Judi Online Pada Anak, Ada Apa Dengan Pendidikan Generasi?

Media Sosial Penyubur Judi Online

 

Sejumlah anak usia sekolah dasar didiagnosis kecanduan judi online dari konten live streaming para streamer gim yang secara terang-terangan mempromosikan situs judi slot.

 

Menurut dokter spesialis yang menangani anak-anak tersebut, bocah-bocah itu disebut lebih boros, uring-uringan, tidak bisa tidur dan makan, menyendiri, dan performa belajar terganggu,  indikasi yang mengarah pada kecanduan gim online.

 

Alih-alih untuk membeli fitur gim, uang saku pemberian orang tua mereka gunakan untuk berjudi. Jika uang mereka habis karena kalah judi, perilaku mereka menjadi tak terkendali.

 

Pengamat keamanan siber dari Communication and Information System Security Research Center (CISSReC), Pratama Persadha, mengatakan pemerintah mesti menyeriusi persoalan ini karena target judi online bukan lagi orang dewasa, tapi generasi muda. Jika dibiarkan, Pratama meyakini masa depan mereka bakal hancur (BBC.com, 27/11/2023).

 

Upaya Pemerintah

 

Wakil Menteri Komunikasi dan Informatika (Kominfo), Nezar Patria, mengakui perang terhadap judi online sangat berat sehingga mempertimbangkan membentuk satuan tugas yang terdiri dari kepolisian, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) serta Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK).

 

Laporan terbaru PPATK menemukan 2,7 juta orang Indonesia terlibat judi online – sebanyak 2,1 juta di antaranya adalah ibu rumah tangga dan pelajar – dengan penghasilan di bawah Rp100.000. Adapun, transaksi judi online sejak 2017 sampai 2023 mencapai lebih dari Rp200 triliun, menurut data PPATK.

 

Menurut Budi Arie selaku Menteri Komunikasi dan Informatika Republik Indonesia (Menkominfo RI) mengatakan, saat ini Indonesia sedang darurat judi online. Sudah banyak anak-anak dan remaja yang menjadi korban judi online. Dikutip dari laman Kemendikbudristek, Selasa (28/11/2023), bermain judi online memiliki dampak negatif pada anak-anak (okezone.com, 28/11/2023).

 

Dampak Kesehatan

 

Komisioner KPAI Sub Klaster: Anak Korban Cybercrime, Kawiyan mengatakan dampak judi online pada anak di bawah umur sangat mengerikan, selain kegiatan fisik mereka berkurang karena tersita judi, anak-anak juga lebih boros dan tidak bisa hemat. Uang yang mereka dapat dari orangtua banyak dipakai untuk judi online, padahal hasilnya spekulatif alias bisa menang dan bisa kalah.

 

Yang lebih berbahaya lagi anak-anak yang terlibat judi online berpotensi menyalahgunakan uang orang tua, bahkan tidak tertutup kemungkinan ia akan berusaha mendapatkan uang dari manapun, termasuk dengan cara-cara yang tidak dibenarkan oleh hukum.  Lebih jauh lagi, anak-anak yang terjerat judi online bisa mengalami masalah psikologis seperti cemas, stres dan depresi. Jika ini terjadi, pendidikan mereka di sekolah bisa berantakan (cnbcindonesia.com, 27/9/2023).

 

Dokter spesialis anak, Kurniawan Satria Denta, tak pernah menyangka bakal menangani anak kecanduan judi online. Selama berpraktik, kasus yang ditangani kebanyakan kecanduan gim atau kesulitan belajar. Tapi, kira-kira setahun terakhir gejalanya berubah. Lebih boros, uring-uringan, tidak bisa tidur dan makan, menyendiri, serta performa belajar terganggu adalah keluhan yang disampaikan para orangtua yang mengantar anak mereka untuk periksa.

 

Bahkan anak-anak ini sudah pandai mencari cara agar bisa terus bermain gim, yaitu dengan mempertaruhkan uang saku, yang jika menang akan mendapat tambahan modal untuk melanjutkan judi online.

 

Akar Persoalan

 

Anak terjerat judi online adalah masalah besar. Ada banyak faktor terkait, di antaranya pendidikan keluarga maupun masyarakat dan negara. Pendidikan hari ini dengan kurikulum merdeka sangat-sangat jauh dari basis akidah Islam. Padahal, akidah Islam yang terbentuk kuat sejak dinilah yang kelak menjadi tameng seseorang untuk tidak mudah terpedaya.

 

Kebebasan yang diartikan merdeka, mengarahkan anak untuk kreatif memanfaatkan media sosial tapi minim bimbingan. Segala pengetahuan sangat mudah diakses, maka wajar jika akrabnya anak dengan media sosial merambah kepada sesuatu yang terlarang. Di sinilah peran edukasi yang menanamkan ketakwaan dan bahwa setiap perbuatan akan dipertanggungjawabkan di hadapan Allah.

 

Faktanya justru di dalam pendidikan kita segala sesuatu yang berbau Islam, berusaha diminimalkan porsinya. Akibatnya, anak menjadi generasi yang rentan, karena tak memiliki visi misi yang benar tentang kehidupan. Islam hanya diambil substansinya, jelas sangat kurang, karena akhirnya menjadikan Islam hanya dipelajari sama seperti mata pelajaran Biologi, Bahasa Indonesia dan lainnya, dimana semestinya Islam adalah pandangan hidup sekaligus pedoman.

 

Masyarakatnya pun demikian, pemisahan agama dari kehidupan tak hanya lekat di dunia pendidikan, budaya amar makruf nahi mungkar perlahan memudar, dengan berbagai alasan menolak fakta salah, dan berusaha mengamankan kepentingan sendiri. Sehingga ketika satu kesalahan dimaafkan akan terus berkembang hingga seolah benar.

 

Seharusnya, persoalan dalam keluarga dan masyarakat bisa mereda jika saja negara bisa sebenarnya menjadi support sistem. Sebab negaralah yang memiliki wewenang kekuasaan, dan dengan kekuasaan itulah diatur seluruh urusan masyarakat. Sebagaimana sabda Rasulullah saw.,”Imam adalah pemimpin yang pasti akan diminta pertanggung jawaban atas rakyatnya” (HR. Al-Bukhari).

 

Maka, akar persoalannya adalah sekulerisme, yang memisahkan agama dari kehidupan, yang berlaku adalah aturan manusia. Jadilah apa yang disebut hukum tergantung siapa yang mengatur. Dan kita tahu jawabnya, yaitu mereka yang memiliki “kuasa” berupa modal (kapital). Dan ada banyak ranah yang bisa dipengaruhi dengan adanya modal. Judi online adalah bisnis menggiurkan, terutama seluruh transaksi juga online, seperti dompet elektronik, QRIS dan lain sebagainya.

 

Butuh Negara yang Berkomitmen Kuat

 

Judi online kian marak, dan merambah pelakunya pada anak-anak jelas akibat komitmen negara untuk menyelesaikan tidak kuat. Melemah jika sudah berhadapan dengan manfaat, adanya tambahan pajak dari setiap transaksi online yang terkait. Padahal, jika saja serius, negeri ini memiliki banyak pakar digital dan teknologi canggih yang bisa menemukan teknik penghapusan dan penjagaan dari kejahatan digital.

 

Hal itu tak akan ditemui ketika Islam yang diterapkan sebagai aturan. Islam menjaga generasi dengan baik,   sistem aturannya  sempurna dan komprehensif melalui penerapan Islam kaffah. Dan kita sebagai kaum muslim sebenarnya tak ada pilihan kecuali untuk taat, sebagaimana firman Allah swt. Yang artinya,” Dan tidaklah pantas bagi laki-laki yang mukmin dan perempuan yang mukmin, apabila Allah dan Rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada pilihan (yang lain) bagi mereka tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan Rasul-Nya, maka sungguh, dia telah tersesat, dengan kesesatan yang nyata.” (TQS al-Ahzab:36). Wallahualam bissawab.

 

 

 

Artikel Lainnya

Marak Perundungan Anak, Dimana Letak Masalah Utamanya ?

Kasus perundungan tidak akan menuai penyelesaian dengan seruan revolusi mental, pendidikan berkarakter ataupun kampanye anti bullying. Sesungguhnya akar utama masalah perundungan adalah sistem kehidupan sekuler liberal yang rusak dan merusak. Sebaliknya, permasalahan generasi saat ini akan menuai penyelesaian dengan mengembalikan peradaban Islam yang komprehensif dalam lingkup keluarga, masyarakat dan negara melalui institusi Khilafah. 

RUU Kesehatan dan Ancaman Liberalisasi Kesehatan

RUU kesehatan saat ini sedang pada tahap pembahasan antara DPR RI dengan pemerintah. Meskipun Kementerian Kesehatan mengusulkan tambahan pasar yang berkaitan dengan perlindungan hukum untuk dokter, perawat, bidan dan tenaga kesehatan lainnya, akan tetapi dalam rancangan undang-undang kesehatan masih ada persoalan serius di dalamnya. Melalui RUU ini pemerintah akan mempermudah dokter asing maupun dokter diaspora untuk beroperasi di dalam negeri.

Katadata.co.id. Aturan ini tertuang dalam draft revisi undang-undang Nomor 36 tahun 2009 tentang kesehatan. Draft tersebut mengatur mengenai tenaga medis dan tenaga kesehatan asing yang dapat beroperasi dalam negeri dengan syarat yang diatur pada pasal 233 dan pasal 234.

Namun hal tersebut tidak menjadi pilihan, hal ini wajar terjadi sebab kesehatan dalam perspektif negara yang menerapkan sistem kapitalis sekuler adalah jasa yang harus dikomersialkan. Negara akan berhitung untung rugi ketika membuat kebijakan untuk menjamin berlangsungan komersialisasi.

Berbeda dengan sistem peraturan dalam Islam, kehadiran penguasa atau khalifah itu sebagai pelaksana syariah secara Kaffah yaitu untuk menjamin pelayanan kesehatan terbaik bagi seluruh warga negaranya baik muslim ataupun non muslim, kaya ataupun miskin. Sebab dalam pandangan Islam kesehatan adalah kebutuhan pokok publik yang menjadi tanggung jawab negara bukan jasa untuk dikomersialkan.

Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam bersabda yang artinya “Siapa saja yang ketika memasuki pagi hari mendapati keadaan aman kelompoknya, sehat badannya, memiliki bahan makanan untuk hari itu, maka seolah-olah dunia telah menjadi miliknya.” (Hadits Riwayat Bukhari). Sehingga apapun alasannya tidak dibenarkan dalam negara Khilafah ada program yang bertujuan mengkomersialisasi Pelayanan Kesehatan, baik dalam bentuk investasi atau menarik bayaran kepada rakyat untuk mendapatkan untung sebagai pelayan rakyat.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *