Di Darat Berebut Gunung, Di Laut Berebut Pulau

Suara Netizen Indonesia–Polemik empat pulau yang diperebutkan Aceh Singkil dan Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara memang telah diputuskan Presiden Prabowo dan dikembalikan sebagaimana semula, yaitu milik Aceh Singkil. Namun bukan berarti kita harus berhenti waspada dan tidak menggali lebih dalam akar persoalan munculnya polemik.

 

Persoalan bermula dari penerapan modifikasi wilayah oleh pemerintah pusat dengan Mendagri, Tito. Karnavian memutuskan empat pulau di kawasan Aceh Singkil masuk ke dalam wilayah Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumut. Konflik sejatinya sudah berjalan puluhan tahun, klaim Pemprov Aceh yang mengantongi jejak historis di keempat pulau tersebut, sedangkan Pemprov Sumut memiliki dalil dari hasil survei yang dilakukan Kemendagri.

 

Kemendagri berpatok pada keputusan Menteri Dalam Negeri (Kemendagri) No. 300.2.2-2138/2015 tentang Pemberian dan Pemutakhiran Kode, Data Wilayah Administrasi Pemerintahan dan Pulau, yang terbit tanggal 25 April 2025. Keempat pulau itu adalah Pulau Mangkir Gadang, Pulau Mangkir Ketek, Pulau Lipan dan Pulau Panjang.

 

Banyak pihak yang ikut berpendapat terkait polemik tersebut, di antaranya Ketua Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah Anwar Abbas yang meminta pemerintah menghindari terjadinya disintegrasi akibat penetapan Keputusan Mendagri. Sudah banyak korban berjatuhan akibat konflik bersenjata puluhan tahun di Aceh antara pihak pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Dan perdamaian telah tercapai melalui perjanjian Helsinki yang ditandatangani tanggal 15 Agustus 2005 ( tempo.co, 16-6-2025).

 

Anggota DPR asal Aceh Muslim Ayub menyakini polemik kepemilikan empat pulau antara Provinsi Aceh dan Sumatera Utara (Sumut) berkaitan dengan potensi kandungan minyak dan gas (migas) di wilayah tersebut (cnnindonesia.com, 15-6-2025).

 

Muslim menegaskan status wilayah keempat pulau itu sejatinya telah disepakati Gubernur Aceh dan Sumatera Utara pada tahun 1992, yakni Ibrahim Hasan dan Raja Inal Siregar dan disaksikan Menteri Dalam Negeri saat itu, Rubini.

 

Wakil Presiden RI ke-10 dan ke-12 Jusuf Kalla juga angkat suara soal polemik status empat pulau di perbatasan Aceh dan Sumatera Utara (Sumut). Ketentuan perbatasan kedua wilayah itu telah diatur dalam poin nomor 1.1.4 yang tertuang dalam perjanjian Helsinki. Perjanjian itu, kata Jusuf Kalla, telah disepakati Indonesia dan kelompok Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pada 15 Agustus 2005 (CNN Indonesia, 13-6-2025).

Baca juga: 

Dari UKT Menuju Janji  Pendidikan Gratis

 

JK menyebut aturan perbatasan dalam perjanjian Helsinki itu merujuk ketentuan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 1956 mengenai pembentukan daerah otonom Provinsi Aceh dan Provinsi Sumatra Utara yang diteken Presiden RI saat itu, Sukarno.

 

Memang persoalan keempat pulau tersebut tidak bisa disebut remeh temeh, adanya potensi Migas sangat mengemuka. Potensi ekonomi ternyata sangat potensial menjadi faktor utama penyebab sengketa wilayah, apalagi SDA minyak.

 

Terlebih negeri ini menerapkan sistem Kapitalisme, yang memandang potensi kekayaan SDA migas di sekitar empat pulau Aceh itu tentu tak boleh diabaikan. Ibarat gula yang mengundang semut, sifat rakus para kapitalis akan berusaha menguasainya, meski harus menempuh dengan segala cara. Dan posisi pemerintah sangat strategis dalam hal ini,

 

Kisruh Rebutan Pulau: Antara OTDA, SDA dan Ancaman Disintegrasi

 

Hal yang semakin memperuncing persoalan adalah adanya otonomi daerah. Pasal 1 angka 6 UU 23/2014 jo. UU 1/2022 menyebutkan otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem NKRI.

 

Dalam otonomi daerah juga dikenal adanya asas otonomi. Hal ini dijelaskan dalam Pasal 1 Angka 6 UU 23/2014 jo. UU 1/2022, asas otonomi adalah prinsip dasar penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan otonomi daerah. Penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan berdasarkan tiga asas, yakni asas desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan.

 

Adanya kebolehan daerah mengatur wilayahnya sendiri atau yang disebut pengelolaan pemerintahan daerah dengan menggunakan sistem otonomi daerah (Otda) yang sejatinya sebuah sistem aturan yang lahir dalam kerangka Demokrasi sekular-Kapitalis, terutama dari pemikiran negara-negara Barat pasca-revolusi industri dan modernisasi pemerintahan.

Baca juga: 

Sekolah Gratis? Bukan Ditolak, Ganti Sistemnya

 

Otda membuat masing-masing daerah diberi kewenangan penuh pada daerah dalam mengatur urusan pemerintahan, termasuk dalam mengatur pendapatan daerah. Otonomi daerah akan memicu adanya perbedaan taraf hidup rakyat di masing-maasing daerah. Itulah mengapa muncul kesenjangan ekonomi salah satunya, dimana jika adanya dugaan kandungan migas atau kekayaan alam lainnya memicu rebutan wilayah.

 

Otda juga dapat memicu adanya kecemburuan sosial suatu daerah yang memiliki PAD ( Pendapatan Asli Daerah) tinggi. Perbedaan Tingkat kesejahteraan juga dapat memicu adanya disintegrasi.

 

 Ini terjadi saat kesenjangan antardaerah sudah sangat pelik sehingga menimbulkan perbedaan tingkat kesejahteraan masyarakat di masing-masing daerah. Apalagi jika SDA di daerah yang bersangkutan terus “diisap” oleh pemerintah pusat tanpa ada kompensasi sepadan yang dikembalikan kepada daerah asal. Aceh adalah contoh nyata dalam hal ini. Selain Aceh, Papua adalah daerah yang bernasib serupa.

 

Dan ironinya perebutan pulau karena mengandung potensi SDA yang besar bukan sekali ini. Bahkan bukan antar pulau di Indonesia saja, dengan Negara Malaysia kita pun pernah berlarut-larut memperebutkan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan yang terletak di timur laut Pulau Kalimantan, sekitar 150 kilometer dari Pulau Tarakan di Kalimantan Utara.

 

Mahkamah Internasional memutuskan kepemilikan Pulau Sipadan dan Ligitan jatuh ke tangan Malaysia sebagai negara bekas jajahan Inggris daripada Belanda yang pernah menguasai Indonesia tapi hanya singgah di kedua pulau itu tanpa membangun apapun.

 

Islam Menjamin Kesejahteraan Hakiki

 

Hal ini berbeda dalam sistem sentralisasi yang ditetapkan Islam. Negara bertanggung jawab mewujudkan kesejahteraan secara merata pada seluruh wilayah, tidak tergantung pada pendapatan masing-masing wilayah. Semua dikelola oleh negara untuk kepentingan semua rakyat seluruh wilayah

Allah Taala berfirman, “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ululamri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (Sunah), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan Hari Kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (TQS An-Nisa : 59).

 

Maka, untuk mendapatkan jaminan pengurusan rakyat yang adil dan merata, butuh pemimpin bertakwa. Pemimpin yang bekerja bukan karena pesanan oligarki namun karena sangat takut akan azab Allah. Kewenangan yang ada padanya adalah amanah dan sesuatu yang harus dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Kelak, Sang Pemilik Kekuasaan Sejati.

Baca juga: 

Kemiskinan Kian Ekstrem, Vasektomi Jadi Jalan Pintas

 

Dalam kitab Ajhizah Daulah al-Khilafah fi al-Hukmi wa al-Idarati (Struktur Negara Khilafah dalam Pemerintahan dan Administrasi) dijelaskan bahwa seorang pemimpin daerah (gubernur/wali, amil) dalam Khilafah diangkat oleh khalifah (kepala negara) dengan akad tertentu yang harus ia tepati.

 

Meski Wali/Amil boleh diangkat untuk kepemimpinan yang bersifat umum maupun khusus, namun jika dalam pandangan Khalifah kepemimpinan yang umum berisiko memunculkan mudharat bagi negara, maka Khalifah mengangkatnya hanya untuk kepemimpinan khusus. Dan Khalifahlah yang memegang urusan-urusan seperti militer, peradilan, dan keuangan negara dalam struktur tersendiri yang langsung dikontrol oleh khalifah sebagaimana struktur-struktur lainnya.

 

Jaminan kualitas takwa seorang pemimpin dalam Islam sangat mungkin terjaga, sebab Khalifah berkewajiban mengontrol aktivitas-aktivitas para wali, melakukan pengawasan secara ketat, serta audit atas mereka. Pada suatu kesempatan tertentu, khalifah juga wajib mengumpulkan para wali dan memonitor urusan-urusan mereka, sekaligus mendengarkan keluhan/aspirasi masyarakat atas kinerja para wali.

 

Sebab peran negara adalah Raa’in atau pelayan, sehingga dalam kepemimpinannya , negara bisa berlaku adil dalam mengurus rakyat. Wilayah-wilayah yang kaya SDA tidak lantas memiliki posisi eksklusif sebagai provinsi kaya sehingga berdampak pada terciptanya kesenjangan dengan provinsi lain yang “kurang kaya” serta memicu sengketa/perebutan wilayah di antara keduanya.

 

Tidak adanya perlakuan istimewa ini bisa kita lihat dari bagaimana keputusan Khalifah Umar bin Khaththab ra, saat terjadi musim paceklik di Madinah. Umar menulis surat kepada para walinya di sejumlah wilayah untuk meminta pertolongan. Beliau menulis surat kepada ‘Amru bin al-Ash ra., wali beliau di Mesir, kepada Muawiyah bin Abi Sufyan ra, Di Damaskus, Abu Ubaidah bin Jarrah ra. Di Palestina, juga kepada Saad bin Abi Waqqash ra. Di Irak.

 

Kaum muslim di berbagai wilayah pun bergegas mengulurkan bantuan. Abu Ubaidah mengirimkan 4.000 unta bermuatan penuh bahan pangan. Dari Mesir, ‘Amru bin al-Ash mengirimkan makanan lewat jalur darat dan laut, ada tepung dan lemak bersama 1.000 unta. Muawiyah mengirim 3.000 unta, sedangkan Saad mengirim 1.000 unta bermuatan tepung. Mantel, selimut, dan pakaian turut dikirimkan bersama bahan pangan. Hal ini menjadi pelajaran bagi kita, bahwa pemimpin yang adil adalah sebagaimana yang ditunjukkan oleh Umar., wilayah yang surplus membantu wilayah yang minus.

 

Semua karena setiap muslim , keadaannya sama, yaitu saling berinteraksi, membantu , sebagaiamana sabda Rasulullah saw. , “Perumpamaan orang-orang yang beriman dalam hal saling mencintai, mengasihi, dan menyayangi di antara mereka adalah ibarat satu tubuh. Apabila ada salah satu anggota tubuh yang sakit maka seluruh tubuhnya akan ikut terjaga (tidak bisa tidur) dan panas (turut merasakan sakitnya).” (HR Muslim).

 

Dalam Islam juga tidak ada batas teritorial, sebagimana penjelasan Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitab Nizhamu al-Hukmi fi al-Islam (Sistem Pemerintahan Islam), hal ini karena hukum mengemban dakwah ke seluruh dunia adalah wajib sehingga batas-batas teritorial tersebut akan berubah dengan meluasnya kekuasaan Islam. Wallahualam Bissawab. [SNI].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Pemerataan Pembangunan Desa, Akankah Menjadi Realita?

Realitasnya bahwa tak semua desa mampu secara finansial membiayai pemerintahan dan pembangunan di wilayahnya sendiri. Meski ada program Dana Desa yang konon katanya adalah bentuk perhatian pemerintah nyatanya terselip motif lain yaitu neoliberalisme ekonomi melalui sektor pariwisata dan sumber daya alam strategis yang dimiliki oleh tiap desa di negeri ini. Rupanya dibalik program-program yang dicanangkan untuk mengelola desa di dasarkan pada untung dan rugi.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *