Menyoal Wacana Kenaikan Iuran BPJS Kesehatan
“Naik-naik ke puncak gunung, tinggi-tinggi sekali…”(Naik Ke Puncak Gunung-Kak Nunuk)
Banyak yang naik namun tidak pernah turun di negeri ini. Lirik lagu di atas, salah satunya. Ada lagi yang lain, iuran BPJS Kesehatan? Ya, belakangan hal ini cukup meresahkan. Pasalnya, pasca menggelontorkan perubahan tarif standar layanan kesehatan lewat Peraturan Menteri Kesehatan No. 3 Tahun 2023, Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) memperkirakan iuran BPJS Kesehatan berpotensi naik pada Juli 2025. Mengapa harus naik?
Kabarnya iuran dinaikkan untuk mengatasi ancaman defisit anggaran yang diperkirakan muncul pada Agustus-September 2025. Sebagai gambaran, kini BPJS surplus sebesar 56,50 triliun hingga 31 Desember 2023. Dengan diberlakukannya tarif tunggal iuran BPJS sebagai akibat penghapusan tarif kelas 1, 2, dan 3, maka surplus sebesar itu bakal berbalik minus (cnbcindonesia.com, 20/7/2023).
Duh, kenaikan iuran BPJS Kesehatan kali ini meski baru sebatas rencana tetap saja membuat publik kebingungan. Masih lekat dalam ingatan, hal yang sama pernah terjadi saat MA sebagai pengadil judicial review memutuskan mengabulkan sebagian uji materi terhadap Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 75 Tahun 2019 tentang Jaminan Kesehatan. Saat itu, pemerintah berencana menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebesar 100 persen.
Tiga tahun berlalu, isunya masih sama. Kali ini standar besarnya iuran dibuat sama, kelas 1, 2 dan 3 dihapus dengan dalih untuk mewujudkan keadilan. Poin kritisnya, jika tarif tunggal dianggap mewujudkan keadilan lalu bagaimana dengan yang tidak mampu, yang bahkan untuk makan minum sehari-hari tidak sanggup mereka penuhi? Amboi, betapa kebijakan yang ambigu makin lazim dari hari ke hari. Ibarat pepatah dalam bahasa Jawa, isuk dele sore tempe. Pagi masih kedelai sore langsung berganti tempe.
Tetapi maklum kita, demikianlah tabiat hukum buatan manusia. Sarat dengan berbagai kepentingan dan hawa nafsu. Wajar jika seakan berubah-ubah mengikuti arah angin. Tepatnya angin yang membawa manfaat atau keuntungan. Seluruhnya merupakan cermin dari penerapan kapitalisme yang bercokol di negeri ini. Sudah jadi tabiat dari ideologi yang berasaskan sekularisme ini untuk menonjolkan materi demi kepentingan pemilik kapital alias oligarki (Wikipedia).
“No free lunch” merupakan slogannya yang masyhur. Artinya, segala sesuatu tak didapatkan cuma-cuma. Hal ini tampak pada relasi penguasa dan rakyat, tidak lagi sebagai pelayan dan yang dilayani namun sudah seperti penjual dengan pembeli dengan dihapuskannya subsidi dan kenaikan sebagian pajak.
Sekali lagi, adanya komersialisasi kesehatan ditandai iuran BPJS yang harus dibayar beserta denda bila menunggak adalah bukti nyata buruknya penerapan kapitalisme yang melepaskan keterlibatan negara mengurus rakyatnya. Tak peduli meski beban rakyat semakin berat pasca pandemi, ketika semua kebutuhan pokok termasuk pendidikan dan kesehatan harus dipenuhi sendiri.
Lain cerita bila sistem kehidupan merujuk pada Islam, dien sempurna yang diturunkan Allah Swt. kepada Baginda Nabi Muhammad saw.
Mari simak, Islam menetapkan kesehatan termasuk kebutuhan-kebutuhan dasar bagi rakyat yang mutlak harus dipenuhi. Berdasarkan sabda Rasulullah saw:
“Siapa saja yang saat memasuki pagi merasakan aman pada kelompoknya, sehat badannya dan tersedia bahan makanan di hari itu, dia seolah-olah telah memiliki dunia semuanya.” (HR al-Bukhari, at-Tirmidzi dan Ibnu Majah).
Dalam Islam, jaminan kesehatan untuk seluruh rakyat adalah tanggung jawab penguasa yang wajib diberikan. Bila perlu secara gratis (cuma-cuma), alias tidak membayar sama sekali. Sebab Islam melarang penguasa membebani rakyatnya apalagi sampai melebihi kesanggupan. Sabda Rasul saw.,
“Imam (Khalifah) adalah raa’in (pengurus rakyat) dan ia bertanggung jawab atas pengurusan rakyatnya.” (HR Al-Bukhari)
Pernah dalam sebuah riwayat disebutkan, ketika sekelompok orang dari Kabilah ‘Urainah masuk Islam. Mereka lalu jatuh sakit di Madinah. Rasulullah saw. yang juga bertindak sebagai kepala negara saat itu meminta mereka untuk tinggal di tempat penggembalaan unta zakat yang dikelola Baitul Mal di dekat Quba’. Mereka diperbolehkan minum air susu unta secara gratis sampai pulih. (HR Al-Bukhari dan Muslim)
Dalam riwayat lain oleh Abu Daud, sebagaimana penuturan Jabir ra., bahwa Rasulullah saw. pernah mengirim seorang dokter kepada Ubay bin Kaab (yang sedang sakit). Dokter kemudian memotong salah satu urat Ubay bin Kaab lalu melakukan kay (pengecoran dengan besi panas) pada urat itu.
Dapat terlihat betapa penerapan Islam membawa pada kemuliaan dan kesejahteraan segenap manusia, tanpa kecuali. Kiranya tiada pilihan lain selain mengambil Islam secara kafah, dari hulu hingga ke hilir. Niscaya berkah tercurah, selamat di dunia hingga kelak di hari yang tiada pertolongan kecuali dari Allah Swt. dan Rasulullah saw. Yakin saja. Wallahu a’lam.
Komentar