Kontradiktif Kebijakan Keluarga dan Pernikahan, Sampai Kapan?

Suara Netizen Indonesia–Gubernur Bali Wayan Koster, menyampaikan kekhawatirannya Bali akan mengalami kepunahan nama Nyoman atau Komang dan Ketut sebagai akibat dari program Keluarga Berencana (KB) yang diterapkan di era Presiden Soeharto berkuasa dan berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 1992 tentang Perkembangan Kependudukan dan Pembangunan Keluarga Sejahtera.

 

Nama khas Bali untuk menamai anak ketiga dan keempat kini terancam punah. Terdata nama Ketut tinggal 6 persen sedang nama Nyoman tinggal 19 persen. Padahal keduanya adalah nama khas Bali yang sekaligus menunjukkan posisi anak ketiga dan keempat dalam masyarakat dan keluarga Bali.

 

Meski nama khas Bali itu juga sekaligus menunjukkan kasta atau hirarki di masyarakat, Koster tetap menyinggung program empat anak dilanjutkan, tujuannya untuk melindungi nama Nyoman atau Komang dan Ketut. Kedua nama tersebut bisa saja punah dalam kurun waktu 30 tahun ke depan bila program KB tetap diterapkan (detik.com, 12-3-2025).

 

Koster pun berjanji bakal memberikan insentif yang tidak hanya berbentuk uang tunai, tapi juga program-program di berbagai ranah, seperti kesehatan dan pendidikan, termasuk pemberian bantuan ketika persalinan. kepada anak ketiga dengan nama depan Komang atau Nyoman dan anak keempat dengan nama depan Ketut. Insentif tersebut akan mulai diberikan pada tahun ini.

Baca juga: 

Pengangguran, Masalah yang Tak Berkesudahan

 

Antropolog dari Universitas Hindu Negeri, I Gusti Bagus Sugriwa, dan peneliti dari Center for Dharmic Studies, I Nyoman Yoga Segara, menyebutkan kebijakan Koster akan menemui tantangan di lapangan. Faktanya, banyak keluarga memiliki membatasi jumlah kelahiran anak karena kesulitan ekonomi, daya beli masyarakat yang turun, dan gaya hidup child free yang makin masif dianut.

 

Yoga menambahkan anggapan banyak anak banyak rezeki kini dianggap mitos karena jika punya dua anak saja mereka merasa sulit memenuhi kesehatan, pendidikan, dan masa depannya.

 

Di sisi lain, ada upaya masiv pemerintah untuk mencegah pernikahan anak. Deputi Bidang Koordinasi Peningkatan Kualitas Anak, Perempuan, dan Pemuda Kemenko PMK, Woro Srihastuti Sulistyaningrum, menegaskan pentingnya kualitas remaja dalam mencapai bonus demografi. Pendidikan dan kesehatan harus menjadi prioritas utama untuk mewujudkan generasi yang berkualitas.

 

Hal itu Woro sampaikan dalam Seminar Nasional Cegah Kawin Anak di Semarang, Kamis, 19 September 2024. Woro menegaskan sangat penting untuk mencegah jangan sampai trerjadi perkawinan anak, ia mengimbau agar melakukan pernikahan di usia yang sewajarnya. Karena bonus demografi hanya bisa dicapai jika tersedia lapangan kerja yang memadai bagi generasi muda.

 

Di sisi lain, Direktur Bina KUA dan Keluarga Sakinah Kemenag, Cecep Khairul Anwar menegaskan , pihaknya berkomitmen mencegah perkawinan anak melalui pendidikan yang bisa membentuk kesadaran publik. Maka pihaknya akan memastikan akses pendidikan yang setara (kemenag.go.id, 20-9-2024).

 

Kebijakan tak hanya menyasar pendidikan formal informal, namun juga para penghulu pernikahan. Sebanyak 1.276 penghulu se-Jawa Barat termasuk penghulu di Kabupatan Pangandaran mengikuti ‘Workshop Gerak Penghulu Sejuta Catin Siap Cegah Stunting Zona 1 pada Selasa, 17 September 2024.

 

Kegitan ini digelar secara daring oleh BKKBN bersama Asosiasi Penghulu Republik Indonesia (APRI). Pemateri pertama Toto Supriyanto yang juga menjabat Ketua Tim Kepenghuluan Bidang Urais Kanwil Kementerian Agama Provinsi Jawa Barat meminta para penghulu untuk terus melaksanakan intervensi spesifik pencegahan stunting yang dapat dilakukan dengan membimbing para calon pengantin sejak masa perencanaan pernikahan.

 

Bimbingan perkawinan sudah masuk dalam RPJMN dan merupakan amanah, sehingga di tahun 2024 catin wajib melakukan bimbingan perkawinan,” tegas Toto (kemenag.go.id, 17-9-2024).

 

Jika masyarakat meneliti secara lebih mendalam, dapatlah terlihat jelas bagaimana ambigunya pemerintah mengatasi persoalan bonus demografi dan stunting. Dan memberikan solusi seadanya dengan pelarangan menikah di bawah usia yang sudah disyaratkan pemerintah tanpa melihat dimana akar masalah bermula.

 

Sementara di sisi lain, ada yang hendak merombak aturan keluarga berencana karena nama khas daerah tersebut bakal punah. Kontradiktif ini terjadi bukan semata terjadi ketidakkompakan antara pemerintah pusat dan daerah, namun lebih kepada tidak profesionalnya negara ini mengurusi rakyat.

Baca juga:

Badai PHK, Ekses Paten Sistem Ekonomi Kapitalisme

 

Maraknya kawin anak dianggap sebagai penghambat terwujudnya generasi berkualitas, apalagi kawin anak dituding identik dengan putus sekolah, tingginya angka perceraian, kematian ibu dan bayi, terjadinya stunting, KDRT dan hal-hal yang dianggap negatif. Bahkan dianggap perlu mengangkat remaja sebagai agen untuk mencegah perkawinan anak.

 

Sementara yang sudah menikah, dibatasi dalam jumlah anak yang boleh dilahirkan dalam keluarga tersebut. Sepertinya negeri ini tidak berkaca pada negara Jepang, Korea dan lainnya yang mulai kehilangan generasi produktif karena masalah pernikahan dan keluarga.

 

Wajar jika kemudian muncul kesimpulan yang serampangan dan membahayakan dan tetap disahkan sebagai kebijakan. Padahal masih perlu data yang oyektif dan bisa dipertanggungjawabkan. Jika tidak, maka akan tetap menjadi tuduhan yang menyesatkan. Dan Hal ini adalah ironis, karena di sisi lain, justru remaja dihadapkan pada derasnya arus pornografi dan kebijakan yang pro seks bebas. Menikah dini dihalangi, gaul bebas difasilitasi. Setelah menikah pun dibatasi untuk memiliki keturunan.

 

Seharusnya pemerintah lebih fokus pada kebijakan kebijakan yang mencegah anak terjerumus pergaulan bebas, bukan menyibukkan diri mencegah perkawinan anak. Standar usia anak yang diberlakukan dalam Undang-undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan Atas UU 1/1974 tentang Perkawinan, bahwa perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun.

 

Secara fisik dan kematangan alat reproduksi, usia yang dimaksud jelas tidak sesuai fakta. Mereka yang berusia 19 tahun tidak bisa lagi dikategori anak-anak, sebagai negeri dengan mayoritas muslim, sudah seharusnya menjadikan asas syariat dalam menentukan seseorang masih kanak-kanak atau dewasa. Sehingga jika terjadi pernikahan, mereka sah. Tinggal bagaimana menghilangkan kendala-kendala yang bakal dihadapi oleh pasangan baru menikah itu. Di sinilah peran negara sangat dibutuhkan.

 

Cegah kawin anak, sejatinya merupakan hidden agenda proyek hlobal merusak keluarga dan menekan angka kelahiran dalam keluarga muslim, itulah mengapa program ini menjadi amanat SDGs ( Suitanable Develomptmen Goal) yang merupakan program barat yang harus diwujudlkan juga di negeri-negeri muslim.

 

Tentu saja program tersebut berpijak pada paradigma barat, yang nyata-nyata bertentangan dengan syariat Islam. Di antara target yang akan dicapai adalah pengentasan stunting dan pencegahan pernikahan anak, yang dijadikan proyek nasional dalam RPJMN 2020-2024.

 

Angka perkawinan anak ditargetkan turun dari 11,2% di tahun 2018 menjadi 8,74% di tahun 2024. Dan target ini akan berdampak kepada berkurangnya angka kelahiran dalam keluarga muslim, bahkan akan menghancurkan keluarga muslim.

 

Islam VS Kapitalisme

 

Islam memiliki aturan rinci terkait dengan pernikahan. Dan negara Islam akan menerapkan hal-hal yang sesuai dengan syariat Allah.

Baca juga: 

Remaja Terpapar Narkoba , Kian Memprihatinkan 

 

Dalam negara yang menerapkan Islam secara kafah, berbagai hal yang menjadi problem hari ini, yang muncul karena penerapan sistem sekular Kapitalisme dapat terselesaikan. Termasuk terjaganya pergaulan antara laki-laki dan perempuan yang akan mencegah pergaulan bebas dan segala dampaknya.

 

Apa yang dikhawatirkan Gubernur Bali tidak akan terjadi. Adanya jaminan negara hadir dalam konteks pelayan umat sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Pemimpin itu adalah perisai dalam memerangi musuh rakyatnya dan melindungi mereka. Jika pemimpin itu mengajak rakyatnya kepada ketakwaan kepada Allah dan bersikap adil, pemimpin itu bermanfaat bagi rakyat, tetapi jika dia memerintahkan selain itu, pemimpin tsb merupakan musibah bagi rakyatnya.”(HR. Muslim).

 

Ketika rakyat diurusi sebagaimana mestinyapun , dengan syariat Islam, hidup sejahtera tidak lagi jadi halusinasi. Karena sistem ekonomi Islam akan menjamin terwujudnya kesejahteraan, dimana rakyat dijamin mendapatkan akses kebutuhan asasnya dengan mudah. Bagi yang uzur akan dijamin kebutuhannya oleh Baitulmal.

 

Pun sistem media akan makin menguatkan kepribadian Islam dengan trus menerus mengingat keberadaan Allah SWT. Wallahualam bissawab. [SNI].

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *