Kelaparan Senjata Baru Genosida, Siapa Pengecut Sesungguhnya?

Suara Netizen Indonesia–“Nakba kedua” tengah terjadi, istilah ini diperingatkan oleh Komite Khusus PBB untuk Menyelidiki Praktik-praktik Israel di Wilayah Pendudukan Palestina dan Arab. Mengapa? Karena akibat eskalasi kekerasan, blokade kemanusiaan, dan kebijakan pendudukan yang dijalankan Israel.
Istilah “Nakba” berasal dari bahasa Arab yang berarti “malapetaka”, merujuk pada peristiwa pengusiran sekitar 750.000 warga Palestina dari tanah mereka pada 1948 dalam rangka pembentukan Negara Israel. Dimana peristiwa ini disertai penghancuran lebih dari 500 desa Arab, pembantaian, serta pembersihan etnis dan hingga kini menjadi simbol luka kolektif dan perlawanan dalam identitas nasional Palestina (metrotvnews.com, 10-5-2025).
Komite Khusus PBB mengatakan, Israel terus menyebabkan penderitaan yang tak terbayangkan bagi rakyat yang hidup di bawah pendudukannya, sambil memperluas perampasan tanah sebagai bagian dari aspirasi kolonial yang lebih luas. Penyiksaan, kekerasan seksual sistematis serta pemaksaan kelaparan sebagai metode perang oleh militer dan otoritas Israel didokumentasikan oleh Komite PBB.
Baca juga:
Grup Fantasi Sedarah, Bukti Liberalisasi Semakin Parah
Hingga dikatakan Israel melakukan metode-metodenya seperti buku panduan untuk merendahkan, mempermalukan, dan menanamkan rasa takut: dari pelecehan seksual, sentuhan tidak pantas, pemerkosaan, hingga penggunaan benda asing seperti tongkat dan pentungan, dilakukan terhadap pria, wanita, bahkan anak-anak. Impunitas Israel harus segera diakhiri, sebab semuanya jelas mengarah pada praktik genosida dan kejahatan terhadap kemanusiaan.
Komite PBB pun mengatakan, “Sulit membayangkan ada pemerintah yang dengan sengaja membuat rakyatnya mati kelaparan, sementara truk makanan hanya berjarak beberapa kilometer. Namun inilah kenyataan mengerikan yang dihadapi warga Gaza,”. Israel diketahui tidak merespons permintaan konsultasi dari PBB dan menolak memberikan akses kepada Komite ke wilayah Israel, Palestina, atau Dataran Tinggi Golan yang diduduki. Komite menyebut penolakan ini sebagai bentuk pengabaian total terhadap hukum internasional.
Komite menyerukan agar negara-negara yang memiliki pengaruh terhadap Israel menggunakan semua tekanan politik dan ekonomi yang tersedia untuk menghentikan kebijakan ilegal, serta menghentikan penjualan senjata dan bantuan militer dari perusahaan swasta maupun BUMN. Blokade kemanusiaan ini harus dihentikan sekarang. UNRWA harus diizinkan menjalankan mandatnya untuk memberikan layanan esensial. Dunia tidak boleh diam.
Sungguh, perkembangan terkait saudara kita di Palestina terutama Gaza sangat tidak baik, bahkan semakin memburuk. Tingkah brutal Israel semakin menunjukkan ia adalah jelmaan iblis di dunia. Licik dan penuh tipu daya. Hal itu sebagaimana sekutu Israel, Amerika Serikat yang mengingkari perjanjian dengan Hamas.
Pejabat senior Hamas, Basem Naim mengaku mendapatkan janji langsung dari utusan AS untuk Timur Tengah, Steve Witkoff bahwa dua hari setelah sandera Edan Alexander dilepas, AS akan mewajibkan Israel untuk membuka blokade bantuan kemanusiaan masuk Gaza. Witkoff, menurut Basem, juga menjanjikan, bahwa Presiden Donald Trump juga akan membuat pernyataan resmi terkait gencatan senjata segera di Gaza dan negosiasi demi tercapainya sebuah ‘gencatan senjata permanen’ (republika.co.id, 17-5-2025).
Baca juga:
Politik Permukaan, Tak Sentuh Akar Persoalan, Mimpi Perubahan
Basem Naim mengatakan bahwa perjanjiannya adalah, “Jika kami melepas (Edan Alexander), Trump akan berterima kasih kepada Hamas atas sikapnya, mewajibkan Israel pada hari kedua membuka blokade dan membiarkan bantuan masuk ke Gaza, dan (Trump akan) menyerukan gencatan senjata segera dan dijalankannya proses negosiasi demi mengakhiri perang.”
“Dia tidak melakukan apapun soal ini,” kata Naim. “Mereka melanggar kesepakatan. Mereka melempar kesepakatan itu ke tong sampah.” Sementara Gedung Putih tidak merespon, hingga saat mengakhiri kunjungan kenegaraannya di Timur Tengah, Trump secara singkat mengomentari perang Gaza dan kondisi kemanusiaan yang sangat buruk akibat dari bolkade penuh Israel. “Kami akan melihat Gaza, dan kami harus mengurusnya.” Ujar Trump dalam sebuah acara di Uni Emirat Arab.
Menurut Kementerian Kesehatan Palestina, setidaknya 53.272 warga Palestina telah meninggal dunia dalam perang genosida yang dilancarkan Israel sejak Oktober 2023, 153 orang tewas dalam serangan Israel di daerah kantong tersebut dalam 24 jam terakhir, sementara 459 orang lainnya terluka, sehingga jumlah korban luka mencapai 120.673 orang (republika.co.id, 17/5/2025).
Sejak 2 Maret, Israel telah memblokade seluruh pasokan makanan, air, dan obat-obatan untuk memasuki Gaza, menciptakan krisis buatan manusia. Organisasi kemanusiaan mengatakan bahwa penduduk berisiko mengalami kelaparan massal.
Israel dan Para Pemimpin Muslim Berselimut Sikap Pengecut yang Sama
Sungguh cara perang yang kita saksikan hari ini sangat keji dan tidak ksatria. Mirisnya, dalam kondisi demikian, penguasa negeri muslim belum juga melakukan pembelaan secara nyata dengan mengirimkan pasukan untuk mengusir penjajah yang keji ini. Para penguasa itu sama pengecutnya dengan Israel.
Terlihat begitu memalukannya para pemimpin muslim, khususnya Arab Saudi dan Qatar, yang menyambut kedatangan Trump dengan sedemikian meriah hingga menampilkan tarian rambut para gadis, yang menunjukkan mereka sama sekularnya dengan Amerika. Mereka melecehkan Islam dan Allah, dimana ada dua kota suci Makkah dan Madinah, namun mereka seolah bukan bagian dari keduanya.
Donald Trump mencapai kesepakatan besar di Timur Tengah mulai dari penjualan senjata, investasi hingga desakan rekonsiliasi Suriah-Israel. Amerika Serikat dan Arab Saudi secara resmi menandatangani perjanjian penjualan senjata senilai 142 miliar dolar Amerika Serikat atau sekitar Rp 2.346 triliun.
Kesepakatan tersebut memungkinkan Amerika Serikat untuk menyediakan perlengkapan militer guna meningkatkan kemampuan angkatan udara, antariksa, serta sistem pertahanan udara dan rudal Arab Saudi. Selain itu, Arab Saudi juga akan mendapatkan manfaat dalam bentuk peningkatan keamanan maritim dan pesisir, penguatan pengawasan perbatasan, serta modernisasi sistem informasi dan komunikasi (tempo.co, 15-5-2025).
Baca juga:
Kebijakan Mendang-Mending, Saat Sistem Islam Trending
Sungguh menyedihkan, apalagi yang bisa diharapkan jika para pemimpin kaum muslim justru meminta perlindungan kepada penjajah. Kepada orang yang tega membunuh penduduk tak bersalah demi hegemoni ekonomi.
Mengharap pada organisasi internasional pun percuma, mereka hanya sapi ompong yang lihat memperlihatkan data, tapi tak bisa berbuat apa-apa. Padahal PBB punya dewan keamanan. Sayangnya, DK PBB juga tunduk kepada Trump, meski ada negara lain yang juga memegang hak veto.
Jihad dan Khilafah Tuntaskan Israel dan Para Pemimpin Pengecut
Pantas saja jika seruan jihad yang bergema di seluruh penjuru dunia tak mampu membuka hati para pemimpin muslim. Mereka benar-benar bak kerbau dicocok hidungnya, menganggap Amerika sebagai tuan dan hanya dialah satu-satunya yang punya kekuatan di dunia. Kekayaan negeri muslim tak berkah, sebab diberikan kepada asing untuk persenjataan, alih-alih untuk menambah lapisan perlindungan mereka ternyata malah untuk melakukan genosida kepada saudara seiman.
Kondisi mengenaskan ini tak mungkin terjadi jika umat Islam memiliki pelindung berupa negara yaitu Khilafah. Sebuah sistem kepemimpinan umum bagi kaum muslimin di dunia. Karena Khilafah akan menjalankan perannya sebagai rain dan junnah untuk melindungi umat Islam dari penjajahan dalam bentuk apapun.
Rasulullah Saw. Bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari). Dan sabda beliau yang lainnya, ”Sesungguhnya al-imam (khalifah) itu perisai yang (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR Muttafaqun ’Alayh dan lain-lain).
Kita mungkin bisa menggali sejarah keemasan Islam, saat khalifah Mu’tasim Billah, membela seorang wa Anita muslimah yang diganggu seorang pemuda Yahudi. Ketika jubahnya tersangkut hingga terbukalah auratnya, perempuan itu berteriak, “Wahai Mu’ tasim Billah!”. Begitu mendengar namanya dipanggil,Sang Khalifah memerintahkan pengepungan di pasar itu selama berbulan-bulan, dengan keadaan kepala pasukan sudah di tempat itu tapi ekor masih di Kekhalifahan. Sayangnya hari ini Khilafah belum ada, sehingga Palestina tidak ada yang membela.
Oleh karena itu harus ada perjuangan untuk menegakkannya kembali. Perjuangan ini sudah diawali oleh partai islam ideologis, tak hanya di Indonesia tapi diseluruh dunia dengan gerak dan tujuan yang sama. Yaitu menyadarkan umat untuk terus dibangun kesadarannya agar siap berjuang bersama partai ini.
Dengan konsep sesuai teladan Rasûlullâh, partai ini bergerak nyata. Bukan sekadar mengadakan perbaikan, membangun sekolah atau rumah sakit dan lainnya yang itu justru membelokkan arah perjuangan, akan tetapi benar-benar mengajak umat berjuang secara konsisten melanjutkan kehidupan Islam yang dulu pernah menjadi bagian dari sejarah kaum muslim. Yaitu perjuangan menerapkan tegaknya aturan Allah secara kafah. Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar