Konflik Rempang: Ironi Kedaulatan Rakyat

Konflik Rempang yang saat ini terjadi cukup menyita banyak perhatian. Pasalnya sejumlah warga melintas di perkampungan nelayan Sembulang, Pulau Rempang, Batam, Kepulauan Riau, pada Rabu (27/9/2023). Sebanyak empat kampung dari 16 kampung tua bakal terdampak relokasi. Penolakan yang dilakukan warga terkait proyek Rempang Eco-City yang mengharuskan 2.700 kepala keluarga direlokasi.

Namun, rencana relokasi penduduk Pulau Rempang yang dijadwalkan dilaksanakan pada 28 September 2023 itu batal dilaksanakan. Karena sesuai arahan Presiden Jokowi yang ingin permasalahan Rempang diselesaikan secara humanis, dimana sekitar 200 personil satuan Brimob Polda Riau juga telah dipulangkan (republika.id. 27/09/2023). Walaupun demikian, masyarakat Rempang masih tetap diliputi kecemasan karena pemerintah maupun Badan Penguasaan (BP) Batam hanya memperpanjang tenggat waktu pendaftaran relokasinya saja, bukan membatalkan relokasi masyarakat dari kampung-kampung tua. Proyek Strategis Nasional Rempang Eco-City akan tetap berlangsung, tegas Menteri Investasi Bahlil Lohadani (BBC, 28/09/2023).

Target investasi proyek tersebut mencapai 381 triliun pada 2080 mendatang. Untuk terealisasinya proyek ini, PT MEG yang sebagai rekanan Badan Penguasaan (BP) Batam dan Pemerintah Kota Batam diberi lahan sekitar 17 ribu hektare yang mencakup seluruh Pulau Rempang dan Pulau Subang Mas. Proyek Rempang Eco-City ini merupakan satu proyek yang terdaftar dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) 2023 yang pembangunannya diatur dalam Permen Koordinator Bidang Perekonomian Nomor 7 Tahun 2023 yang ditandatangani pada 28 Agustus 2023.

Kasus Rempang hanyalah salah satu dari ribuan kasus agraria yang terjadi di Indonesia ini. Bahkan, berdasarkan pengungkapan dari Konsorsium Perbaruan Agraria (KPA), dalam kurun waktu 2015-2023 ada 2.710 konflik agraria. Di antara ribuan konflik agraria tersebut, 73 konflik terjadi akibat Proyek Strategis Nasional (PSN), termasuk di antaranya kasus Rempang. Tercatat dalam 8 tahun terakhir, setidaknya 5,8 hektare tanah terdampak kasus konflik agraria dan lebih dari 1.615 rakyat yang ditangkap dan dikriminalisasi karena mempertahankan hak atas tanahnya (CNN Indonesia, 24/09/2023).

Sungguh ironis, karena mengatasnamakan pembangunan dan pertumbuhan ekonomi, rakyat dipaksa menyerahkan tempat tinggalnya maupun lahan pertanian untuk negara ataupun perusahaan. Bahkan, dalam hal ganti rugipun yang didapatkan oleh rakyat baik dari pemerintah maupun perusahaan, tidak sebanding dengan harga seharusnya. Selain itu, tidak adanya jaminan hidup seperti pekerjaan setelah mereka terpaksa kehilangan lahan dan tanah yang menyebabkan sebagian mereka akhirnya mengadu nasib menjadi tenaga kerja tak resmi ke kota lain, bahkan keluar negeri. Ini semua membuktikan negara abai terhadap penderitaan rakyat. Terbukti juga dari banyaknya kasus agraria yang berujung di pengadilan, investor adalah pihak yang lebih sering dimenangkan, dibandingkan rakyat yang selalu berada di pihak yang kalah.

Akar permasalahan dari konflik agraria yang masif terjadi ini akibat penerapan sistem kapitalisme, yang membiarkan kepemilikan secara bebas. Tanah sangat mudah diklaim oleh pihak lain hanya dengan pembuktian sertifikat. Dari sekian banyak kasus agraria yang terjadi, rata-rata ada dua belah pihak yang mempunyai bukti kepemilikan yang sama dan sah. Ketika kasusnya telah sampai di peradilan, pihak yang lebih kuat dan berkuasa yang dimenangkan. Rakyat sering kali menjadi bulan-bulanan kebijakan penguasa yang lebih berpihak pada kaum kapitalis. Banyaknya kasus perampasan hak rakyat dalam sistem kapitalisme saat ini membuktikan bahwa kedaulatan di tangan rakyat hanyalah jargon imajiner, karena yang berkuasa nyatanya adalah kaum kapitalis.

Hal ini sangat jauh berbeda dengan Islam yang menetapkan kedaulatan berada di tangan syara’ bukan manusia. Islam lahir sebagai ideologi yang bersumber hukum pada aturan Allah, bukan berdasar pada hukum buatan manusia yang bisa jadi atas dorongan hawa nafsunya semata. Aturan Islam mengatur segala aspek kehidupan manusia, termasuk dalam hal kepemilikan tanah.

Islam menempatkan negara sebagai pemimpin (Ro’in) yang harus mengurus semua keperluan umat, bukan hanya sebagai regulator saja. Sebagai pemilik kekuasaan, negara wajib menjaga hak-hak rakyat. Islam mempunyai aturan dalam sistem kepemilikan. Dalam Islam, kepemilikan tanah harus satu paket dengan pengelolaan, sehingga bukti surat legalitas seperti surat tanah hanya bersifat sebagai pendukung saja. Contohnya, jika ada usaha pertanian, peternakan, ataupun perkebunan, maka akan dibangun di atas tanah tersebut semua fasilitas yang sesuai dengan kemanfaatannya. Jika ada seseorang yang memiliki lahan yang tidak dimanfaatkan atau dianggurkan selama lebih dari 3 tahun, maka negara akan mengambil alih kepemilikannya dan diberikan kepada orang yang sanggup mengelolanya. Dengan metode ini, tanah akan mudah diakses oleh banyak pihak dan siapa pun bisa dengan mudah memiliki asal mereka mampu mengelolanya.

Islam juga memperbolehkan negara mengambil tanah rakyat untuk kepentingan umum dengan keridaan pemilik tanah. Sebagai gantinya, negara akan memberi ganti untung yang tidak akan membuat rakyat merugi atau kesusahan. Jika menggunakan mekanisme seperti ini, maka kemungkinan kepemilikan tanah terhindar dari monopoli pihak tertentu. Karena dalam Islam, SDA yang mencakup hajat hidup orang banyak termasuk di dalamnya tanah, air, api, hanya boleh dikelola oleh negara dan dimanfaatkan untuk kemaslahatan umat. Dengan demikian, hak-hak rakyat akan tetap terlindungi dan kesejahteraannyapun terjamin.

Begitulah gambaran jika negara diatur dengan sistem Islam. Sebaliknya, selama sistem Islam belum diterapkan, maka kasus-kasus yang serupa dengan Rempang akan masif terjadi. Karena jika kedaulatan tak lagi di tangan syara’ maka hasil dari segala keputusannya akan menyebabkan sengsara.

Artikel Lainnya

Quo Vadis Generasi Muda?

Salah satu grup K-pop asal Korea Blackpink, baru saja menggelar konser di stadion utama Gelora Bung Karno (GBK) di Jakarta pada akhir pekan lalu, tepatnya tanggal 11 hingga 12 Maret 2023. Meskipun harga tiket konsernya mahal, tapi laris manis. Apakah ini menunjukan generasi muda yang hedon? dan bagaimana sikap penguasa terhadapnya?

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *