PHK dan Sistem Ekonomi Kapitalisme
Gelombang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) semakin membesar. Di tengah kondisi ekonomi sulit, rakyat semakin terbelit dengan pengangguran. Setelah dihantam pendemi, kondisi sulit tetap berlanjut hingga saat ini. Diberitakan oleh CNBC Indonesia bahwa gelombang PHK masih berlanjut di tahun 2023. Satu per satu pabrik tekstil dan produk tekstil (TPT) serta industri padat karya lainnya melakukan pemangkasan pekerja, merumahkan karyawan, bahkan ada yang tutup permanen. (CNBC Indonesia, 28/12/2023)
Kebijakan dibukanya kran import juga menjadi salah satu penyebab perusahaan tak mampu menahan derasnya produk asing yang masuk ke pasar dalam negeri. Masyarakat pun memburu barang-barang yang lebih murah dan berkualitas daripada barang buatan dalam negeri karena memang tak ada proteksi dari negara. Tentu saja hal ini berpengaruh pada jumlah produksi barang dan pengurangan tenaga kerja.
Semua permasalahan PHK yang terjadi saat ini adalah dampak dari penerapan sistem ekonomi kapitalisme yang sarat dengan liberalisme. Aturan main yang diberlakukan pasti memihak pada pemilik modal sehingga yang kaya bertambah kaya, si miskin semakin dimiskinkan.
Perusahaan raksasa lebih mudah mengakses bahan baku sehingga bisa mencaplok usaha-usaha kecil. Perusahaan asing dibiarkan masuk, barang-barang import semakin mudah menguasai pasar, sementara usaha rakyat kecil dan perusahaan dalam negeri dibiarkan bersaing di arena pasar bebas.
Maka ketika perusahaan terpaksa gulung tikar, jangankan memikirkan nasib para pekerja. Mereka kadang harus menelan banyak kerugian, sehingga pengurangan karyawan dianggap sebagai sesuatu hal yang sudah semestinya dan tidak harus memberikan kompensasi apapun.
Dalam sistem kapitalisme, pekerja dianggap sebagai salah satu alat produksi yang bisa dimanfaatkan atau pun tidak, tergantung mampu menghasilkan keuntungan atau bahkan merugikan.
Lalu bagaimana dengan peran negara? Dalam sistem kapitalisme, fungsi negara tak lain hanya sebagai regulator. Apapun peraturan yang ditetapkan pasti akan memihak pada pemilik modal. Banyaknya pengangguran dan kemiskinan akibat PHK tidak akan membuat pemimpin negeri ini mengulurkan bantuan pada rakyat. Padahal semestinya negara adalah pelindung rakyat, termasuk penjamin lapangan pekerjaan yang memadai. Namun fakta yang ada miris sekali, rakyat justru sengsara karena ulah dari pemimpinnya sendiri yang melegalkan regulasi prokapitalis.
Misalnya pengesahan Omnibus Law Rancangan Undang Undang (RUU) Cipta Kerja menjadi UU pada tahun 2020 yang sangat merugikan pihak pekerja. Yakni ada pemangkasan nilai pesangon dari 32 bulan upah menjadi 25 bulan, dengan ketentuan 19 bulan dibayar pengusaha dan enam bulan dibayar BPJS Ketenagakerjaan. Meskipun rakyat menjerit meminta agar RUU dibatalkan, namun nyatanya pengesahan UU begitu mulus berjalan. Tidak ada klarifikasi dari Pemerintah untuk menjawabnya.
Dalam Islam, pemimpin diibaratkan sebagai penggembala bagi rakyatnya. Sehingga kesejahteraan rakyat adalah harga mati. Di bawah penerapan sistem ekonomi Islam akan diatasi masalah pengangguran, kemiskinan hingga perampasan sumber daya alam oleh asing. Wallahu’alam bish-shawab.
Komentar