Ketika Penjudi Online Ditangkap Karena Rugikan Bandar

Suara Netizen Indonesia–
Polda Daerah Istimewa Yogyakarta menangkap lima orang yang kini berstatus tersangka dalam kasus judi online. Mirisnya penangkapan ini dilakukan karena kelimanya diduga “mengakali sistem” di situs judi online. Mereka diketahui telah membuat puluhan akun baru untuk mendapatkan keuntungan dari promosi situs judi online. Kepolisian tidak menyebutkan pihak pelapor kasus ini. Para tersangka mencari keuntungan dengan memanfaatkan promosi yang ada saat pembukaan akun baru. Setiap pemain memainkan 10 akun dalam sehari, mereka tidak hanya mengambil keuntungan dari fee akun baru, namun juga memainkan modal yang ada termasuk bonus.
Atas perbuatan tersebut kelimanya terancam hukuman Pasal 45 ayat 3 jo Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, serta Pasal 303 KUHP Jo Pasal 55 KUHP dan atau Pasal 56 KUHP tentang Informasi dan transaksi.
Penangkapan pelaku judi online ini memicu kontroversi di tengah masyarakat. Mengapa bukan bandarnya yang ditangkap? Apakah negara sedang bercanda dengan ancaman nyata judi online?
Padahal judi online tak hanya mengeruk ekonomi, namun menggempur habis-habisan keharmonisan rumah tangga hingga bermuara ke perceraian. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan jumlah perceraian akibat judi online pada 2024 menembus 2.889 kasus. Jumlah tersebut meningkat 83,77 persen dibandingkan 2023 (cnbcindoneisa.com, 02/5/2025).
Demi Judi online seorang ayah tega menjual bayinya, seorang istri membakar suami pecandu judi online karena menyebabkan kehancuran rumah tangganya, dan banyak lagi kasus-kasus mengerikan terkait maraknya judi online di tengah masyarakat.
Data Nasional Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mencatat jumlah pemain judi online di Indonesia telah menembus angka 4 juta orang. Ironisnya, sekitar 2 persen atau 80 ribu pemain di antaranya masih berusia di bawah 10 tahun (mediaindonesia.com, 06/8/2025).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) mengungkap data mencengangkan terkait maraknya judi online di kalangan anak dan remaja. Saat ini terdapat setidaknya 21 anak di bawah usia 16 tahun yang menjadi pemain aktif judi online di Kepri dengan total deposit mencapai Rp 717 juta. Temuan ini menunjukkan bahwa judi online bukan sekadar masalah finansial, namun berpotensi tinggi untuk menghancurkan masa depan anak bangsa.
Hal yang lebih memprihatinkan adalah ketika kita meyaksikan betapa lemahnya penegakan hukum dalam bisnis haram ini. Mengutip bbc.com pada 11/8/2025 sejumlah pakar hukum pidana mengungkapkan keheranannya terhadap penangkapan lima orang dengan tuduhan merugikan situs judi online, namun tidak mempersoalkan bandar atau pemilik situs judi.
Di samping itu, Pasal 303 KUHP tentang perjudian, menurut ahli hukum, sebetulnya secara khusus ditujukan untuk menjerat bandar judi. Namun realitanya, polisi sangat jarang menangkap bandar padahal Polri memiliki perangkat siber yang canggih semestinya mampu mendeteksi keberadaan bandar judi online. Merujuk tren tersebut wajar kiranya jika masyarakat berasumsi bahwa kepolisian “ada main” atau “menjadi beking” bandar judi online.
Pengamat kepolisian dari Institute for Security and Strategic Studies (ESESS), Bambang Rukminto, menyebut kejanggalan lainnya tampak dari sikap polisi yang hanya menyasar pemain judi online level bawah saja. Faktanya personel polisi juga termasuk kelompok yang rentan judi online.
Data PPATK menyebutkan terdapat sekitar 97.000 anggota TNI dan Polri terlibat dalam aktivitas perjudian online. Ketika institusi yang seharusnya menjaga keamanan dan keadilan justru terjerat dalam praktik ilegal, maka kita dihadapkan pada kenyataan pahit, integritas dan kepercayaan publik sedang terancam (kompas.com, 8/11/2024).
Hal ini menimbulkan pertanyaan besar: jika aparat penegak hukum saja tidak mampu menjaga integritas dan mematuhi hukum yang ada, bagaimana mungkin masyarakat dapat percaya pada sistem hukum yang seharusnya melindungi mereka?
Di sisi lain, kerusakan akibat judi online tidak hanya menyasar kalangan masyarakat umum. PPATK meyebut judi online telah menjangkiti para wakil rakyat di lembaga legislatif baik di tingkat pusat maupun daerah. Setidaknya terdapat lebih dari 1000 anggota DPR dan DPRD beserta sekretariat jenderalnya terlibat transaksi ratusan miliar judi online (tempo.co, 26/6/2024).
Permasalahannya semakin rumit, ketika pemerintah berkoar-koar untuk memberantas judi online, lha realitasnya individu-individu yang seharusnya menjadi panutan justru menciptakan paradoks karena terlibat dalam aktivitas ilegal. Ketika mereka yang memegang kekuasaan dan tanggung jawab malah terjerumus dalam kegiatan melanggar hukum, maka kepercayaan masyarakat kian pupus.
Keadilan Islam
Permasalahan judi online tidak akan pernah selesai selama negara ini tetap menjadi pelayan Kapitalisme. Kapitalisme-lah yang menjadi rahim dan penjaga bagi tumbuh kembangnya perjudian. Pasal 303 KUHP mencantumkan frasa “kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang memberi izin untuk mengadakan perjudian itu”. Maknanya, perjudian dapat berubah menjadi legal ketika penguasa mengizinkan. Meski secara fakta judi itu rusak, namun ketika negara melegalkan dengan berbagai dalih, maka perjudian semakin berkembang karena dilindungi oleh undang-undang.
Oleh sebab itu perang melawan judi online sejatinya adalah perang melawan Kapitalisme. Lawan tanding yang sebanding bagi Kapitalisme adalah ideologi Islam. Maka penguasa yang mampu memberantas judi online adalah penguasa yang memiliki komitmen yang kuat terhadap hukum Allah. Pandangan Islam terkait keharaman judi sangat jelas, baik judi online maupun offline.
Untuk itu negara Khilafah menerapkan aspek promotif melalui peningkatan edukasi dan literasi masyarakat tentang bahaya judi. Kemudian menguatkan keimanan rakyat sebagai jalur preventif. Penguatan ini dapat ditempuh melalui jalur pendidikan, dakwah dan penerangan negara secara luas. Lebih lanjut sanksi akan dikenakan secara tegas bagi warga yang masih melanggar sebagai bagian dari aspek kuratif.
Sistem Islam akan memberantas perjudian baik pemain maupun bandarnya, dan tidak memberi ruang sedikitpun bagi oknum-oknum untuk mem-back up bisnis haram ini. Sehingga terbinalah masyarakat yang memiliki peradaban tinggi, kokoh dan agung.[]
Komentar