Zakat Hijau, Nama Baru Niatan Lama

Suara Netizen Indonesia–Zakat merupakan rukun Islam yang keempat setelah syahadat, sholat, dan puasa. Mantan Wapres Ma’ruf Amin saat membuka Musyawarah Nasional (Munas) ke-10 Forum Zakat, di Istana Wapres, Jakarta Pusat, Selasa, 16 Juli 2024 lalu mengatakan potensi zakat di negeri ini sudah mencapai Rp70-an trilun. Tapi yang disalurkan melalui lembaga zakat hanya 10 atau 20 persen (metrotvnews.com, 16-7-2024).
Kemudian Ketua Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI Sultan Bachtiar Najamudin yang mengusulkan agar pemerintah membuka kesempatan pembiayaan program Makan Bergizi Gratis atau MBG melalui zakat, infak, dan sedekah (ZIS) (tempo.co, 17-1-2025).
Baca juga:
Ketika Air Menjadi Bencana, Cukupkah Mitigasi Saja?
Sedemikian strategis potensinya , hingga muncul nama Zakat hijau. Dimana Badan Amil Zakat Nasional (Baznas) mendorong upaya menjaga keberlanjutan lingkungan serta mengoptimalkan kehidupan yang layak dan terintegrasi melalui konsep Zakat Hijau.
Pimpinan Baznas RI Bidang Pendistribusian dan Pendayagunaan Saidah Sakwan menjelaskan Zakat Hijau adalah konsep yang menjadi landasan operasional dalam mendistribusikan dana zakat untuk terus berlanjut. Saidah berharap Zakat Hijau selain bermanfaat untuk mengurangi kemiskinan, juga bisa menjaga keberlanjutan bumi untuk generasi masa depan.
Zakat Hijau ini didistribusikan pada pengelolaan lingkungan dan pemberdayaan mustahik melalui pendekatan keberlanjutan, supaya zakat tak hanya jadi instrumen sosial untuk pemberdayaan umat, tapi lebih luas lagi yaitu untuk menjaga kelestarian bumi (Republika co.id, 13-3-2025).
Saidah menambahkan, berbagai permasalahan lingkungan seperti pencemaran mikroplastik, pemanasan global, serta krisis pangan dan sulitnya air bersih, berpotensi membawa dampak ekstrem yang dapat menciptakan tumbuhnya mustahik (orang yang berhak diberi atau menerima zakat) baru. Jelas ini adalah bencana, sehingga BAZNAS berupaya untuk menundanya dengan upaya pencegahan melalui kebijakan ekosistem hijau.
Program BAZNAS di antaranya mengintegrasikan pemberdayaan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan dengan pengelolaan lumbung pangan organik, fokus mitigasi bencana dan kerusakan alam, serta melakukan pemberdayaan masyarakat, agar dapat bertahan di tengah kesulitan.
Zakat Hijau, Nama Baru Niatan Lama
Indonesia adalah negara dengan penduduk mayoritas beragama Islam, jelas zakat sangat potensial, terutama dari sisi nominalnya, sayangnya pemanfaatannya masih serampangan bahkan terkesan tak kenal aturan syariat. Miris!
Zakat Hijau, hanyalah istilah baru, namun dengan niatan lama, yaitu memanfaatkan besaran dana zakat yang berhasil dikumpulkan. Sejatinya, inilah bukti pemerintah kita telah kehilangan cara dalam mengatasi kemiskinan dan mewujudkan kesejahteraan. Di sisi lain panik melihat dunia global mengalami krisis dan perubahan cuaca ekstrim dan berusaha ikut serta menghambat dampaknya.
Sebagai negara yang menjadi bagian dari negara-negara di dunia memang tak akan bisa menghindari dampak perubahan iklim. Namun semestinya juga bisa mendudukkan persoalan pada tempatnya, artinya mampu mengetahui akar persoalannya. Bukan sekadar tunduk patuh pada arahan barat untuk bersama-sama menjaga alam, lingkungan agar dampak perubahan iklim tidak terlalu berpengaruh.
Baca juga:
Peduli Generasi Islam Jadi Solusi
Selama kita masih berada di lingkup kapitalisme, maka selama itulah kita berada dalam pusaran bencana tak berkesudahan. Sistem ini menumbuhsuburkan kerakusan negara-negara baik barat maupun Cina dalam mengeksploitasi kekayaan alam negeri-negeri muslim, inilah yang menjadi akar persoalan. Mereka berkamuflase dalam berbagai kerjasama baik bilateral maupun internasional.
Parahnya, para pemimpin negeri ini justru pihak yang memperparah penjajahan ala neoimperialisme dan neoliberalisme ini, dengan membuat undang-undang yang memudahkan para investor berpesta mengeruk keuntungan atas potensi kekayaan alam yang berlimpah dan meninggalkan bencana sosial dan ekosistem begitu selesai atas hajatnya. Bagaimana rakyat bisa sejahtera, jika akses pada harta kepemilikan umum yang menjadi haknya digadaikan, dijual bahkan diobral kepada para korporat itu?
Munculnya Mustahik sangatlah pasti, bahkan hingga derajat di bawah fakir miskin, sebab negara tidak hadir seratus persen mengurusi urusan rakyat, mereka sibuk memperkaya diri dan menyenangkan para tuannya, bagaimana mencoloknya kezaliman itu diperlihatkan, saat kepala negara kita mengundang para taipan Cina yang dikenal dengan 9 naga ke Istana negara, padahal merekalah yang menyebabkan hak nelayan Tangerang menjerit kehilangan tempat mencari nafkah, atau penduduk Pulau Rempang yang kehilangan ruang hidupnya.
Lantas bagaimana posisi Zakat Hijau sebagaimana yang dimaksud bisa memperbaiki dan menghambat ekses kerusakan lingkungan hingga tak muncul Mustahik baru? Yakinkah dengan mekanisme program pemberdayaan ekonomi dengan keberlanjutan lingkungan, pengelolaan lumbung pangan organik, mitigasi bencana dan kerusakan alam dengan memanfaatkan harta zakat bisa keluar dari kesulitan dan berakhir sejahtera? Bagaimana Islam memandang persoalan ini?
Islam Sistem Sempurna Wujudkan Kesejahteraan
Makna zakat secara syari, sebagaimana dijelaskan Syekh Abdul Qadim Zallum dalam kitabnya yang berjudul ” Al-Amwaal fii Daulatil Khilafah” adalah sejumlah (nilai/ukuran) tertentu yang wajib dikeluarkan dari harta (yang jenisnya) tertentu pula. Para ulama telah mengklasifikasikan zakat sebagai bagian dari ibadah mahdhah.
Zakat mempunyai ketentuan khusus, baik menyangkut wajib zakat (muzaki), yang berhak menerima (mustahik), pemungut (amil), harta yang wajib dikeluarkan zakatnya, waktu pelaksanaannya, hingga kadar dan ukurannya. Hukum terkait dengan zakat sebagaimana ibadah lainnya bersifat tawqifiyyah (otoritas penuh) yang menjadi hak Allah sehingga aturannya harus datang dari Allah, Zat Yang Maha Pencipta, bukan dari yang lain.
Baca juga:
Badai PHK Meresahkan, Islam Wujudkan Kesejahteraan
Allah SWT. berfirman yang artinya, “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat (amil zakat), para mualaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang (gharimin), untuk di jalan Allah (fii sabilillah) dan untuk mereka yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.” (TQS at-Taubah 9: 60).
Maka jelaslah, zakat hanya untuk delapan ashnaf sebagaimana yang Allah sebutkan. Meski sama-sama untuk kesejahteraan, namun zakat peruntukannya khusus, dan mekanisme jaminan sejahtera menyeluruh ada pada mekanisme negara lainnya. Zakat disimpan di Baitulmal (kas negara), baik ada keperluan ataupun tidak. Zakat bukan hak Baitulmal, demikian juga bukan mustahik Baitulmal.
Baitulmal hanya tempat penyimpanan harta zakat untuk kemudian didistribusikan kepada orang-orang yang telah ditentukan oleh Allah dalam Alquran. Zakat tidak boleh dibagikan selain kepada delapan asnaf, apalagi dikeluarkan untuk mendirikan masjid-masjid, rumah sakit, sarana-sarana umum, atau salah satu dari kepentingan negara maupun umat. Pun untuk pemberdayaan masyarakat berbasis Zakat Hijau atau apapun istilahnya.
Maka, Islam menetapkan untuk pembiayaan semua kewajiban negara (mengurusi urusan umat) negara mendapatkan dari 12 jenis pos pendapatan yang kemudian disimpan di Baitulmal, yakni dari harta rampasan perang (anfal, ganimah, fai, dan khumus), pungutan dari tanah yang berstatus kharaj, jizyah (pungutan dari nonmuslim yang tinggal di Negara Islam), harta milik umum, harta milik negara, ‘usyur, harta tidak sah para penguasa dan pegawai negara atau harta hasil kerja yang tidak diizinkan syarak, khumus barang temuan dan barang tambang, harta kelebihan dari (sisa) pembagian waris, harta orang-orang murtad, dharibah (harta yang diambil dari kaum kaya saat kas negara kosong), dan harta zakat (Abdul Qadim Zallum, Al-Amwal fi Daulah al-Khilafah).
Jelas, tidak ada cara terbaik selain mewujudkan syariat dalam kehidupan bermasyarakat terlebih bernegara. Sebagaimana firman Allah SWT.,”… Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sungguh, Allah sangat keras hukuman-Nya.” (TQS al-Hasyr :7). Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar