Lisan Profesor Tanpa Sensor, Pendidikan Jadi Tersier

Suara Netizen Indonesia–Buntut dari demontrasi mahasiswa yang menuntut biaya UKT diturunkan, muncul pernyataan seorang profesor yang  sekaligus Pelaksana Tugas Sekretaris Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ristek, Prof. Tjitjik Tjahjandarie yang sangat melukai perasaan rakyat Indonesia.

 

Tjitjik mengatakan pendidikan di perguruan tinggi bersifat tersier. Menurutnya lagi pendidikan di perguruan tinggi hanya ditujukan bagi lulusan SMA, SMK, dan Madrasah Aliyah yang ingin mendalami lebih lanjut suatu ilmu.

 

“Tetapi dari sisi yang lain kita bisa melihat bahwa pendidikan ini adalah tersiery education. Jadi bukan wajib belajar,” kata Prof. Tjitjik (kompas.com, 15/5/2024). Seolah sudah mati hati, mengatakan tanpa empati, di nalar bagaimana pun pernyataannya menunjukkan betapa minimnya kepedulian negara ini terhadap kesulitan rakyat.

 

Kalau hanya lulus SMA dan sederajat apalagi yang kita bisa harapkan dari generasi mendatang?  Sedangkan lowongan pekerjaan di negeri ini selalu mensyaratkan sarjana dengan IPK di atas 3.

 

Padahal yang sarjana pun belum tentu mendapatkan pekerjaaan. Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan 9,9 juta penduduk berusia 15-25 tahun tidak mengikuti pendidikan, pekerjaan, dan pelatihan alias menganggur. Data survei diambil dalam rentang 2021-2022 (detik.com, 21/5/2024).

 

Jelas,  pernyataan sang profesor sebagai pihak departemen pendidikan bukan jawaban atas tuntutan mahasiswa, bisa jadi memang tak ada dana, negara mempersilahkan pihak ketiga mengelola pendidikan. Bandingkan dengan proyek IKN atau Kereta cepat yang begitu beraninya berutang kepada asing.

 

Pengamat pendidikan Ubaid Matraji menyatakan bahwa menempatkan pendidikan tinggi sebagai kebutuhan tersier adalah tindakan yang salah besar. Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI) ini menilai, pernyataan tersebut mampu melukai perasaan masyarakat dan menciutkan mimpi anak bangsa untuk bisa duduk di bangku kuliah (kompas.com, 17/5/2024).

 

Menurut Ubaid, jika pendidikan tinggi adalah kebutuhan tersier, harusnya negara juga bertanggung jawab terhadap pembiayaan pendidikan dasar dan menengah yang masuk program wajib belajar selama 12 tahun. Nyatanya, sejauh ini, pembiayaan pendidikan dasar hanya dilakukan dengan skema Bantuan Operasional Sekolah (BOS), bukan pembiayaan penuh. Akibatnya, masih banyak ditemukan jumlah anak tidak sekolah (ATS).

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) 2023, anak tidak sekolah masih ditemukan di tiap jenjang, SD (0,67 persen), SMP (6,93 persen), dan SMA/SMK (21,61 persen). Jika dikalkulasi, JPPI mengestimasi populasi ATS ini mencapai lebih dari 3 juta. Jumlah yang sangat besar, dan faktor  utamanya adalah soal ekonomi, berakibat tidak ada kemampuan membayar uang sekolah.

 

Artinya, sekolah di Indonesia hari ini masih berbayar, dan pendidikan bebas biaya seperti diamanahkan oleh UUD 1945 Pasal 31 dan UU Sisdiknas Pasal 34, masih sebatas retorika. Ubaid menambahkan, berdasarkan data BPS pada Maret 2023, hanya ada 10,15 persen penduduk yang sudah menamatkan pendidikan sampai jenjang perguruan tinggi.

 

JPPI menuntut pemerintah agar mengembalikan pendidikan termasuk pendidikan tinggi sebagai public good  ( menyangkut hajat hidup orang banyak) dan menolak segala komersialisasi di perguruan tinggi khususnya yang berbadan hukum ( PTN-BH).

 

Islam Solusi Generasi Cemerlang

 

Pemerintah mencanangkan Indonesia emas ditahun di tahun 2045, namun rasanya hanya akan tersisa slogan jika sekarang saja tidak fokus pada penyelenggaraan pendidikan yang benar. Meskipun menteri pendidikan Nadiem Karim mengklarifikasi kenaikan UKT adalah untuk mahasiswa baru ( Maba) dan beliau tidak melihat ada yang pernah gagal kuliah hanya karena UKT, tetap saja hal ini menunjukkan bahwa pemerintah ada bukan untuk mempermudah urusan rakyat.

 

Banyak yang bilang soal pekerjaan tak selalu butuh sarjana, sebab lulusan SMK saja ditambah dengan pengalaman dan ketrampilan sudah cukup. Pasalnya, pendidikan tidak semata untuk mendapatkan pekerjaan atau kesejahteraan. Pendidikan adalah sarana mencetak seseorang berkepribadian unggul, bertakwa dan cerdas. Tak ada cara lain selain mendapatkannya dari proses pendidikan.

 

Oleh karena itu, Islam memandang pendidikan sebagai salah satu Soko guru perasaan,harus dipersiapkan sedetik mungkin sejak usia dini. Dan dengan standar kurikulum yang baku dan shahih perjenjang. Terlebih perguruan tinggi yang jelas dari sisi keilmuan akan lebih baik dalam hal merumuskan segala sesuatu yang berhubungan dengan kemaslahatan umat.

 

Islam juga memandang bahwa negaralah pihak yang paling bertanggung jawab atas kualitas dan kuantitas pendidikan rakyat. Individu perindividu. Rasulullah saw. Bersabda, “Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR al-Bukhari).

 

Berbagai lapisan masyarakat, di kota maupun di desa, kaum menetap ataupun berpindah, kaya miskin, laki perempuan, berkulit merah, kuning, hitam atau putih, agama apapun berhak mendapatkan akses pendidikan yang gratis atau setidaknya murah.

 

Negara akan membangun sekolah, dari berbagai jenjang, berikut segala sesuatu yang berhubungan dengan pendidikan seperti guru, laboratorium,lapangan olahraga, perpustakaan, asrama hingga jalan dan akomodasi yang memudahkan para pelajar menempuh perjalananan menuju tempat belajar.

 

Tak ada beasiswa sebab negara telah menjamin pendidikan terpenuhi sebagai salah satu kebutuhan pokok selain sandang, pangan, papan, kesehatan dan keamanan. Pembiayaan tersebut didapat negara dari hasil pengelolaan SDA yang menjadi hak milik umum dan negara yang dikumpulkan di dalam Baitulmal. Tidak akan ada penarikan biaya apapun.

 

Negara juga menjamin terpenuhinya kesejahteraan rakyat, sehingga tak ada lagi tindakan curang sebagaimana yang biasa terjadi hari ini, suap menyuap, nepotisme dan lainnya yang justru merendahkan martabat bangsa dan negara. Dan inilah perbedaan output pendidikan dalam sistem kapitalisme dengan Islam.

 

Pendidikan bukan komoditas yang bisa diperjualbelikan dengan tujuan untung rugi. Dunia bisa melihat jejak sejarah bagaimana Islam ketika berjaya memimpin dunia. Karakter istimewa sistem pendidikan Khilafah dalam wujud peradaban Islam yang agung dan luhur telah disaksikan dan dirasakan umat manusia di berbagai penjuru dunia selama berabad-abad berupa perkembangan dan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang dilingkupi budaya bermartabat dan luhur.

 

Karakternya yang istimewa menjadikan peradaban Islam mengungguli peradaban mana pun. Ia akan kembali berpengaruh kuat sebagai pemimpin peradaban dengan izin Allah ‘Azza wa Jalla.  Wallahualam bissawab. [SNI].

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *