Pendapatan Negara Macet, PNBP Diseret

Suara Netizen Indonesia–Komisi XI DPR RI mewacanakan revisi Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2018 tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP). Salah satunya imbas dari makin menyusutnya objek cakupan PNBP, seperti salah satunya dividen BUMN yang menjadi bagian dari Kekayaan Negara Dipisahkan (KND) masuk ke Danantara (cnbcindonesia.com,8-5-2025).

 

Ketua Komisi XI DPR Misbakhun mengatakan, salah satu poin yang akan diubah dalam UU PNBP ialah memperkuat dan memperluas objek PNBP. Dari yang berbentuk jasa atau layanan di sektor pariwisata hingga ke sumber daya alam baru non minyak dan gas bumi, properti, lahan, hingga plat nomor dinaikkan tarifnya.

 

SDA seperti tanah jarang atau rare earth hingga mineral strategis. Dan mendorong pemerintah memungut tarif dari pembukaan layanan kasino, sebagaimana yang dilakukan di Uni Emirat Arab (UEA). Usulan ini disampaikan Anggota Komisi XI dari Fraksi Golkar Galih Kartasasmita.

Baca juga: 

Jihad Ekonomi untuk Palestina ,Haruskah?

 

Galih berpendapatan, UEA memiliki kemiripan dengan Indonesia karena sama-sama bergantung dengan sektor sumber daya alam (SDA) untuk setoran PNBPnya. Namun, karena sudah menyadari bahwa SDA sangat berfluktuasi dan berisiko bagi fiskalnya, layanan di sektor non SDA menjadi digenjot untuk memperoleh PNBP.

 

Kapitalisme Akar Masalah

 

Nyatanya setelah pemerintah mengadakan efisiensi besar-besaran, keadaan keuangan negara malah lebih parah. Termasuk saat deviden BUMN malah dimasukkan Danantara. Kepanikan tercipta tanpa bisa dibendung. Hingga merasa perlu mengatur ulang undang-undang untuk leluasa memperlebar obyek pendapatan non pajak. Sudah untung tidak membentuk dewan atau satgas sebagaimana biasanya. 

 

Dan inilah cacat bawaan kapitalisme, kebijakan yang diambil selalu tidak pro rakyat. Terus menerus mengejar harta kekayaan individu rakyat, padahal pajak sudah mencekik, harga kebutuhan pokok pun demikian , namun hak rakyat tak pernah seimbang dipenuhi. Yang seharusnya solusi dimaksudkan untuk menyelesaikan persoalan, kemiskinan terangkat sejahtera tercipta,  ini malah menimbulkan persoalan, parahnya, masih persoalan permukaan sedang akarnya samasekali tak tersentuh. 

 

Sesuai dengan asas Kapitalisme, pemisahan agama dari kehidupan, maka diusulkan perluasan obyek pendapatan non pajak tanpa pandang bulu, halal atau haram samasekali tidak menjadi pertimbangan, seperti menarik tarif di kasino dengan acuan, negara Arab Saudi juga melakukan yang sama. 

 

Dan kebijakan haram ini bukan hal baru. Jakarta pada saat kepemimpinan Ali Sadikin pada 1966-1977, pernah melegalkan judi sebagai cara untuk meningkatkan pendapatan daerah dan membiayai pembangunan kota. Kemudian saat dipimpin. gubernur Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga dalam rangka meningkatkan kontribusi pendapatan daerah dari sektor minuman keras (miras). 

Baca juga: 

Ambiguitas Pemahaman, Peran Utama Perempuan Terpangkas

 

Seolah tak ada jalan lain, hingga yang haram pun dilirik. Sangat memprihatinkan, Indonesia mayoritas penduduknya beragama Islam, tak kurang jumlah ulama, pondok pesantren, sekolah Islam terpadu, bahkan ada MUI, sebuah lembaga yang merepresentasikan Islam sebagai agama mayoritas, mengapa tak bisa mencegah kebijakan itu? Karena Islam hanya sebagai wacana, bukan aturan hidup yang diterapkan negara. 

 

Sebagaimana  nafkah haram yang dilarang untuk diberikan kepada anak istri dan keluarga, bukankah negara pun demikian? Setiap rupiah yang masuk APBN atau APBN adalah untuk operasional negara, mengurusi pendidikan, kesehatan, infrastruktur dan lainnya? Mengapa penguasa kita tak peka? Benarkah mereka mencintai rakyat sebagaimana kampanye pemilihan mereka dahulu?

 

Allah SWT dengan tegas melarang perbuatan maksiat seperti judi dan miras, sebagaimana firmanNya yang artinya, “Wahai orang-orang yang beriman, sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji (dan) termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah (perbuatan-perbuatan) itu agar kamu beruntung.” [TQS al-Maidah:90]. 

 

Perintah untuk menjauh bukan saja tertuju pada pelaku, tapi juga saksi, bandar hingga yang memanfaatkan hasil judi dan penjualan miras. Sebab, semua akan masuk darah dan terus menerus sifat buruknya akan terbawa ke seluruh tubuh. 

 

Imam Ghazali dalam kitab Bidayatul al-Hidayah, [Kairo: Maktabah Madbuly, 1993], halaman 56 mengatakan, “Adapun perut, maka jagalah dari memakan yang haram dan syubhat, dan bersungguh-sungguhlah untuk mencari yang halal. Jika engkau menemukannya, maka bersungguh-sungguhlah untuk membatasi diri darinya hanya sampai batas kenyang. Karena kenyang akan mengeraskan hati, merusak pikiran, membatalkan hafalan, memberatkan anggota badan untuk beribadah dan belajar, memperkuat nafsu, dan menolong pasukan setan.Kenyang dari yang halal adalah awal dari segala keburukan, maka bagaimana dengan yang haram? Mencari yang halal adalah kewajiban bagi setiap Muslim, dan beribadah dengan memakan yang haram seperti membangun di atas pasir.”

Baca juga: 

Perilaku Cabul Rusak Integritas Kaum Intelektual

 

Negara ini memang salah urus, pantas saja bencana terus berdatangan, sebab penguasa kita tak becus mengurus rakyat. Mereka hanya menjadi regulator kebijakan, segala pelayanan kepada rakyat diitung untung ruginya. Kapitalisme juga memunculkan seseorang yang tamak, terlebih saat berada di kursi kepemimpinan. Tindak korupsi, kolusi, nepotisme dan lainnya sangat membudaya, mirisnya, setiap kali pejabat tercokok KPK dan menggunakan rompi orange, mereka tertawa bangga, senyum dan lambaian tangan menghiasai langkah mereka menuju penjara. 

 

Seolah mereka hendak mengatakan inilah pencapaian tertinggi pejabat adalah korupsi. Atau seolah pula mereka sedang mengatakan kami korupsi bukan kehendak kami, melainkan tekanan dan kewajiban atasan yang harus dipenuhi bawahan. 

 

Sampai kapan kita akan berdiam diri menunggu perubahan? Sebab hidup bagi seorang muslim bukan hanya berbicara di dunia saja, melainkan juga akhirat. Meninggalkan dunia bukan lantas selesai urusan, melainkan saat genting dimana kita dimintai pertanggungjawaban. Dana jawaban itu menentukan tempat kita yang selanjutnya. 

 

Islam Paparkan Pendapatan Mandiri

 

Islam jawaban dari semua problematika umat. Penerapan sistem Kapitalisme terbukti membawa bencana. Sebab mengabaikan syariat Islam sebagai satu-satunya aturan yang benar. Berasal dari yang menciptakan langit, bumi dan seisinya berikut mengatur semuanya. 

 

Sistem Islam, tidak menetapkan pajak dan utang sebagai postur utama pendapatan negara. Melainkan pada hasil pengelolaan harta kepemilikan umum berupa, tambang, energi, minyak, emas, nikel dan lainnya, harta kepemilikan negara seperti jizyah, kharaj, fa’i, bea cukai, dan lainnya. Kemudian zakat . 

 

Semua harta itu disimpan di Baitulmal dan akan dipergunakan sesuai maslahat utama yang dipandang Khalifah. Negara Khilafah tidak bergantung pada kebijakan internasional, bahkan tidak bergantung pada lembaga keuangan dunia yang hanya menjerumuskan negara di dunia dalam dosa riba yang berkepanjangan. 

 

Peradaban mulia hanya bisa dicapai dengan cara-cara yang mulia. Bukan menghalalkan segala cara. Sampai kapan pun sistem Kapitalisme ini hanya mampu menyuguhkan solusi khayali untuk sejahtera. Maka, apakah hukum jahiliah yang lebih baik dari hukum Allah? Wallahualam bissawab. [SNI]. 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *