Penegakan Hukum Sekuler Melahirkan Kezaliman

Penegakan Hukum Sekuler Melahirkan Kezaliman

 

Kasus kecelakaan lalu lintas mahasiswa UI berinisial HAS beberapa waktu lalu, yang melibatkan purnawirawan Polri, AKBP Eko Setio Budi Wahono tengah ramai disoroti publik. Kecelakaan yang terjadi di daerah Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan pada tanggal 6 Oktober 2022. Korban meninggal dunia akibat kecelakaan itu dan dimakamkan pada tanggal 7 Oktober 2022.

 

Menurut Dirlantas Polda Metro Jaya, menjelaskan alasan kenapa HAS dijadikan tersangka karena kelalaian sendiri, bukan karena kelalaian Eko. Pihak kepolisian memberikan penjelasan bahwa kecelakaan terjadi ketika cuaca dalam kondisi hujan dan jalanan licin. Korban disebut mengendarai sepeda motornya dengan kecepatan 60 km/jam. Masih menurut keterangan polisi, pada saat yang sama Eko tengah mengendarai mobilnya di lajur tersebut dengan kecepatan 30 km/jam, Eko sudah tidak bisa menghindar, sehingga motor korban menabrak kendaraan yang Eko kendarai.

 

Ibu HAS, Dwi Syafiera Putri didampingi kuasa hukum keluarga mengungkap bahwa pernah menjalani mediasi yang digelar pihak kepolisian terkait kasus kecelakaan anaknya. Selama proses mediasi berlangsung, Ira merasa seperti disidang oleh pihak kepolisian, dan memisahkan dengan kuasa hukumnya. (CNN Indonesia).

 

Dari kronologi yang terjadi, seolah ada kejanggalan yang dipertontonkan kepada publik. Korban tabrak lari yang sudah meninggal justru dijadikan tersangka oleh pihak kepolisian. Terlebih pihak kepolisian mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) yang harusnya sesuai dengan aturan. Hal ini membuat gaduh dan pembahasan berbagai kalangan. Di kalangan mahasiswa mereka akan mengawal kasus ini hingga tuntas, sehingga korban dan keluarga mendapat keadilan.

 

Aparat kepolisian sebagai pihak penegak hukum bertugas untuk mengayomi dan melindungi rakyat dari ketidak-amanan, tindak kejahatan ataupun kezaliman. Sikap dan perlakuan aparat penegak hukum yang diperlihatkan kepada publik justru sebaliknya. Yakni saat pelaku kejahatan adalah seorang pejabat atau pengurus sebuah instansi atau perusahaan, sedangkan korban tidak memiliki harta apalagi jabatan, maka dengan berbagai alasan penegak hukum menghentikan kasus yang tengah terjadi. Bahkan tidak jarang justru kasus berakhir korban yang menjadi tersangka.

 

Ironi, Indonesia yang katanya negara hukum, tetapi tidak jarang kasus berakhir dengan ketidakadilan. Hukum tumpul ke atas, sulit menyentuh orang-orang berduit dan tajam ke bawah. Begitu mudah dan gampangnya hukum menjerat orang-orang yang hidupnya sulit. Tidak jarang hukum dijadikan ajang bisnis, agar terhindar dari jeratan hukum atas kejahatan yang dilakukannya.

 

Adapun masalahnya memang sangatlah mendasar, yaitu paradigma yang digunakan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Pada ujungnya akan memengaruhi sistem yang diterapkan sebagai aturan yang diberlakukan dalam menyelesaikan seluruh problematika kehidupan. Termasuk diantaranya sistem hukum dan sanksi.

 

Dalam pandangan sekuler kapitalistik, demokrasi yang diadopsi dan dijalankan negara hari ini, sistem hukum dan sanksi yang diberlakukan termasuk dalam salah satu wewenang kelembagaan dari tiga lembaga kekuasaan yang ada, yaitu kekuasaan yudikatif yang menyertai kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif.

Indonesia sebagai negara penganut demokrasi, menjalankan prinsip pembagian tiga kekuasaan ala trias politika. Penerapan prinsip ini dipandang sebagai langkah baik dalam menjalankan sistem pemerintahan yang efektif. Melalui pembagian kekuasaan ini dipercaya mampu mencegah penyalahgunaan wewenang yang akan merugikan negara dan rakyatnya.

 

Teori yang manis yang diklaim itu mustahil mewujud dalam kenyataan. Sebab dalam sistem demokrasi, yang berasal dari hasil pemikiran manusia. Semua aturan akan berujung pada manusia yang membuatnya. Dalam sistem demokrasi, lazim terjadi perselingkuhan antara pengusaha dan penguasa yang menciptakan aturan yang pro kepentingan kelompok mereka. Bagaimana bisa sistem yang mengagungkan buah pikir manusia, akan lahir aturan yang akan memberikan keadilan bagi semua pihak.

 

Hukum yang ada justru menjadi alat kepentingan bagi segelintir orang. Sekaligus menjadi senjata untuk menelikung atau menjatuhkan lawan politik sebagaimana yang sering terjadi di dunia nyata. Walhasil, terciptanya keadilan dalam sistem demokrasi saat ini hanya sekadar halusinasi tanpa realisasi.

 

Keunggulan Hukum Islam

Dalam Islam upaya penegakan hukum terlebih dahulu akan dilakukan pembuktian. Setelah dilakukan proses pembuktian, lalu qadhi memberikan keputusannya. Apabila dari hasil pembuktian itu terbukti tidak bersalah, maka terdakwa akan menghirup bebas. Namun, jika sebaliknya qadhi akan memberikan putusan sanksi. Aturan negara dalam Islam didasarkan juga pada hukum syara. Karena itu, hukumannya pun akan disesuaikan dengan hukum syara’ yang berlaku.

 

Tegaknya keadilan diperlukan untuk kestabilan hidup berbangsa, bermasyarakat dan bernegara. Sesuatu yang melukai rasa keadilan terhadap sebagian masyarakat akan berakibat pada rusaknya kestabilan masyarakat secara menyeluruh, sebab rasa keadilan merupakan fitrah setiap manusia. Terdapat beberapa faktor yang mendukung tegaknya hukum dalam suatu negara, yaitu kaidah hukum, fasilitas, penegak hukum dan kesadaran hukum warga negara. Pelaksanaannya sangat terpengaruh pada penerapan sistem politiknya. Jika model politik adalah otoriter, besar kemungkinan hukumnya akan bercorak otoriter. Jika model politiknya demokrasi, kemungkinan hukumnya bergantung atas kepentingan penguasa dan kekuasaannya. Selalu terdapat subjektivitas hukum, tergantung siapa yang berkuasa saat itu.

 

Dalam Islam, penerapan hukum tidak mengenal situasi politik kekuasaan, tidak ada urusan dengan kepentingan individu, kelompok, atau golongan. Di hadapan Islam, semua orang adalah sama. Jika terbukti bersalah maka siapa pun dia, apakah pejabat atau rakyat, kaha atau miskin, pasti akan diadili menurut ketetapan yang terdapat dalam syariat Islam.

 

Keadilan hukum Islam sudah terbukti nyata dalam penerapannya. Inilah sejumlah keunggulan sistem Islam dibanding hukum sekuler. Aspek kaidah hukum, hak otoritas dalam pembuatan hukum hanyalah Allah Swt. Sementara hukum sekuler, kaidah yang diikuti adalah hasil pikiran manusia yang senantiasa berubah-ubah, rentan terjebak pada kepentingan, dan mudah termanipulasi.

 

Aspek penegak hukum dalam Islam akan membekali setiap warganya dengan ketakwaan dalam segala aspek kehidupan, yaitu rasa takut yang besar kepada Allah Swt. Bahwa setiap amal perbuatan yang dilakukan akan dimintai pertanggungjawaban kelak di akhirat. Penerapan sistem Islam secara kaffah dalam seluruh aspek akan melahirkan masyarakat Islam yang khas. Dengan begitu, dapat meminimalisasi segala perbuatan maksiat karena dorongan iman dan takwa dari setiap individunya.

 

Dalam sistem sekuler malah menampakan kebalikannya. Sistem ini justru meminggirkan peran agama dalam mengatur kehidupan. Walhasil, masyarakat hasil didikan sistem sekuler tidak menjadikan Islam sebagai panduan dalam beramal. Sekularisme telah mengikis keimanan dalam dada kaum muslim, sehingga kriminalitas meningkat dengan segala jenis kejahatan dan kebengisannya.

 

Untuk itu, negara wajib mewujudkan suasana iman dengan penegakan hukum yang tegas bagi setiap pelanggar maksiat. Cukuplah seorang Syuraih menjadi contoh bagi para penegak hukum di negeri ini. Ia seorang hakim yang adil. Meski menangani kasus yang berkaitan dengan penguasa saat itu, tetap menjalankan hukum sesuai pandangan syariat Islam. Keteladanan ini lahir dari sistem Islam yang terterapkan kala itu, yaitu tegaknya daulah Khilafah.

Wallahu’alam bishowwab.

 

 

Artikel Lainnya

Quo Vadis Generasi Muda?

Salah satu grup K-pop asal Korea Blackpink, baru saja menggelar konser di stadion utama Gelora Bung Karno (GBK) di Jakarta pada akhir pekan lalu, tepatnya tanggal 11 hingga 12 Maret 2023. Meskipun harga tiket konsernya mahal, tapi laris manis. Apakah ini menunjukan generasi muda yang hedon? dan bagaimana sikap penguasa terhadapnya?

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *