Desakralisasi Agama, Benarkah Nyata?
Semakin sukar saja rasanya menolak realita pada judul di atas. Penistaan terhadap agama yang berisiko memunculkan sikap desakralisasi makin mewujud jadi nyata. Terbaru, terjadi penembakan dan teror di Kantor MUI (Majelis Ulama Indonesia) Pusat menyebabkan dua orang mengalami luka-luka, dan beberapa kaca Kantor MUI pecah. Setelah ditelusuri, ditemukan kartu identitas pelaku berinisial MNR berusia 60 tahun dengan pekerjaan sehari-hari sebagai petani. Terungkap, MNR pernah berdakwah keliling mengaku sebagai wakil Nabi Muhammmad Saw., namun tidak ditanggapi serius oleh warga sekitar termasuk oleh MUI (republika.co.id, 2/5/2023).
Sejenak menjenguk hasil penelusuran yang dilakukan tim kumparannews tahun 2021, kasus penistaan agama dari tahun ke tahun terus meningkat. Puncaknya terjadi pada tahun 2020, terdapat 20 kasus. Data juga menunjukkan bahwa agama Islam merupakan agama yang paling sering dihina. Ada 51 kasus penistaan agama Islam dalam 10 tahun terakhir yang mirisnya, dilakukan mayoritas oleh oknum di kalangan umat Muslim sendiri (kumparannews.com, 27 Agustus 2021).
Dengan tren di atas, bukan mustahil hal sama juga terjadi di tahun -tahun terakhir sampai kini. Sebut saja soal azan, zikir, menginjak kitab suci Al-Qur’an, miras yang dinamakan dengan nama Nabi, labelisasi masjid radikal dan tidak, perbedaan waktu sholat Idul Fitri hingga penembakan atas kantor MUI oleh seseorang yang mengaku wakil Nabi. Parahnya lagi, kasus serupa tidak hanya di negeri tercinta kita, tapi juga di dunia. Salah satunya seperti yang belum lama terjadi yaitu aksi pembakaran Kitab Suci Al Quran di Swedia yang dilakukan oleh politisi ekstremis Rasmus Paludan dengan penjagaan dan legalisasi dari berwenang di Swedia (cnbcindonesia.com, 28/1/2023).
Kejadian demi kejadian yang terus berulang, membuktikan bahwa sanksi hukum yang ada saat ini dalam bingkai ideologi kapitalisme gagal membuat insyaf. Justru sukar dibantah kalau kapitalismelah yang memberikan ruang kebebasan tanpa batas. Bahkan salah satu yang menjadi tonggak penyangga tegaknya ideologi buatan manusia ini adalah kebebasan yang sepenuhnya dijamin oleh negara. Tanpa disadari dampak dari gaya hidup bebas suka-suka ini luar biasa, lambat laun rasa cemas dan takut untuk berbuat maksiat yang notabene mendatangkan dosa, terkikis lalu hilang lenyap tanpa sisa menjelma menjadi sikap meremehkan agama atau desakralisasi agama.
Berbeda jauh yang ada dalam sistem Islam, Islam sangat menjaga agama dan ajarannya. Dalam naungan syariahnya, mustahil tumbuh subur para penista agama seperti saat ini. Karena risalah Islam selain agama yang mengatur ibadah yang bersifat spiritual juga merupakan way of life alias pedoman hidup. Menuntun mulai dari perkara dari yang terkecil level individu atau pribadi seperti makanan, minuman dan berpakaian hingga level masyarakat dan negara layaknya ekonomi, pendidikan, kesehatan sampai pada tata cara bagaimana mengatasi tindakan menista agama.
Bercermin kepada sejarah Islam bagaimana ketegasan Islam terhadap penista agama bisa kita lihat dari sikap Khalifah Abdul Hamid di masa kekhilafahan Utsmani saat merespons pelecehan kepada Rasulullah saw. Saat itu, beliau memanggil duta besar Perancis untuk meminta penjelasan atas niat Perancis yang akan menggelar teater yang melecehkan Nabi saw. Beliau berkata pada duta Perancis, “Akulah Khalifah umat Islam Abdul Hamid! Aku akan menghancurkan dunia di sekitarmu jika kamu tidak menghentikan pertunjukan tersebut!”
Bahkan pernah terjadi pada zaman Rasulullah saw., “ada kisah seorang sahabat buta yang memiliki budak wanita yang setiap hari menghina Nabi Muhammad saw.. Suatu malam dia menghina Nabi saw kembali, sehingga sahabat buta itu membunuhnya. Keesokan harinya, Nabi mendengar kabar tersebut dan membenarkan sahabat buta itu” (HR Abu Daud).
Hal itu menunjukkan gambaran betapa tegas kepemimpinan dalam Islam melindungi umat dari para penista dan menjaga kemurnian ajaran syariat yang Rasulullah diutus dengannya. Hanya saja tiada ketegasan yang dimaksud sebelumnya tanpa tegaknya syariah Islam secara totalitas dalam kehidupan sebagai konsekuensi dari keimanan. Wajar bila semakin banyak yang merindukan kehadiran risalah yang diwariskan Rasulullah saw. kembali hadir secara kaffah di tengah umat kini, bagaimana dengan anda? Wallahua’lam.
Komentar