Perubahanan Makna Salih ala Moderasi

 

SuaraNetizenIndonesia__ Ada dua hal yang menjadi catatan Kementrian Agama, yakni Indeks kerukunan umat beragama di Indonesia semakin meningkat, dari sekitar 76,22 persen pada 2023, menjadi 76,47 persen di 2024.

 

“Indeks kerukunan umat beragama meningkat 76,22 pada tahun 2023 dan sekarang menjadi 76,47 indeksnya,” kata Menteri Agama, Yaqut Cholil Qoumas dalam sambutannya di Religion Fest dan Kick Off Hari Santri di JIExpo Kemayoran, Jakarta Pusat, pada Rabu (9/10).

Selain itu, indeks kesalihan sosial di tanah air turut meningkat dari yang semula 82,59 menjadi 83,83. Dia menilai kenaikan itu signifikan. (Kumparannews, 10-10-2024)

 

Naiknya indeks kerukunan umat beragama (IKUB) dan indeks kesalihan sosial harus ditelaah dengan mencermati indikator yang digunakan. Indikator IKUB adalah toleransi, kesetaraan, dan kerja sama, yang sejalan dengan prinsip moderasi beragama yang dijalankan saat ini.

 

Sementara indeks kesalihan sosial diukur melalui lima dimensi yakni; kepedulian sosial, relasi antar manusia, menjaga etika, melestarikan lingkungan, serta relasi dengan negara dan pemerintah. Terminologi salih yang selama ini kita pahami, yakni niat karena Allah dan sesuai dengan ketentuan syariat, didekonstruksi dalam pengukuran indeks kesalihan sosial (IKS). Makna salih diberikan pemaknaan baru dengan melekatkan tambahan kata “sosial”. Semua Indikatornya mengarah pada moderasi, karena yang diukur adalah parameter-parameter moderasi. Karakter sebagai muslim moderat inilah yang ditampakkan oleh IKUB dan IKS.

 

Bias Moderasi

Sejatinya moderasi beragama bukan berasal dari Islam. Ia merupakan proyek Barat untuk menghapus ideologi Islam. Ide ini merupakan hasil rekomendasi Rand Corporation yang dipasarkan ke negeri-negeri Islam. Targetnya adalah untuk mencegah kebangkitan Islam dan tegaknya Khilafah. Sebab pada faktanya gelombang kebangkitan umat yang menginginkan persatuan, makin tak terbendung dari waktu ke waktu. Hal ini sangat ditakuti Barat. Saat umat kembali pada Islam dan persatuan yang diikat oleh akidah, saat itulah mereka akan menolak aturan kufur. Maka cengkeraman Barat di negeri-negeri muslim pun akan semakin sulit.

 

Karenanya mereka membutuhkan alat mengoyak persatuan umat, menjauhkan kaum muslim dari agamanya, dengan mengedepankan toleransi melalui moderasi beragama, dengan dalih demi persatuan umat manusia. Tak ayal banyak kaum muslim terpikat ide ini. Apalagi dikemas dengan berbagai tampilan yang memikat, dalam bentuk games, diskusi, seminar dll.

 

Moderasi inilah dianggap sebagai cara jitu menyatukan umat manusia, namun jelas jejaknya menjauhkan individu muslim dari keislamannya. Karenanya, moderasi beragama dalam pandangan Islam merupakan ide yang sangat berbahaya, sehingga umat harus sepakat menolaknya. Meski diaruskan oleh pemerintah, tetapi umat harus jeli melihatnya, bahwa berbagai upaya penyesatan umat, tidak boleh diikuti sama sekali.

 

Tak perlu moderasi, Islam sudah memiliki aturan tertentu tentang toleransi, yang sesuai Al-Qur’an dan As-Sunnah, yang jelas berbeda dengan standar global (Barat). Tuntunan Islam tentang toleransi di antaranya ada pada QS Al-Kafirun: 6 , Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

لَـكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.”

 

Maka tak perlu bergeser setapak pun dari Islam demi toleransi atau alasan moderasi. Panduannya telah ada bahwa setiap orang boleh meyakini agamanya masing-masing tanpa diganggu. Sama halnya mereka pun tidak boleh mengganggu kaum muslim dalam menjalani keislamannya.

 

Piagam Madinah adalah bukti bahwa Islam mengakui pluralitas, tanpa moderasi, semua masyarakat dapat dipersatukan dengan Islam sebagai hukum negara. Ada kelompok muslim Muhajirin dan Anshar, kelompok musyrik Aus dan Khazraj, serta kelompok Yahudi. Maka tak perlu takut dengan penerapan Islam kaffah, sebab terbukti Islam mampu menyatukan dan mengakomodir berbagai perbedaan.

 

Perubahan Makna Salih ala Moderasi

Makna kata ‘salih’ pun berubah untuk memuluskan ide moderasi. Padahal dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) sendiri menyebutkan dua pengertian untuk kata ‘salih’. Pertama, salih adalah taat dan sungguh-sungguh menjalankan ibadah. Kedua, salih adalah suci dan beriman.

 

Imam Al-Baidhawi dalam tafsirnya Anwarut Tanzil wa Asrarut Ta’wil, mengatakan bahwa orang salih adalah orang yang menghabiskan usianya untuk menaati Allah dan mengerahkan hartanya di jalan yang diridai-Nya.

 

Imam Ibnu Katsir dalam karya tafsirnya mendefinisikan orang salih sebagai orang yang baik amal lahir dan amal batinnya. Sedangkan Imam Khazin dalam tafsirnya mengatakan, as-shālihīn adalah kata jamak shālih, yaitu orang yang sama baiknya baik lahir maupun batinnya. Ia juga mengutip pandangan ahli tafsir lain bahwa orang salih adalah orang yang akidahnya benar dan amalnya sesuai pedoman sunnah dan ketaatan kepada agama.

 

Maka makna salih menurut moderasi, sungguh tak sesuai dengan definisi para ulama terdahulu. Sungguh moderasi sangat berbahaya, bias maknanya harus terus diluruskan ke tengah umat, agar mereka tak keliru memahami Islam yang hakiki. Toleransi pun tak membutuhkan moderasi, sebab sejarah telah membuktikan indahnya penerapan Islam kaffah hingga dapat dinikmati seluruh umat manusia meskipun berbeda-beda agamanya.

 

Maka satu-satunya cara mengembalikan peradaban manusia ke tingkat yang tinggi, adalah dengan kembali pada kehidupan Islam, melalui penerapan Islam oleh satu-satunya institusi bagi kaum muslim, yakni Khilafah, tidak dengan demokrasi atau moderasi.

 

Artikel Lainnya

Krisis Air Mengancam, Akibat Sistem yang Makin Kejam

Sistem kapitalisme sekuler pun “mengizinkan” pembangunan yang berlebihan tanpa mengindahkan dampaknya bagi lingkungan. Dengan pembukaan dan pembebasan lahan yang luas. Tentu saja, semua ini berdampak buruk bagi kehidupan manusia. Konsep ini pun diperparah lagi dengan program liberalisasi sumberdaya alam. Sistem ekonomi kapitalisme melegalkan pengelolaan sumberdaya air oleh pihak swasta.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *