Karhutla Lara Merana
Kebakaran hutan dan lahan (Karhutla) kembali menyala. Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan telah menggugat 22 perusahaan penyebab kebakaran hutan dan lahan di Indonesia terhitung sejak tahun 2015 sampai 2023. (Antara, 14-8-2023)
Padahal KLHK telah jauh-jauh hari terus melakukan pemantauan titik panas atau hotspot sejak Januari sampai Agustus 2023, sebagai antisipasi terjadinya karhutla di Indonesia. KLHK juga telah mengirimkan 99 surat peringatan kepada perusahaan yang terindikasi ada titik panas dengan tingkat kepercayaan di atas 79 persen.
Sementara itu, Direktur Pengaduan Pengawasan dan Sanksi Administrasi LHK, Ardyanto Nugroho berkomitmen untuk menegakkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha dan/atau kegiatan yang melakukan pelanggaran berdasarkan pengawasan yang telah dilakukan oleh Pengawas Lingkungan Hidup (PPLH) di Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan.
Untuk menghentikan meluasnya (Karhutla), Tim Gakkum KLHK terus memonitor secara intensif lokasi-lokasi yang terindikasi adanya titik api melalui data hotspot. Melalui tim pengawas dan polhut Balai Gakkum KLHK Wilayah Kalimantan telah dilakukan penyegelan 4 (empat) lokasi karhutla di Kalimantan Barat yaitu lokasi karhutla di PT. MTI Unit 1 Jelai (1.151 Ha), PT. CG (267 Ha), PT. SUM (168,2 Ha), dan PT. FWL (121,24 Ha).
Darurat Bencana Asap
Provinsi Kalimantan Barat telah menetapkan Status Siaga Darurat Bencana Asap melalui Keputusan Gubernur Kalimantan Barat No. 355/BPBD/2023 tentang Status Siaga Darurat Penanganan Bencana Asap Akibat Karhutla di Kalimantan Barat Tahun 2023. Berbagai upaya penanggulangan telah diupayakan oleh satgas darat yang terdiri dari Brigade Dalkarhutla KLHK-Manggala Agni, TNI, POLRI, Masyarakat Peduli Api (MPA), BPBD, KPH, dan damkar swasta. Sedangkan pemadaman lewat udara dilakukan water bombing.
Sementara itu pembelajaran online diberlakukan kembali bagi siswa TK/PAUD, SD dan SMP, sebab kualitas udara yang semakin memburuk. Bahkan satwa liar jenis orangutan pun mulai ke luar dari habitatnya yang telah dilalap api, dan mengganggu warga di Desa Sungai Pelang, Kabupaten Ketapang, Kalimantan Barat.
Sanksi yang Tidak Membuat Jera
“Sebanyak 22 korporasi tergugat perdata, baik terkait dengan ganti rugi atas kerusakan lingkungan yang ditimbulkan maupun tindakan-tindakan tertentu, khususnya pemulihan lahan,” kata Direktur Jenderal Penegakan Hukum Lingkungan Hidup dan Kehutanan KLHK, Rasio Ridho Sani dalam konferensi pers di Jakarta, Jumat. (Antara, 18-8-2023)
Dari 22 perusahaan yang digugat itu, sebanyak 14 perusahaan telah berkekuatan hukum tetap atau inkracht van gewijsde dengan total nilai putusan sebesar Rp5,60 triliun yang terdiri atas tujuh perusahaan proses eksekusi sebesar Rp3,05 triliun dan tujuh perusahaan persiapan eksekusi sebesar Rp2,55 triliun. Namun angka tersebut tidak sebanding dengan kerusakan yang ditimbulkan.
Memang terjadi kerusakan yang hebat pada Karhutla. Tidak hanya membahayakan lahan, perumahan warga, serta kehidupan satwa, juga menimbulkan kabut asap sehingga sempat mengganggu mobilitas barang dan masyarakat, dan mengancaman kesehatan rakyat, hingga lintas negara. Hal ini merupakan akibat dari kebijakan konsesi hutan untuk perusahaan, dan abainya perusahaan negara terhadap penjagaan hutan dengan fungsinya, sebagai paru-paru dunia.
Sanksi administratif pun tampaknya tidak memberikan efek jera. Atas nama konsesi, hutan dikapitalisasi. Eksploitasi hutan dimulai sejak terbitnya UU 5/1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Kehutanan. Sejak UU ini berlaku, para kapital berkuasa menjadi penentu dalam izin pengelolaan hutan. Sejak itu pula kapitalisasi dan ekploitasi hutan terjadi. Meski pemerintah berdalih bahwa UU tersebut diperuntukkan agar sumber daya hutan menyokong perekonomian.
Hanya saja setelah berjalan puluhan tahun, UU ini justru melempangkan jalan bagi para kapital menghabisi hutan secara besar-besaran, melalui pemberian konsesi hak pengusahaan hutan, hak pemungutan hasil hutan, hingga konsesi hutan tanaman industri. Akibatnya muncul dampak sosial dan ekologis yang sulit diatasi. Hal ini wajar terjadi pada kapitalisme. Sifat mabda ini hanya ingin memupuk materi, tanpa peduli hajat hidup orang banyak ataupun keberadaan makhluk Allah SWT lainnya.
Penegakan hukum pun tampaknya tidak bertaji. Meski perusahaan tertentu dinyatakan bersalah, mereka akan menjadikan masyarakat setempat sebagai tertuduh pelaku pembakaran hutan. Padahal diduga kuat penyebab karhutla, adalah akibat ketidakkonsistenan perusahaan dalam membuka lahan. Beberapa perusahaan nakal menempuh cara cepat dan murah, dengan membakar lahan. Curah hujan yang minim, serta angin, menjadi faktor pendukung meluasnya api.
Faktor lain adalah, masih banyaknya perusahaan yang tidak melakukan penanaman kembali pohon-pohon yang telah ditebang. Hal ini jelas merusak alam. Paru-paru hijau yang digadang-gadang menjadi milik bangsa ini, lambat laun akan terkikis habis. Akibatnya muncul kerusakan permanen, yang akan berakibat fatal jika tidak segera dilakukan antisipasi penanggulangannya.
Islam Menjaga Hutan
Berbeda dengan sekularisme dan kapitalisme. Dalam Islam, hutan adalah salah satu harta kepemilikan umum. Islam memiliki aturan dalam pengelolaan harta milik umum oleh negara yang pemanfaatannya tidak boleh membahayakan kehidupan dan lingkungan. Jaminan keselamatan ini akan tampak pada kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan oleh negara, sebagai pengatur urusan rakyat.
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga perkara yaitu padang rumput, air, dan api” (HR Abu Dawud dan Ahmad)
Maka tidak boleh individu maupun korporasi menguasainya. Dalam Islam tidak boleh terjadi swastanisasi. Kekayaan umum atau milkiyah amah adalah milik rakyat. Negara berkewajiban mengelola harta milik umum, seperti air, tambang, dan lain sebagainya termasuk hutan, dan hasilnya dikembalikan untuk memenuhi kebutuhan rakyat.
Pengelolaan hutan oleh perusahaan tertentu, menggunakan akad ijarah (upah mengupah). Hasil hutan dapat dikembangkan untuk kemajuan teknologi dan ilmu pengetahuan. Tata cara membuka lahan hutan berada dalam pengawasan negara. Tidak boleh dengan membakar hutan atau mengganggu satwa beserta makhluk hidup lainnya.
Sanksi tegas akan ditegakkan pada pelanggar aturan. Pelaku pembakaran hutan termasuk dalam kategori jarimah ta’zir, yakni ketentuannya diserahkan kepada penguasa atau khalifah untuk memutuskan hukuman yang sesuai dengan kadar kerusakan yang terjadi. Dengan Islam, keadilan dapat ditegakkan. Tidak akan ada korporasi yang berkelit dan bebas dari hukum, termasuk oknum atau aparat nakal.
Penerapan ekonomi Islam, menjadi landasan tercipta kesejahteraan. Negara menjamin kesejahteraan dengan pemenuhan kebutuhan pangan, sandang dan papan. Sehingga masyarakat tidak tertarik berbuat curang dengan merusak hutan. Edukasi pun dilakukan oleh negara agar setiap rakyat memiliki kesadaran untuk menjaga alam.
Komentar