikan penghentian sementara operasional Satuan Pemenuhan Pelayanan Gizi (SPPG). Fakta ini menegaskan bahwa program yang digadang-gadang untuk meningkatkan kualitas gizi anak justru menimbulkan ancaman nyata bagi kesehatan, bahkan keselamatan mereka.
Program MBG dijalankan sebagai bentuk pemenuhan janji kampanye Presiden untuk mengatasi malnutrisi, stunting, serta meningkatkan kualitas SDM sekaligus pertumbuhan ekonomi lokal. Namun, berulangnya kasus keracunan menunjukkan adanya kelalaian serius negara dalam menyiapkan SOP dan pengawasan pelaksanaan SPPG.
Ironisnya, kesehatan dan nyawa siswa—yang seharusnya dilindungi—malah dipertaruhkan. Ini menegaskan bahwa MBG hanyalah program populis yang dikejar demi citra politik, bukan solusi fundamental atas masalah gizi. Apalagi, berbagai pakar telah mengingatkan bahwa pemberian makan gratis sekali-sekali tidak otomatis menyelesaikan problem gizi kronis seperti stunting.
Dalam perspektif Islam, negara memiliki peran sebagai ra’in (pengurus rakyat) yang wajib memastikan kesejahteraan masyarakat secara menyeluruh, termasuk pemenuhan kebutuhan pokok rakyat seperti pangan, sandang, papan, kesehatan, pendidikan, dan keamanan. Pemenuhan gizi bukan sekadar proyek politik sesaat, tetapi tanggung jawab mendasar yang harus dikelola dengan sistematis sesuai syariat.
Melalui sistem Islam, negara memiliki sumber pemasukan yang besar, bersih dari utang dan pajak mencekik, karena ditopang oleh pos-pos keuangan syariah seperti kepemilikan umum (hasil tambang, energi, air), fai’, kharaj, hingga zakat. Dengan sistem ekonomi Islam, kesejahteraan bisa dijamin secara menyeluruh dan berkelanjutan.
Lebih dari itu, negara juga akan memberikan edukasi gizi dan kesehatan berbasis syariah yang melibatkan keluarga, masyarakat, dan sekolah, sehingga kesadaran akan pentingnya makanan sehat tumbuh dari akar. Dengan mekanisme seperti ini, problem stunting dan malnutrisi dapat dicegah secara permanen, bukan sekadar ditambal dengan program populis yang penuh risiko.
Kasus keracunan MBG adalah alarm keras bagi kita semua bahwa keselamatan rakyat tidak boleh dijadikan bahan eksperimen politik. Islam memberikan solusi menyeluruh dengan mewajibkan negara hadir secara serius dalam menjamin kebutuhan dasar rakyat, bukan sekadar meluncurkan program instan yang menimbulkan bahaya.
Saatnya berpikir lebih jauh: kita butuh sistem yang benar-benar menyejahterakan, bukan sekadar memoles citra. Hanya dengan penerapan sistem Islam secara kaffah, rakyat dapat merasakan jaminan kesejahteraan yang hakiki, aman, dan berkelanjutan.
Komentar