Bukan Sekadar Kunjungan Biasa, Tetap Waspada!
Suara Netizen Indonesia–Apa yang dibicarakan ketika Pemimpin Gereja Katolik Dunia, Paus Fransiskus bertemu dengan Presiden Joko Widodo? Ternyata pembicaraan seputar fenomena konflik di berbagai negara. Paus berpendapat konflik-konflik itu disebabkan oleh pihak-pihak intoleran yang berusaha memaksakan visinya ke masyarakat.
Meski Paus tak membahas negara atau lokasi secara spesifik, namun ia memuji toleransi bangsa Indonesia di tengah keberagaman dan mendoakan agar masyarakat Indonesia selalu hidup dalam kerukunan (CNN Indonesia.com,4-9-2024).
Kehadiran Paus memang mendapatkan sambutan luar biasa, baik dari pemerintah Indonesia maupun para pejabat dan ormas keagamaan. Bahkan sebanyak 33 tokoh muslim Indonesia meluncurkan buku berjudul “Salve, Peregrinans Spei”, yang berarti “Salam Bagimu Sang Peziarah Harapan”.
Buku ini tidak hanya sekadar sambutan, tetapi juga menggambarkan semangat keberagaman dan pluralisme yang hidup di Indonesia (kompas.com, 2-9-2024). Sekretaris Frans Seda Foundation, Willem L Turpijn mengatakan, kedatangan Paus Fransiskus adalah kesempatan bagi Indonesia untuk memperkuat dialog antaragama yang inklusif dan mencerahkan, yang ia pun berharap bisa mendorong cendekiawan muslim dan pemimpin organisasi untuk berdiskusi lebih dalam lagi tentang isu-isu keagamaan.
Selain itu, Willem yang juga menjadi salah satu editor, berharap buku itu bisa menjadi simbol komitmen Indonesia terhadap toleransi dan keadilan sosial. Sebagai informasi, pembuatan buku itu merupakan Inisiatif dari Frans Seda Foundation, Fakultas Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah, Yayasan Harapan Pemuda Indonesia dan Unika Atma Jaya. Diterbitkan oleh kompas media.
Kehangatan sambutan Imam Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar dan Paus pun terekam media asing, dengan memberi komentar di lamannya, “Paus Fransiskus dan imam besar masjid terbesar di Asia Tenggara pada hari Kamis berjanji untuk melawan kekerasan yang diilhami agama dan melindungi lingkungan. Keduanya mengeluarkan seruan bersama untuk persahabatan antaragama dan tujuan bersama yang menjadi inti kunjungan Fransiskus ke Indonesia,” (CNBC Indonesia,5-9-2024).
Baca Juga:
Pengangguran, Permasalah Yang Tak Berkesudahan
Disanjung pula soal “Terowongan Persahabatan”, tempat kedua tokoh itu berdiri , dimana terowongan itu menghubungkan kompleks Masjid Istiqlal dengan Gereja Katedral Katolik. Dengan tendensius, laman media AS, Associated Press itu pun menambahkan,”Dia mendorong orang Indonesia dari setiap tradisi agama untuk berjalan mencari Tuhan dan berkontribusi untuk membangun masyarakat terbuka, yang didirikan atas rasa hormat timbal balik dan cinta kasih timbal balik, yang mampu melindungi dari kekakuan, fundamentalisme, dan ekstremisme, yang selalu berbahaya dan tidak pernah dapat dibenarkan.”
Misi Kunjungan Paus dan Bahaya Respon Kepemimpinan Sekuler
Masalah kunjung mengunjungi adalah hal yang lumrah, menjadi berbahaya ketika ada dua pemimpin beda agama yang membahas perdamaian. Tentu kita harus mengganti dengan kewaspadaan. Bukankah Islam lebih tinggi, mengapa masih harus mendengar dari “ orang lain” tentang perdamaian, seolah Islam tak paham perdamaian bahkan menjadi biang kerok hancurnya perdamaian dunia.
Secara tersirat, Paus membawa pesan perdamaian padahal senyatanya ini adalah tekanan global soal toleransi yang ujungnya permisif terhadap moderasi. Hal ini bisa dilihat dari berbagai statement Paus, misalnya soal definisi baru politik adalah bukan perang tapi kasih sayang, kekayaan Indonesia bukan tambang emas tapi harmonisasi, dan lainnya.
Ironinya, semua statement Paus direspon positif oleh para pemimpin dan masyarakat muslim. Contoh, kasus usulan azan diganti running text agar misa agung yang juga berlangsung di jam yang sama tidak terpotong. Meski netizen nyinyir di media sosial, nyatanya lebih banyak mereka yang menganggap wajar terutama di kalangan mahasiswa muslim. Lebih menjijikan ada pernyataan dari salah satu pimpinan ormas keagamaan yang menganjurkan perilaku Paus menjadi teladan sebagai pemimpin seperti menggunakan pesawat komersial dan lainnya, sungguh antusiasme tokoh-tokoh muslim yang kebablasan!
Perdamaian Yang di Gagas Tetaplah Moderasi
Sekali lagi, kaum muslim hendaknya tetap waspada dan bersikap kritis. Toleransi, perdamaian, dialog lintas agama, hingga monsterisasi ajaran Islam sebagai radikal, intoleran dan lainnya ruhnya hanya satu. Yaitu moderasi beragama. Proyek moderasi beragama masuk melalui banyak jalur. Dua di antaranya ialah dialog antaragama dan perlawanan terhadap ekstremisme/radikalisme.
Baca juga :
Air Mengalir, Rakyat Tetap Fakir
Dialog antaragama memiliki dua motif, yaitu melemahkan ajaran Islam dan melestarikan penjajahan. Yang menonjol adalah menganggap Islam tidak akuntable menjadi aturan hidup, sementara ajaran mereka, yang notabene mengingkari keesaan Allah, lebih layak untuk diikuti. Nauzubillah. Mereka pun bermuka dua, dengan segala upaya berusaha menyembunyikannya.
Sedangkan terhadap pelaku genosida seperti Zionis tidak pernah disebut ekstremis, radikalis, apalagi teroris. Akan tetapi, tatkala umat Islam menyampaikan gagasan penerapan syariat Islam, dengan telak disebut sebagai bibit ekstremis atau radikalis.
Tampak jelas, moderasi beragama tidak menginginkan umat Islam terlalu fundamental meyakini dan menerapkan ajaran Islam. Jika sampai ada kelompok umat Islam bertujuan menegakkan Islam melalui pendirian negara, Barat langsung melabelinya kelompok ekstrem/radikal. Inilah upaya penyesatan atau tipu daya politik (tadlil Siyasi). Ironinya sekarang pengembannya adalah pemimpin negeri-negeri muslim sendiri.
Indonesia salah satu sasaran pemikiran batil ini, demokrasi sebagai sistem politik di negeri ini meniscayakan lahirnya kepemimpinan sekuler untuk memenangkan program moderasi beragama yang sejatinya menggerus akidah umat.
Umat Islam harus kritis dan punya sikap yang benar sesuai tuntunan syariat terkait bahaya toleransi dan moderasi beragama yang dibawa oleh Paus dan diberi jalan oleh rezim sekuler. Maka, ada beberapa hal yang harus dilakukan pertama, umat harus ikut pembinaan Islam kafah secara intensif. Dimana pembinaan ini bertujuan membangun kerangka berpikir sebagai pribadi Islam yang senantiasa menyelaraskan pola pikir dan pola sikap dalam melakukan semua aktifitas. Ini meniscayakan ada pada jamaah politik yang tumbuh di tengah umat
Baca juga:
Pupuk Sulit Dicari, Petani Gigit Jari
Kedua, tidak mudah mengambil berita begitu saja dari media tanpa mengaitkannya dengan pemahaman Islam. Sikap kritis sangat dikedepankan, dan hanya dengan pembinaan hal ini bisa tercapai. Meski banyak kelompok kajian namun tak banyak yang membentuk output kritis dan tanggap terhadap persoalan di sekitarnya.
Ketiga, memahami makna toleransi yang sebenarnya, bukan sebagaimana yang ditampakkan media maupun tokoh-tokoh di negeri ini sekalipun tokoh agama, terutama jika apa yang mereka perbuat bertentangan dengan firman Allah SWT. Yang artinya, “Untukmu agamamu dan untukku agamaku.” (TQS Al–Kafirun: 6). Islam sangatlah jelas.
Keempat, memahami bahaya moderasi beragama adalah pengaburan ajaran Islam, semisal mencampuradukkan kebenaran dan kebatilan dengan dalih toleransi dan kerukunan. Apalagi jika mengingat pernyataan Imam Masjid Istiqlal, Nasaruddin Umar bahwa nilai tertinggi di dunia ini adalah kemanusiaan, sungguh penyesatan yang nyata. Faktanya, barat mempertahankan hidup dengan cara menjajah dan membunuh, maka nilai kemanusiaan mana yang ia maksud? Apalagi Paus faktanya hanyalah pemimpin religius (agama) di sebuah wilayah yang disebut negara.
Saatnya kaum muslim mengadakan perubahan, mencabut demokrasi, dan bersungguh-sungguh menjadikan Rasulullah saw. sebagai teladan utama sebagaimana firman Allah SWT. yang artinya, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah”. (TQS al-Ahzab: 21). Wallahualam bissawab. [SNI].
Komentar