PHK Massal Butuh Solusi Kaffah
Suara Netizen Indonesia–Data Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan, ada 7.694 buruh dalam negeri yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK) periode Januari-Februari 2024.
Pada awal tahun ini, pemecatan paling banyak terjadi di DKI Jakarta dengan jumlah 3.651 orang atau 47,45% dari total buruh ter-PHK secara nasional (katadata, 25/4/2024). Sementara itu data CNBC menunjukkan PHK tertinggi ada pada wilayah : DKI Jakarta 8.876 pekerja, Jawa Tengah 8.648 pekerja, Jawa Barat 2.650 pekerja, Banten 941 pekerja, Riau 666 pekerja (CNBC.com, 11/5/2024).
PHK massal terjadi karena banyaknya perusahaan raksasa yang tutup. Ketua Bidang Ketenagakerjaan Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Bob Azam mengungkapkan bahwa hal itu terjadi karena perlambatan ekonomi dunia, persaingan tambah ketat, kenaikan gaji, kenaikan bahan baku, dan pelemahan rupiah.
Pada kenyataannya PHK massal ini akan membuat para kepala keluarga yang notabene adalah tulang punggung nafkah tidak mampu membiayai keluarga yang menjadi tanggungannya, kemiskinan akan meningkat dan kejahatan pun makin merebak. Tidak cukup sampai disitu PHK ini akan menjadikan pendapatan negara berkurang sebab objek pajak juga berkurang. Di sisi lain daya beli masyarakat juga akan menurun.
Memang ekonomi dibawah naungan sistem kapitalisme cenderung tidak stabil, mudah resesi dan inflasi, akhirnya berujung pada PHK. Sebab sistem ini bersandar pada sektor non riil dan uang kertas. Uang kertas tidak memiliki nilai riil.
Sistem mata uang kertas yang tidak dijamin oleh komoditas berharga (fiat money) pun hanya akan terus menyebabkan inflasi dan resesi. The Fed, Bank Sentral AS, dengan mudahnya memproduksi dolar untuk menyelamatkan ekonominya. Besarnya kendali AS menyebabkan mata uang yang bergantung pada dolar, seperti rupiah tidak stabil.
Selama sistem kapitalisme tetap digunakan oleh negeri ini maka selama itu kehidupan ekonomi negeri ini tidak akan stabil. Hal ini akan berakibat terhadap perekonomian global dan nasional sebab negeri ini masih banyak bergantung pada bahan baku impor. Setiap kali nilai rupiah melemah maka harga bahan baku dan barang-barang impor juga akan naik. Pengusaha akan kena imbasnya dan PHK tidak terelakkan.
Hal ini tentu berbeda dengan sistem islam yang fokus dengan sektor riil dan mata uang yang stabil yaitu dinar dan dirham karena nilainya disandarkan pada emas. Mata uang ini telah diterapkan sejak masa Rasulullah Saw dan menjadi standar moneter untuk mengevaluasi nilai barang dan jasa. Jika dinar dirham dijadikan standar mata uang, maka akan ada standar perimbangan terhadap mata uang dollar AS yang saat ini menjadi mata uang dunia.
Hanya saja kembalinya penerapan mata uang sistem dinar dan dirham tentu butuh tegaknya kepemimpinan yang akan menerapkan syariat Islam secara kaffah termasuk dalam hal moneter dan sistem mata uangnya. Dengan mata uang yang bersandar pada emas maka harga komoditas dan bahan baku impor akan lebih stabil sehingga tidak ada pengusaha yang gulung tikar karena melemahnya mata uang.
Wajar pula tidak akan kita temukan PHK massal seperti saat ini. Allah SWT berfirman yang artinya, ” Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai apa yang telah mereka kerjakan.” (TQS.Al’Araf : 96) Wallahu alam. [SNI].
Komentar