Mari Bersatu, Buang Intoleransi Semu
Suara Netizen Indonesia–Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) intoleransi adalah ketiadaan tenggang rasa. Indonesia adalah negara dengan beragam budaya dan agama, tentu sangat diperlukan sikap saling menghormati dan menghargai perbedaan di antara sesama warga negara.
Namun akhir-akhir ini gaung intoleransi seolah terus menggema di seantero negeri. Indonesia yang mayoritas penduduknya muslim seakan-akan terancam dengan penyakit berbahaya yang bernama intoleransi. Yang lebih parahnya label intoleransi disematkan kepada umat Islam.
Intoleransi terus digoreng menjadi isu panas bak bola api yang menggerus dan membakar kedamaian di tengah masyarakat. Media pun berlomba mengangkat berita sensitif ini dengan memojokkan umat Islam bahkan para tokoh dari kalangan muslim pun turut bersuara lantang mengecam tanpa melihat lebih detail akar permasalahan yang sesungguhnya.
Seperti yang dilakukan beberapa media nasional yang memberitakan sikap intoleransi atas unjuk rasa yang dilakukan oleh Forum Masyarakat Soreang Peduli Kota Santri di depan Gedung DPRD Kota Parepare, Sulawesi Selatan. Unjuk rasa ini dilakukan sebagai bentuk protes warga muslim atas pendirian Sekolah Kristen Gamaliel.
Baca Juga:
IPM Tinggi, Indikator Sejahtera Hakiki?
Ketua Forum Peduli Umat (FPU) Parepare, H. Abdurahman Saleh mengatakan aksi ini sebagai upaya membentengi akidah umat Islam dari program kristenisasi terselubung yang cukup masif seperti yang terjadi di sejumlah daerah diantaranya di Kabupaten Soppeng dan Kota Parepare.
Sekretaris Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia (ICMI) Parepare, Dr. Muhammad Nashir T, mengungkapkan bahwa tidak adanya studi kelayakan sosial dan budaya terkait rencana pembangunan Sekolah Kristen Gamaliel sehingga berpotensi menimbulkan kerawanan karena lokasi pembangunan merupakan pemukiman warga muslim (PilarIndonesia.com, 7-10-2023).
Unjuk rasa ini membuat Ketua Pokja III DPRD Parepare Ibrahim Suanda memerintahkan Satpol PP untuk menutup Sekolah Kristen Gamaliel yang berada di Kelurahan Watang Soreang, Kecamatan Soreang tersebut. Alasan penolakan DPRD adalah sebagai tindak lanjut Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang dilakukan anggota dewan periode sebelumnya (Beritasatu.com, 29-9-2024).
Kecaman pun datang dari Pelaksana harian (Plh) Direktur Eksekutif Wahid Foundation Siti Kholisoh, penolakan pendirian Sekolah Kristen Gamaliel yang dilakukan sejumlah masyarakat dinilai mencederai semangat toleransi yang terkandung dalam semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Baca juga:
Harapan Perubahan Pada Kabinet Baru, Ilusi!
Menurutnya peristiwa ini merupakan tindakan intoleransi yang merusak hak umat beragama lain hanya karena berbeda keyakinan dengan mayoritas orang Indonesia (Beritasatu.com, 29-11-2024).
Direktur Eksekutif Setara Institute, Halili Hasan pun turut mengomentari peristiwa ini. Halili mengatakan penolakan pembangunan sekolah Kristen di Parepare tidak beralasan dan menyebut tindakan itu sebagai gejala intoleran yang tak diatasi secara maksimal oleh pemerintah setempat (Bbc.com, 13-10-2023).
Intoleransi seakan selalu disematkan pada umat Islam. Kontras sekali perlakuan ketika umat muslim yang menjadi korban tindakan intoleran yang dilakukan baik oleh non muslim atau punggawa negeri ini. Seperti tindakan pelarangan mengenakan kerudung untuk petugas Paskibraka yang beragama Islam saat perayaan 17 Agustus tahun beberapa bulan lalu.
Atau perusakan masjid dan pelarangan shalat Idul Fitri yang pernah terjadi beberapa waktu yang lalu di Papua. Atau kasus permutadan massal di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara dimana ada kelompok yang secara masif mengajak untuk keluar dari Islam dengan iming-iming uang atau pekerjaan. Dan masih banyak tindakan intoleransi lainnya yang dirasakan umat Islam yang konon katanya mayoritas di negara ini.
Peristiwa atau aksi tersebut dianggap bukan tindakan intoleransi seperti yang sering media dan tokoh muslim liberal gembar gemborkan. Media dan para tokoh muslim liberal seolah sepakat untuk berdiam diri apabila peristiwa intoleransi menimpa umat Islam, jangankan membela bahkan bersuara untuk mengecam saja tidak dilakukan. Ironi ini terus berlanjut hingga sekarang.
Islam dan Toleransi
Islam dan kaum muslimin tidak pernah bermasalah dalam mengatur keberagaman dan kemajemukan. Islam dengan paripurna mampu mengatur dan mengelola keberagaman (pluralitas) menggunakan syariat Islam sehingga keberagaman tidak sampai menjadi ancaman dan sumber permasalahan di dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Terbukti nyata dan jelas bahwa Islam yang pernah menjadi mercusuar peradaban dunia tidak pernah sekalipun bermasalah dengan keberagaman dan toleransi. Sejak jaman Nabi SAW yang mendirikan Daulah Islam di Madinah yang kemudian dilanjutkan oleh Khulafaur Rasyidin hingga akhir keruntuhannya tidak pernah sekalipun Islam memaksa non muslim untuk keluar dari keyakinannya (QS. Al Baqarah 256).
Non muslim dibiarkan bebas menjalankan peribadatan sesuai dengan agama dan keyakinan mereka (QS. Al Kafirun). Bahkan umat muslim dilarang mencela sembahan agama lain tanpa dasar ilmu. (QS. Al An’am : 108) Bukan hanya itu, Islam juga memerintahkan apabila berdiskusi dengan non muslim harus dengan cara yang makruf (baik). (QS. Al Ankabut : 46).
Hal ini pun diakui oleh para sejarawan Barat. Seorang Filsuf dan Sejarawan Will Durant dalam bukunya The Story of Civilization menggambarkan keharmonisan antara umat Muslim, Yahudi dan Kristen di Spanyol di era Khilafah Bani Umayyah.
TW. Arnold, seorang Orientalis dan Sejarawan Kristen dalam bukunya The Preaching of Islam, A History of Propagation of The Muslim Faith (hlm. 134) memuji toleransi beragama yang ditunjukkan oleh umat Muslim, yang sebelumnya tidak pernah dilakukan bahkan dikenal di daratan Eropa di era pemerintahan Turki Utsmani selama kurang lebih 2 abad setelah penaklukan Yunani.
Jadi ide intoleransi yang saat ini gencar digaungkan di tengah kaum muslimin sejatinya tidak berdasar dan tidak berkaitan sama sekali dengan sikap santun dan toleran yang sudah sejak lama dipraktikkan oleh umat Islam ketika pertama kali Islam hadir di tengah-tengah kehidupan manusia.
Baca juga:
Tanpa Syariat, Pengentasan Kemiskinan Hanya Ilusi
Apabila Islam dipahami dan diamalkan sesuai tuntunan syariat yang diturunkan Allah SWT maka tidak perlu khawatir apalagi mewaspadai seorang muslim yang taat menjalankan aturan Islam apalagi menganggapnya sebagai ancaman dan bahaya. Islam adalah agama rahmah (kasih sayang), yang menjunjung tinggi toleransi.
Islam mampu menjaga keutuhan serta membawa kedamaian di tengah keberagaman dan kemajemukan. Sudah menjadi kewajiban penguasa untuk mendukung dan mendorong serta melindungi kaum muslim untuk taat kepada syariat Islam karena Islam hadir sebagai rahmat bagi seluruh alam.
Dan dengan kesempurnaannya, Islam akan melahirkan generasi revolusioner sejati yang sanggup menghantarkan negeri ini pada kebangkitan dan kemajuan hakiki di setiap lini kehidupan. Keberagaman dan kemajemukan bukan lagi halangan untuk menjadi bangsa yang kuat berdasarkan syariat menghapuskan intoleransi yang memecah belah dan menghancurkan negeri.Wallahu’alam. [ SNI].
Komentar