Kemiskinan Ekstrem dan Rumah Tak Layak Huni: Warisan Kelam Kapitalisme

Angka kemiskinan di Indonesia terus meningkat, bahkan tergolong kemiskinan ekstrem. Hal ini terbukti dari banyaknya rumah di Indonesia yang masuk kategori tidak layak huni. Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman menyatakan ada sebanyak 26,9 juta rumah tidak layak huni (Beritasatu.com, 25-04-2025).
Direktur Jenderal Tata Kelola dan Pengendalian Risiko Kementerian Perumahan dan Kawasan Permukiman Azis Andriansyah menyampaikan bahwa untuk menyelesaikan permasalah rumah tidak layak huni pemerintah menargetkan dalam 1 tahun bisa membangun 3 juta rumah melalui program bedah rumah dengan menggandeng berbagai pihak termasuk swasta (Beritasatu.com, 25-04-2025).
Di sisi lain, Wakil Menteri Sosial (Wamensos) Agus Jabo Priyono menegaskan pentingnya sinergi lintas kementerian dalam upaya mengentaskan kemiskinan. Salah satunya melalui program perumahan layak huni yang tepat sasaran (Kumparan.com, 25-04-2025).
Kapitalisme menjanjikan kebebasan ekonomi dan pertumbuhan tanpa batas. Namun, dalam praktiknya, sistem ini justru menimbulkan kesenjangan ekonomi dan memperlebar jurang antara si kaya dan si miskin. Akses terhadap tanah, pekerjaan layak, dan perumahan yang manusiawi dikendalikan oleh segelintir orang yang memiliki modal.
Sementara itu, mayoritas rakyat dipaksa bertahan dengan upah minimum, pekerjaan informal, dan tempat tinggal yang tidak memadai. Belum lagi harga tanah serta material bangunan yang terus menerus mengalami kenaikan. Tak heran jika banyak warga rela tinggal di tempat hunian yang tidak layak, bahkan bisa mengancam jiwa.
Ketimpangan ini merupakan hasil dari sistem ekonomi kapitalisme yang mengutamakan keuntungan di atas kesejahteraan. Korporasi turut andil dalam pembangunan perumahan untuk rakyat namun dengan tujuan hanya mencari keuntungan. Ketika tanah menjadi komoditas, dan rumah dijadikan investasi, bukan hak dasar manusia, maka wajar bila jutaan orang hidup tanpa hunian yang layak.
Sementara negara tidak berperan sebagai pengayom. Kedudukannya hanya sebagai regulator yang lepas tanggung jawab dalam menjamin kebutuhan perumahan rakyatnya.
Rumah bukan sekadar bangunan fisik, namun adalah fondasi kehidupan yang layak. Dalam Islam, rumah tidak hanya dipandang sebagai tempat tinggal, melainkan tempat untuk menerapkan hukum syariat, khususnya yang berkaitan dengan keluarga, aurat, waktu aurat, kamar, pemisahan tempat tidur, maupun memuliakan tamu. Oleh karena itu, rumah dalam Islam termasuk kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi.
Sistem Islam akan menjamin setiap warga negaranya mendapatkan jaminan kesejahteraan. Selain tercukupinya sandang dan pangan adalah terjaminnya perumahan yang tentu layak huni dan berkualitas.
Bahan-bahan pembuatan rumah akan mudah didapatkan, sebab tersedianya sumber daya alam yang melimpah untuk bahan bangunan seperti kayu, batu kali, batu kapur, dan sebagainya. Dalam Islam, sumber daya alam dikategorikan sebagai harta milik umum di mana umat Islam boleh memanfaatkannya secara langsung. Pemanfaatan sumber daya alam tersebut tidak memerlukan dana besar, teknologi yang canggih, ataupun tenaga ahli. Negara hanya wajib mengatur agar pemanfaatan tersebut tidak mengakibatkan bahaya bagi kaum muslimin.
Selain sumber daya alam sebagai sumber bahan bangunan, dalam Islam juga diatur syariat mengenai pertanahan. Dalam Islam, kepemilikan tanah dapat dilakukan dengan ihya’ al-mawat, tahjir, dan iqtha’.
ihya’ al-mawat adalah menghidupkan atau memanfaatkan tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak dimanfaatkan pemiliknya serta tidak dimanfaatkan oleh seseorang untuk suatu keperluan termasuk membangun rumah. Tahjir artinya membuat batas atau memagari bidang tanah. Iqtha’ artinya pemberian tanah milik negara kepada individu rakyat.
Kemudahan akses lahan dapat memotong biaya hingga hampir setengahnya untuk membangun rumah layak huni, nyaman, dan syari. Negara juga menyediakan lapangan pekerjaan yang luas dan halal sehingga diperoleh gaji yang mensejahterakan. Dengan demikian, niscaya warga negara dapat memiliki rumah hunian yang layak tanpa riba. Membangun rumah pun bukan hal yang sulit diwujudkan dalam Islam. Wallahua’lam
Komentar