Sanggupkah Melawan Datangnya Musim Semi?
Kampanye Capres-Cawapres kian lantang dan memanas. Dari debatnya, media sosial, tim sukses, penggalangan suara masyarakat, hingga upaya-upaya kotor yang mewarnainya di tingkat daerah-daerah, seperti aliran dana luar negeri yang dilaporkan PPATK atau ditemukannya logistik surat suara yang sudah dicoblos di daerah Enrekang dan Taiwan.
Akademisi dari Center for Religious and Cross-Cultural Studies (CRCS) Universitas Gadjah Mada, Mohammad Iqbal Ahnaf, mengingatkan pemerintah dan masyarakat untuk tetap mewaspadai narasi-narasi kebangkitan khilafah yang beredar di tengah-tengah suasana kampanye tersebut (beritasatu.com, 12/01/2024).
Menurutnya, narasi-narasi tersebut berpotensi untuk mendapatkan momentum pada 2024, yang bertepatan dengan 100 tahun runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah. “Potensi ancaman dari ideologi transnasional itu akan selalu ada. Gagasan khilafah yang ditawarkan menjadi semacam panacea atau obat segala penyakit dan mampu menyembuhkan kekecewaan, ketidakadilan, dan emosi negatif lainnya, jelas (itu) menggiurkan bagi beberapa masyarakat,” kata Iqbal Ahnaf.
Iqbal berpendapat masyarakat Indonesia tidak terlalu mendukung kepemimpinan atau model pemerintahan khilafah sebab narasi kebangkitan khilafah sejauh ini masih terbatas pada ranah gagasan atau teoritis dan kelompok termarjinalkan (yang rentan) lebih membutuhkan dukungan nyata untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka.
Tajuk kebangkitan khilafah dan optimisme yang dibangun oleh para pendukung khilafah tampak semu dan inkomprehensif. Bahkan Iqbal memprediksi, pemilu 2024 kemungkinan narasi tersebut tidak akan banyak digunakan oleh para politikus untuk kepentingan elektoral mereka. Mayoritas rakyat Indonesia masih percaya pada pemerintahan dan demokrasi yang berdasarkan Pancasila.
Demokrasi di Indonesia adalah upaya yang nyata untuk mengamalkan syariah. Apalagi klaim-klaim kebangkitan khilafah tidak pernah merujuk pada satu bentuk atau model yang pasti. Apakah yang bangkit nanti akan seperti khilafah di zaman Dinasti Utsmaniyah, atau seperti apa?” kata Iqbal Ahnaf (tribunnews.com,10/1/2024).
Iqbal mengajak semua untuk fokus memastikan terjaminnya hak-hak beragama orang Indonesia dalam kerangka demokrasi yang sudah ada. Demokrasi di Indonesia, dengan konsensus para ulama, adalah suatu kesepakatan yang harus diisi dengan usaha nyata untuk mendorong kemajuan masyarakat.
Benarkah Narasi Khilafah Perlu Diwaspadai?
Sungguh ironi, dengan fakta masyarakat Indonesia mayoritas muslim malah menjadikan demokrasi sebagai ranah perjuangan sedangkan khilafah yang jelas ajaran Islam dimonsterisasikan, seolah bukan berasal dari Allah swt.
Muncullah narasi-narasi yang menyatakaan Khilafah sebagai ancaman muncul kembali menjelang 100 tahun runtuhnya Kekhalifahan Utsmaniyah, 3 Maret 1924. Narasi itu juga menyatakan adanya ancaman ideologi transnasional. Pemikiran sesat ini terus diaruskan oleh musuh Islam ke tengah umat untuk mencegah kebangkitan Islam. Kejinya, jika dahulu melalui tangan para orientalis, kini dilakukan oleh orang-orang Islam sendiri.
Jika kita berbicara idiologi transnasioanis, jelas bukan hanya Islam yang bukan asli Indonesia, demokrasi pun demikian. Sistem politik yang asasnya sekular atau pemisahan agama dari kehidupan ini justru patut kita waspadai. Sistem demokrasi menjadikan manusia sebagai pembuat hukum. Terbukti dengan berganti rezim tak pernah sekalipun mengangkat derajat kesejahteraan rakyat ke tingkat yang lebih tinggi. Bahkan negara samasekali tak mempedulikan rakyat.
Justru berbagai penderitaan dan kezaliman terjadi, ini adalah bukti ketika manusia meninggalkan hukum Allah sebagaimana Allah SWT berfirman yang artinya,”Dan barang siapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sungguh, dia akan menjalani kehidupan yang sempit, dan Kami akan mengumpulkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” ( TQS at-Thaha:124).
Muslim Wajib Terikat dengan Hukum Syara
Seorang muslim wajib terikat dengan hukum syara. Sebab kaedah syara, hukum asal perbuatan manusia adalah terikat dengan hukum Allah kaedah ini dijelaskan oleh Imam Taqiyuddin Al-Nabhani dalam kitabnya yang berjudul “al-Syakhsiyah al- Islamiyyah” juz III halaman 19. Khilafah hukumnya jelas yaitu wajib khifayah.
Hal ini dapat dipelajari dari tafsir surah al-Baqarah:30, surah an-Nur:55 dan sudah an-Nisa: 59 dan ayat-ayat yang berkaitan dengan sanksi (uqubat) seperti rajam, qishas, cambuk, potong tangan dan lainnya. Juga ayat-ayat tentang ekonomi dan kewajiban kifayah lainnya. Jika belum tegak maka menjadi wajib ain ( perorangan) untuk memperjuangkannya. Tidaklah sebuah kewajiban sempurna kecuali jika telah selesai dikerjakan.
Khilafah Bukan Ancaman
Khilafah tidak boleh dianggap sebagai ancaman, karena hari ini justru nampak kerusakan nyata di berbagai bidang dengan penerapan kapitalisme sekulerisme. Khilafah wajib adanya dan dalil-dalilnya sudah cukup jelas. Demikian pula dalil sunah, Rasulullah saw. bersabda,” Dahulu Bani Isra’il dipimpin oleh para nabi. Setiap kali seorang nabi meninggal, ia akan digantikan oleh nabi (lain). Namun sungguh tidak ada nabi lagi sesudahku, dan sepeninggalku akan ada para khalifah lalu jumlah mereka akan banyak”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Maka, seorang khilafah tidak mungkin ada tanpa sistem kekhilafahan. Hingga sepeninggal Rasulullah saw. para sahabat menunda pemakaman beliau karena sesegera mungkin mendiskusikan siapa pemimpin selanjutnya, kaum Muslim tak boleh kosong dari kepemimpinan. Batasnya hanya tiga hari dan ini menjadi ijmak sahabat.
Saat ini menegakkan khilafah menjadi mahkota kewajiban bagi kaum muslimin dan jelas bukan gagasan teoritis semata juga bukan panacea, obat segala penyakit. Ini adalah kewajiban syariat yang telah dilakukan oleh Rasulullah, para Khalifah sesudahnya dan berakhir di kekhilafahan Turki Ustmani, akibat pengkhianatan dan konspirasinya yang licik, Kemal Attaturk, seorang antek Inggris.
Khilafah akan memberikan kesejahteraan hakiki sekaligus Rahmat, sebagaimana firman Allah swt. Yang artinya, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, pasti Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan bumi, tetapi ternyata mereka mendustakan (ayat-ayat Kami), maka Kami siksa mereka sesuai dengan apa yang telah mereka kerjakan”. (TQS al-Araf:96).
Maka sungguh aneh jika ada seorang muslim yang menolak khilafah, bahkan membuat narasi yang menyesatkan, disaat yang sama membela mati-matian demokrasi, kapitalisme dan semua sistem buatan manusia. Sama sekali tak pernah dicontohkan oleh Rasulullah. Lebih parahnya, bertentangan dengan akidah Islam.
Saat ini khilafah memang belum ada, namun umat harus memperjuangkannya untuk mewujudkannya dengan berjuang bersama partai ideologis yang ingin melangsungkan kembali kehidupan Islam melalui tegaknya Khilafah. Penentangan akan terus ada, khilafah adalah janji Allah, maka sanggupnya pembenci Islam dan syariatnya melawan datangnya musim semi? Wallahualam bissawab.
Komentar