Jaminan Kesehatan dalam Islam
Rancangan Undang-Undang Kesehatan masih menuai pro-kontra di tengah masyarakat. Bahkan sejak tahun lalu pasca diumumkan menjadi Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas tahun 2023, para profesi kesehatan telah menolaknya.
Berbagai alasan dikemukakan, baik karena dinilai tidak transparan saat penyusunannya, juga dianggap akan melemahkan profesi dan terjadi kapitalisasi kesehatan. Apalagi pada pasal 233-239 draf RUU Kesehatan belum menjelaskan secara rinci kualifikasi dokter WNA seperti apa yang diizinkan praktik di dalam negeri. Meskipun nantinya akan ada peraturan pemerintah yang mengatur tentang evaluasi kompetensi, STR sementara, SIP, dan mekanisme teknis pemberian izin.
IDI sendiri meminta agar memperketat izin praktik dokter warga negara asing (WNA) di Indonesia. Lebih jauh IDI berharap agar pemerintah fokus pada perbaikan pelayanan kesehatan ketimbang impor dokter asing. Dalam pemerintahan yang berbasis sekularisme, kapitalisasi kesehatan tak pelak menjadi sulit dihindari. Nilai materi akan selalu menjadi tujuan dan prioritas aktivitas manusia.
Hal ini tentu akan membahayakan tenaga medis negeri sendiri, sebab mesti bersaing dengan dokter-dokter asing. Begitu pun masyarakat secara umum, harus merogoh saku lebih dalam demi mendapatkan layanan kesehatan yang berkualitas. RUU Kesehatan tampaknya bukanlah solusi jitu bagi persoalan kesehatan yang dihadapi saat ini. Alih-alih menuntaskan, justru tenaga medis dan masyarakat akan terkena dampaknya.
Pengaturan Kesehatan dalam Islam
Hal ini berbeda dengan Islam yang memberi jaminan kesehatan terhadap semua warga negara. Seluruh sarana, prasarana dan tenaga medis berada dalam pengaturan Islam. Negara menyediakan pengadaan faskes, alkes, tenaga kesehatan, obat-obatan, hingga riset dan pengembangan sistem kesehatan.
Para khalifah menjadi ra’in dan junnah (pengatur dan pelindung) bagi rakyatnya. Tidak seperti dalam sistem kapitalisme, hubungan pemimpin dan rakyat, hanya sebatas bisnis semata. Prinsip penjagaan kesehatan pun diterapkan sejak preventif (pencegahan), kuratif (pengobatan), rehabilitatif (pemulihan) hingga promotif (peningkatan kesehatan).
Sistem persanksian pun ditegakkan dengan seperangkat aturan beserta para penegak hukum seperti syurthah (polisi) dan qadi hisbah (hakim untuk perkara publik) yang akan menutup celah penyimpangan dalam layanan kesehatan seperti pembiayaan yang tinggi, malpraktik dan sebagainya. Bahkan terdapat konsep kerumahsakitan atau Bimaristan menjadi khasanah kekayaan peradaban Islam pada masanya dahulu. Secara bahasa, bimaristan berasal dari Bahasa Persia yang berarti rumah sakit atau rumah penyembuhan orang sakit
Di masa Rasulullah saw, beliau telah menerapkan model pelayanan kesehatan dengan membangun tenda-tenda untuk pertolongan medis bagi mujahid perang khandaq. Kemudian Khalifah Ummayah al-Walid bin Abd al-Malik membangun Bimaristan pertama di Damaskus pada tahun 707 Masehi, dengan beberapa staf dokter dan apoteker profesional.
Sedangkan di Baghdad, Khalifah Harun Al-Rashid menginstruksikan tim pelayanan kesehatan di bawah pimpinan Jabril ibn Bukhtishu mendirikan Bimaristan. Selanjutnya Bimaristan berkembang di Mesir, Libia, Tunisia, Aljazair, Marokko, Turki, Spanyol. Bimaristan tidak hanya mengurusi pasien, ia juga memiliki ruang kuliah, dapur, apotek, perpustakaan, masjid. Bangsal-bangsal pria dan wanita terpisah. Dan masih dibagi lagi berdasarkan penyakitnya.
Bimaristan bukan lembaga bisnis, sehingga siapapun boleh berobat ke sana. Tidak ada pasien yang ditolak. Pelayanannya gratis dan berkualitas. Sebab seluruh tenaga medis bekerja sama menyehatkan pasien dengan landasan takwa.
Bagi masyarakat yang tinggal jauh, akan dikunjungi dan mendapat layanan oleh petugas kesehatan, hingga pulih. Inilah sebaik-baik jaminan kesehatan yang diberikan penguasa terhadap rakyatnya. Bukan nostalgia, konsep jaminan kesehatan yang berlandaskan ketaatan pada Allah SWT ini masih bisa diterapkan di era modern seperti sekarang ini.
Wa idzaa maridhtu fa huwa yasyfiin
Komentar