Selamatkan Raja Ampat dengan Syariat, Apa Salahnya?

SuaraNetizenIndonesia_ Tagar #SaveRajaAmpat seketika viral. Pasalnya kawasan yang dikenal luas dengan pesona indahnya dunia atas dan bawah laut yang memanjakan mata itu kini terancam rusak. Bukan karena bencana alam tapi dampak eksploitasi tambang yang kian meningkat. Terlebih jika hilirisasi nikel dengan dibangunnya smelter jadi diresmikan. Keindahan pun berisiko tinggal kenangan.
Namun sangat memprihatinkan apabila kecemasan masyarakat akan masa depan Raja Ampat disikapi dengan gegabah. Apalagi publik seolah diingatkan kembali pada ungkapan retoris penguasa negeri yang mempertanyakan apa salahnya bila pengelolaan tambang berikut izinnya diberikan pada pihak- pihak yang konon selama ini telah setia dan cinta pada negara. (detik.news, 24-8-2024)
Bukan hanya Raja Ampat
Jujur saja, Raja Ampat tidak sendiri dan bukan hal yang baru terjadi. Negeri ini memang tergolong penghasil nikel terbesar setara dengan 23% cadangan di dunia. Tepatnya, Indonesia memiliki sumber daya nikel mencapai 17,7 miliar ton bijih dan 177,8 juta ton logam, dengan jumlah cadangan 5,2 miliar ton bijih dan 57 juta ton logam. Potensi yang berlimpah ini tersebar tak hanya di Papua tapi Provinsi Sulawesi Tenggara, Sulawesi Tengah, Sulawesi Selatan, Maluku, dan Maluku Utara. Sebagiannya bahkan sudah sejak lama dieksplorasi oligarki tambang berikut dengan hilirisasinya.
Jika sekarang Raja Ampat di Papua diributkan, hal itu karena Greenpeace, organisasi yang selama ini dikenal membela kelestarian alam dan ekowisata, menggugat. Para aktivisnya menilai, penambangan nikel di Papua bakal mengancam keberlangsungan keanekaragaman hayati dan ekowisata masyarakat setempat. (tempo.co, 7-6-2025).
Sebab diketahui, kawasan Raja Ampat memiliki kekayaan alam sebesar 75 persen untuk spesies terumbu karang di dunia, 1.400 jenis ikan karang, dan 700 invertebrata jenis moluska. Bahkan terdapat salah satu jenis ikan langka di dunia yaitu ikan pari manta (Mobula birostris).
Namun mengapa gugatan yang serupa tak ditujukan ke banyak daerah tambang nikel lainnya? Bukankah imbas kerusakannya terhadap alam pastinya tak jauh berbeda? Di poin ini, Greenpeace layak pula kiranya dikritisi. Mengapa Raja Ampat dan baru sekarang? Andai Raja Ampat bukan kawasan wisata dan penuh keanekaragaman hayati, akankah digugat juga? Entah, tiada yang tahu. Namun satu hal pasti, sudah sejak lama penguasaan tambang negeri ini dikuasai oleh asing dan masyarakat hanya kebagian remahnya. Bahkan khusus bagi rakyat Papua, mereka ibarat berdiri menginjak emas tapi berjalan hingga kini masih tanpa alas. Ironis!
Salah Kelola SDA?
Jika ada yang harus disalahkan, jelas ideologi kapitalisme dengan sistem demokrasinya. Sistem ini memicu lahirnya berbagai produk perundangan buatan manusia yang mengarah pada liberalisasi ekonomi. Salah satu wujudnya tampak pada kebebasan memiliki segala sesuatu bahkan jika hal tersebut merupakan kebutuhan vital yang harusnya dikelola oleh negara untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
Di sektor pertambangan misalnya, kebebasan tersebut diberikan bagi para investor. Tahun 1967, terbit UU No. 11/1967 tentang Ketentuan Pokok Pertambangan yang mengatur pemberian konsesi tambang, apa pun jenisnya, kepada pihak swasta. PT Freeport kemudian mendapatkan konsesi selama 30 tahun, kemudian diperpanjang menjadi 50 tahun. Lalu pada 2020, UU Minerba direvisi untuk memberikan perpanjangan usaha kepada beberapa oligarki batu bara yang hampir habis masa konsesinya. Untuk nikel pun sama saja, seperti yang berlaku di Raja Ampat.
Terakhir, tentu saja hadirnya Omnibus Law. Dalam salah satu pasalnya, UU ini menghapuskan kewajiban pemerintah dalam hal menetapkan dan mempertahankan luas kawasan hutan minimal 30 persen dari luas daerah aliran sungai (DAS) dan atau pulau dengan sebaran yang proporsional. Alasannya untuk memberikan kemudahan bagi pelaku usaha dalam mendapatkan perizinan berusaha serta memudahkan persyaratan investasi dari sektor kehutanan. Padahal imbas dari semua kebijakan tersebut sudah tentu, alih fungsi hutan meningkat dan kerusakan alam semakin menjadi-jadi.
Islam Selamatkan Negeri
Dalam Islam, tambang apa pun yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak terkategori sebagai harta milik umum (milkiyyah ‘ammah). Diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dan At Tirmidzi bahwasanya,
“Sungguh Abyadh bin Hammal pernah datang kepada Rasulullah saw.. Ia lalu meminta kepada beliau konsesi atas tambang garam. Beliau lalu memberikannya kepada Abyadh. Namun, tatkala Abyadh telah berlalu, seseorang di majelis tersebut berkata kepada Rasulullah saw., “Tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepada Abyadh? Sungguh Anda telah memberinya harta yang (jumlahnya) seperti air mengalir (sangat berlimpah).” (Mendengar itu) Rasulullah saw. lalu menarik kembali pemberiannya dari Abyadh.” (Nizham Al Iqtishodiy, Syaikh Taqiyuddin An Nabhani)
Hadis ini memang tentang tambang garam. Tetapi juga berlaku umum untuk semua tambang yang jumlahnya berlimpah atau menguasai hajat hidup orang banyak. Ini sesuai dengan kaidah ushul,
“Hukum itu bergantung pada keumuman redaksinya, bukan bergantung pada sebab (latar belakang)-nya.” (Fakhruddin ar-Razi, Al-Mahshûl fii ‘Ilm Ushûl Fiqh, 3/125).
Alhasil harta milik umum, termasuk tambang yang kandungannya berlimpah terlarang dimiliki oleh pribadi/swasta, apalagi pihak asing, termasuk haram diklaim sebagai milik negara. Negara hanya memiliki kewajiban mengelola lalu memberikan hasilnya untuk sebesar-besar kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, tanpa kecuali. Tentu dengan memperhatikan soal kelestarian lingkungan karena perkara tersebut bagian dari syariat Islam.
Ini baru segelintir soal tambang. Tampak nyata, betapa Islam dengan syariatnya secara kafah memberi solusi rinci terkait hal ini dan seluruh hal lainnya. Lalu apa salahnya mengambil dan menerapkannya? Tidakkah Allah Swt. telah demikian sayang dengan memberikan nikmat dan karunia alam kepada segenap makhluk-Nya? Yuk dipikirkan sama-sama. Wallahua’lam. [SNI]
Komentar