Terowongan Simbol Toleran, Benarkah Dibutuhkan?
Suara Netizen Indonesia, Bisa jadi belum banyak yang tahu mengenai Terowongan Silaturahim. Ya, terowongan yang resmi beroperasi beberapa waktu lalu, menghubungkan basement parkir Masjid Istiqlal menuju pintu masuk Katedral yang letaknya berseberangan. Ada pun ukuran panjangnya di kisaran 28,3 meter, tinggi 3 meter, lebar 4,1 meter, dan total luas area di dalamnya 136 meter persegi (jawapos.co.id, 25-12-2024).
Mengutip dari wikipedia, konon tujuan dibangunnya terowongan ini adalah sebagai simbol harmoni dan toleransi kehidupan umat beragama di Indonesia. Jujur, alasan yang absurd sebenarnya. Karena sikap toleran bisa tercermin langsung dari perilaku seseorang, kiranya tak butuh simbol untuk itu. Anda setuju?
Menyoal Narasi Toleransi
Terowongan yang pembangunannya dimulai pada 15 Desember 2020 oleh Kementerian PUPR ini disebut Terowongan Silaturahim karena dirancang agar pengunjung dari kedua tempat ibadah, Masjid Istiqlal dan Gereja Katedral dapat saling terhubung. Wajar jika pada praktiknya yang terlihat lebih pada berbagi lahan parkir. Pengunjung Katedral bisa memarkir kendaraannya di areal parkir Masjid Istiqlal lalu berjalan via terowongan menuju Katedral dan berlaku sebaliknya.
Baca juga:
Makan Bergizi Gratis Benarkah Bukan Sekadar Janji Manis?
Namun narasi toleransi dan silaturahim yang digemakan patut menarik perhatian umat lebih jauh. Sebab jika silaturahmi yang dimaksud bersua menjalin keakraban, tentu tak harus lewat bawah tanah, cukup saja dengan jembatan penyebrangan.
Terlebih, toleransi yang selalu didengungkan seolah belum terwujud di negeri ini sejatinya narasi sumbang minus fakta. Sebab perbedaan agama bukan hal baru di dunia. Sejak dahulu kala di zaman nenek moyang, pemeluk masing-masing agama sudah hidup rukun berdampingan.
Intoleransi tak pernah jadi masalah darurat bagi Ibu Pertiwi jika dibandingkan dengan narkoba, judi daring, zina, tindak korupsi serta masih banyak lagi lainnya. Hal ini membuat argumen bahwa persoalannya mengakar pada sekularisme yang wujud di negeri ini semakin sukar dibantah.
Paham yang memisahkan agama dari kehidupan ini melahirkan ide demokrasi yang memuja nilai-nilai kebebasan. Dalam bingkai demokrasi, tak ada kebenaran absolut, melainkan semuanya relatif bahkan tak jarang mengikuti pendapat mayoritas.
Baca juga:
Moderasi Pendukung Pembangunan Bangsa, Penyesatan!
Wajar jika toleransi yang diinginkan bukan sebatas mewujudkan kerukunan tanpa meninggalkan prinsip kebenaran masing-masing agama. Namun, langsung maupun tidak, narasi toleran yang diinginkan ialah menggiring umat beragama untuk menerima paham pluralisme hingga sinkretisme (pandangan bahwa semua agama benar) yang seluruhnya merupakan produk demokrasi.
Bahayanya, agama dalam hal ini Islam yang mayoritas dianut, berisiko dikerat tak lebih sekedar urusan ibadah spiritual tanpa akses dalam urusan kehidupan sehari-hari.
Umat Islam Tak Butuh Diajari Soal Toleransi
Tak sedikit kalangan yang belum memahami bahwa narasi toleran tak tepat bila dilekatkan dengan Islam. Karena hal tersebut justru telah menyatu dengan Islam. Alqur’an sebagai kitab suci tak hanya memuat perkara ibadah namun juga seluruh aspek dalam hidup manusia seperti muamalah, hukum, pergaulan hingga pemerintahan.
Sebagaimana firman Allah Swt,“…dan Kami turunkan kepadamu Al Kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (TQS. An Nahl :89).
Untuk itu dalam soal toleran terhadap pemeluk agama lain, Islam mengajarkannya dengan begitu apik sejak masa Rasulullah saw. Islam memberikan tuntunan bagaimana menghargai dan menghormati pemeluk agama lain. Tak ada paksaan non-Muslim untuk masuk Islam.
Rasulullah saw. pernah menjenguk orang Yahudi yang sedang sakit, melakukan transaksi jual-beli dengan non-muslim, menghormati tetangga non-muslim dan lainnya. Daulah Islam di Madinah yang Rasul saw. pimpin kala itu juga menunjukkan kecemerlangannya dalam mengelola kemajemukan.
Umat Islam, Nasrani dan Yahudi hidup berdampingan satu sama lain. Meski mereka hidup dalam naungan pemerintahan Islam yang menerapkan syariat secara kafah, masyarakat non-muslim mendapatkan hak-hak yang sama sebagai warga negara, memperoleh jaminan keamanan atas harta dan jiwa, juga bebas melakukan peribadatan sesuai dengan keyakinannya masing-masing.
Di masa kekhilafahan Utsmaniyah, pernah terjadi bencana kelaparan hebat (Great Hunger) di Irlandia pada tahun 1840-an. Khalifah Sultan Abdul Majid saat itu menyumbangkan £ 1.000 untuk bantuan kelaparan bagi rakyat Irlandia penganut Katolik. Sebuah surat yang ditulis oleh tokoh-tokoh Irlandia di arsip yang tersimpan di Turki saat ini secara eksplisit berterima kasih kepada Sultan atas bantuannya (Wikipedia).
Baca juga:
Kapitalisme Mendatangkan Bencana, Umat Butuh Pemimpin Amanah
Jelaslah perlakuan adil Islam terhadap non-Muslim bukan narasi kosong, melainkan langsung diaplikasikan secara nyata. Seorang sejarawan Inggris di masa itu, T.W. Arnold, dalam bukunya, The Preaching of Islam, menulis, bahwa perlakuan terhadap warga Kristen oleh kekhilafahan Ottoman, selama kurang lebih dua abad setelah penaklukan Yunani, telah memberikan contoh toleransi keyakinan yang sebelumnya tidak dikenal di daratan Eropa.”Wallaahu a’lam. [ SNI ].
Komentar