Indonesia Gelap, tanpa Islam

 

SuaraNetizenIndonesia__ Tagar Indonesia Gelap yang menggema di media sosial telah mencapai lebih dari 81.900 cuitan. Seiring dengan itu mahasiswa menggelar aksi pada hari Senin, 17 Februari 2025, serentak di Jakarta, Bandung, Lampung, Surabaya, Malang, Samarinda, Banjarmasin, Aceh, dan Bali, dengan orasi di kantor pemerintahan masing-masing kota.

 

Badan Eksekutif Mahasiswa dari berbagai kampus ini menuntut pertanggungjawaban atas kebijakan-kebijakan pemerintahan Prabowo yang dinilai tidak berpihak pada rakyat. (Tempo.co, 17-2-2025)

 

Koordinator BEM Seluruh Indonesia Satria Naufal mengatakan bahwa tajuk Indonesia Gelap itu dimaknai sebagai ketakutan warga Indonesia terhadap nasib masa depan bangsa. Menurut Satria, di bawah kepemimpinan Prabowo, masyarakat justru sering kali dibayangi oleh isu dan kebijakan yang tidak mendukung kepentingan rakyat. “Bagi kami, Indonesia Gelap sudah cukup mewakilkan ketakutan, kekhawatiran, serta kesejahteraan warga,” kata dia saat dihubungi, Senin, 17 Februari 2025.

 

Sejumlah tuntutan yang akan dibawa dalam aksi bertajuk Indonesia Gelap ini ialah efisiensi Kabinet Merah Putih secara struktural dan teknis; mendesak Prabowo keluarkan Perpuu Perampasan Aset; tolak revisi UU TNI, Polri, Kejaksaan; evaluasi total pelaksanaan Makan Bergizi Gratis; penciptaan pendidikan gratis; tolak revisi UU Minerba; hapuskan dwifungsi militer di sektor; reformasi Polri; tolak revisi peraturan tata tertib DPR; hingga realisasikan anggaran tukin dosen.

 

Aksi ini menanti respon dari pemerintah. Mereka berharap perubahan. Meski baru lewat 100 hari, namun jika tidak ditanggapi dengan benar, maka akan semakin menggunung distrust yang di tengah rakyat.

 

Kontrol Sosial

Melihat fenomena ini, tentu kita tak bisa berdiam diri. Aksi ini mewakili keresahan masyarakat yang tidak mendapatkan wadah untuk menyampaikan persoalannya. DPR pun sama halnya, tidak mewakili rakyat dalam penyampaian aspirasi. Maka kebijakan yang dikeluarkan pun menjadi tak bijak lagi, bahkan menjadi blunder.

 

Beragam masalah telah menyentuh setiap kalangan, dari para pekerja yang di-PHK sebagai imbas efisiensi, anak yang tak lagi mendapat beasiswa sebab jatah biaya sekolah gratis dibatasi, termasuk kehidupan kampus dengan ancaman kenaikan UKT dan penghapusan tunjangan para dosen. Belum lagi perampasan aset dan hak hidup, membuat penduduk terpaksa kehilangan tempat tinggalnya, atau pagar laut yang mengakibatkan mata pencaharian para nelayan semakin terbatas.

 

Tentu bukan kehidupan semacam ini yang diharapkan rakyat. Saat mereka memilih pemimpin yang baru, mereka berharap sejahtera dan kehidupan membaik. Namun apa mau dikata, satu demi satu masalah bermunculan dan tak kunjung mendapatkan solusi pasti. Sementara negara pun berlepas tangan. Maka wajar jika menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat, sebagaimana disampaikan Satria kepada wartawan.

 

Namun demikian, turunnya mahasiswa ke jalan dan menuntut perubahan, menandakan bahwa mereka semakin melek politik. Pandangan kritis mereka tak lagi bisa diredam dengan iming-iming kebijakan populis, seperti izin pengelolaan tambang serta penyematan beragam gelar duta di kalangan kampus. Langkah mereka tak surut, terus melaju, seraya menyuarakan keresahan umat.

 

Berbagai persoalan yang berkelindan di tubuh umat, tak pelak mereka rasakan pula. Bahkan mereka pun berupaya mencarikan solusi melalui aksi turun ke jalan, sebagai bentuk muhasabah terhadap penguasa dan menuntut kepemimpinan yang berpihak pada rakyat. Hanya saja tak mungkin berharap perbaikan pada sistem kapitalisme yang kini bertahta. Perlu solusi hakiki, yaitu kembali pada kehidupan Islam.

 

Kepemimpinan dalam Islam

Sebagaimana hadits Rasulullah saw. “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyarnya” (HR Bukhari)

 

Maka dalam Islam, seorang pemimpin akan memerhatikan seluruh urusan rakyat. Tidak sewenang-wenang atau berbuat aniaya. Tidak pula berpihak pada para kapital sebagaimana bentuk pemerintahan ala korporatokrasi. Sebab kepemimpinan merupakan amanah yang kelak akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah SWT. Karenanya negara akan dikelola, sebagaimana ketetapan Allah.

 

Para penguasa pun siap dikoreksi (muhasabah lil hukam) saat mereka melenceng dari syariat, baik oleh rakyat secara langsung atau melalui mekanisme majelis umat. Berbagai pelanggaran akan segera dituntaskan oleh para qadhi (hakim) dengan sistem persanksian yang bersifat zawajir (pencegah) dan jawabir (penebus), sehingga dipastikan hukum Allah tetap tegak di sana.

 

Penerapan Islam kaffah membentuk suasana keimanan dari rakyat jelata hingga ke pucuk pimpinan. Pun akan terealisasi individu-individu yang berilmu dan kuat keimanannya. Setiap individu sangat kritis menolak berbagai pelanggaran hukum syarak.

 

Dengan Islam sebagai pedoman mengatur pemerintahan, menjadikan sebuah negeri berbinar di tengah peradaban, laksana mercusuar di gulita malam. Sebagaimana Rasulullah saw. memimpin dengan Islam, menjadikan Al-Qur’an dan As-Sunnah sebagai aturan bagi masyarakat, hingga berubahlah Yatsrib menjadi Madinah Al-Munawarah atau Madinah yang bermandikan cahaya. Di sana Islam telah membumi, menjadi corak kehidupan yang indah di dalam masyarakat.

 

Tidak hanya muncul beragam penemuan baru, kemajuan teknologi, ilmu pengetahuan, dan tsaqafah, juga menjadikan peradaban semakin tinggi. Kala itu Daulah Islam menjadi negara terbesar dan terkuat di dunia selama 12 abad, dari abad ke-7 sampai abad ke-18 Masehi. Daulah Islam merupakan kebanggaan dunia, seperti matahari yang memancarkan sinarnya, sebagai penerang bagi umat lain, di sepanjang kurun waktu itu. (Kitab Nizhomul Islam tulisan Taqiyuddin An-Nabhani)

 

Maka umat perlu kembali kepada jati dirinya sebagai umat terbaik (khairu ummah) yakni dengan mengemban Islam sebagai sebuah sistem kehidupan. Melalui penerapan Islam kaffah, akan meniscayakan kemuliaan umat dalam kehidupan yang penuh berkah. Inilah yang menjadi tugas mahasiswa sebagai agen perubahan, yaitu menebarkan qiyadah fikriyah Islam (kepemimpinan berpikir dalam Islam), mengemban risalah Islam dan menyuarakan solusi Islam. Allahumma ahyanaa bil Islam.

 

 

Artikel Lainnya

PERAN DAYAH DALAM MEMBANGUN PENDIDIKAN DI ACEH

Istilah Dayah sudah sangat populer dalam masyarakat Aceh. Hubugan Dayah dan masyarakat Aceh sudah terjalin sangat erat, sehingga keeradaan Dayah di tengah-tengah masyarakat sudah dapat diterima dan menjadi sebuah gebrakan perubahan untuk menciptakan suasana social kemasyarakatan yang aman, damai dan berpayungkan hukum-hukum Islam.
Keberadaan Dayah telah ada sejak masuknya agama Islam di Aceh yakni pada tahun 800 M. Pada masa itu para pedagang dan mubaligh yang datang dari Arab berlabuh di pesisir Sumatera. Selain melakukan perdagangan, para pedagang dan mubaligh ini juga sangat aktif dalam menyebarkan agama Islam. Untuk mempercepat proses penyebarannya maka didirikanlah tempat pendidikan Islam yang pada waktu berfungsi sebagai media transformasi pendidikan Islam kepada masyarakat. Sejarah mencatat bahwa Dayah tertua di Aceh adalah Dayah Cot Kala yang sudah berdiri sejak abad ketiga hijriah. Dayah ini menjadi pusat pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara dengan tenaga-tenaga pengajar yang berasal dari Arab, Persia, dan India. Fungsi Dayah pada waktu itu masih terbatas untuk tujuan mengIslamisasikan masyrakat yang berada di sekitar Dayah dan untuk menjaga pengamalan-pengamalan masyarakat muslim di sekitar Dayah.
Pada masa itu Dayah lebih terfokus kepada materi-materi praktis, terutama dalam bidang tauhid, tasawuf dan fikih. Namun ketika peran Dayah Cot Kala sudah mulai terlibat dalam pemenuhan kepentingan keraajaan peureulak fungsinya berubah menjadi lebih besar dan mencakup ilmu-ilmu umum dan agama serta keahlian praktis. Dayah berasal dari kata Zawiyah, kata ini dalam bahasa Arab mengandung makna sudut, atau pojok Mesjid. Kata Zawiyah mula-mula dikenal di Afrika Utara pada masa awal perkembangan Islam, Zawiyah yang dimaksud pada masa itu adalah satu pojok Mesjid yang menjadi halaqah para Sufi, mereka biasanya berkumpul bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan bermalam di Mesjid. Dalam khazanah pendidikan Aceh, istilah Zawiyah kemudian berubah menjadi Dayah, seperti halnya perubahan istilah Madrasah menjadi Meunasah (Kanwil Kemenag Provinsi Aceh, 2022).
Dayah yang telah lebih dari seribu tahun berada di tengah-tengah perjalanan masyarakat Aceh, telah sangat banyak memberikan kontribusi pada bidang keilmuan masyarakat Aceh. Dalam sejarah dapat kita temukan bahwa Dayah telah menyajikan berbegai cabang ilmu, baik dalam bidang ilmu agama, kemasyarakatan, kenegaraan bahkan juga dalam bidang teknologi. Oleh karena itu alumni Dayah pada masa lalu benar-benar mendapat tempat dalam masyarakat, tidak hanya didaerah Aceh, bahkan juga ditingkat internasional.
Pada masa sekarang Dayah tetap masih terus memegang peran penting dalam pembinaan moral akhlak masyarakat Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Dayah juga merupakan salah satu lembaga Pendidikan Islam yang ada di Aceh dengan kurikulumnya mengajarkan tentang kitab-kitab kuning, mendidik santri menjadi kader-kader ulama di masa mendatang, dan Dayah juga merupakan salah satu pendidikan tertua di Aceh
Dayah sebagai lembaga yang sangat mampu memberdayakan masyarakat untuk mengembangkan potensi fitrah manusia, sehingga mereka dapat memerankan diri secara maksimal sebagai hamba Allah yang beriman dan bertakwa, serta esksistensi Dayah juga masih semakin diakui dalam memainkan perannya di tengah-tengah masyarakat sebagai lembaga dakwah.
Sesuai yang dikutip dari KaKanwil Kemenag Aceh peningkatan jumlah Dayah di Aceh sangat pesat, tercatat ada 400 Dayah baru bertambah di Aceh hanya dalam kurun waktu 2 tahun, sehingga total jumlah saat ini ada 1.626. Dari jumlah ini terdapat 916 unit Dayah yang di dalamnya berbentuk madrasah atau sering disebut Dayah modern.
Semakin berkembang pesatnya jumlah Dayah di Aceh hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya lembaga pendidikan Islam Dayah pada zaman ini. Oleh sebab itu fungsi Dayah tidak hanya untuk mendidik generasi-generasi muda agar bisa menguasai ilmu untuk menghadapi globalisasi, namun lembaga pendidikan Dayah juga harus menjadi agen perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga dengan gerakan sosialnya diharapkan dapat terbentuknya masyarakat yang madani. Sehinggga eksistensi Dayah secara landasan sosial historisnya telah berperan aktif dan memilki ilmu untuk melakukan perubahan social dalam masyarakat.
Agama Islam juga memiliki konsep dalam perubahan social, yakni bahwa dakwah memiliki peran untuk memulihkan keseimbangan mengarahkan pembebasan, persaingan ataupun tampak dinamika budaya yang lain, sekaligus meletakkan pola dakwah dalam berbagai perspektif termasuk perspektif kultural. Dakwah pada wilayah ini, berfungsi sebagai Agent Of Sosial Change. Dakwah dalam wilayah ini menjadi pusat atau sentral setiap perubahan sosial, ia mengarahkan dan memberikan alternatif padanya, ia memanfaatkan budaya yang ada dan memolesnya dengan warna Islami.
Terjadinya perubahan sosial, juga sangat berpengaruh dalam proses dakwah Islam yang ada dikalangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari Cara pandang, cara berfikir dan cara bertindak masyarakat dapat berubah dengan drastis terhadap fenomena-fenomena yang ditemui dalam keberagaman masyarakat. Pada hal ini dakwah Islam harus mampu mengimbangi perubahan sosial yang terjadi di masyarakat untuk mengarahkan kepada hal-hal yang bersifat positif demi tegaknya dakwah di kalangan masyarakat serta seorang dai harus bisa memberikan solusi yang konstruktif sesuai dengan ajaran Islam yang dinamis, transformatif dan mengerakkan umat manusia untuk bangkit dari keterbelakangan menuju cahaya iman dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini bertujuan agar jalan dakwah dapat terus berlanjut dan lebih mudah diterima dalam kalangan masyarakat zaman ini.
Dayah dan masyarakat merupakan sebuah hubungan yang sudah terjalin erat sehingga keberadaan Dayah di tengah-tengah masyarakat dapat diterima dan menjadi sebuah gerakan perubahan dalam menciptakan suasana yang Islami bagi masyarakat itu sendiri kemudian masyarakat dan Dayah tidak lagi terjadi pertentangan baik dari pihak Dayah maupun dari kalangan masyarakat.
Oleh karena itu seluruh kegiatan atau aktivitas-aktivitas dakwah Dayah seperti majelis taklim di berbagai daerah di Aceh diharapkan nantinya dapat menciptakan berbagai perubahan social positif sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh orang banyak, serta dalam menjalankan aktivitas dakwahnya, sebab itu lembaga pendidikan Islam Dayah tidak hanya menajdikan hanya santri saja yang menjadi sasaran dakwahnya, akan tetapi seluruh elemen masyarakat juga yang di luar Dayah dapat mendapatkan ilmu tentang pengetahuan agama dari hasil aktivitas dakwah yang dilakukan Dayah dan perubahan social dapat dirasakan oleh masyarakat dari sebelum adanya Dayah hingga Dayah itu hadir di tengah-tengah masyarakat mampu memberikan perubahan, baik dari pengetahuan tentang agama maupun dalam proses pengamalan ibadah. (Hamdan 2017, 9: 119)

Sumber Gambar : NU Online.

Penulis Merupakan Mahasiswa Prodi Bimbingan Dan Konseling Islam, Institute Agama Islam Negeri Langsa, KKN-T(DR) Berbasis Medsos Smester Ganjil 2022-2023.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *