Balada Pekerja Indonesia, Jika Bisa dipersulit Mengapa dibuat Mudah?

Presiden Joko Widodo (Jokowi) telah menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja pada 30 Desember 2022. Salah satu poin yang jadi sorotan adalah perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT) atau pekerja kontrak. Meski sebenarnya aturan tentang penggunaan pegawai kontrak dalam Perpu tentang Cipta Kerja tak mengalami perubahan dari ketentuan yang termuat dalam Undang-undang Cipta Kerja. Namun telah memunculkan ketidak adilan bagi para pekerja Indonesia sendiri.

 

Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri manufaktur tengah terjadi dan dikhawatirkan semakin besar di awal tahun 2023 ini. Selain itu, kasus karyawan putus kontrak juga ternyata tidak sedikit. Serikat buruh memperkirakan jumlahnya lebih besar dari karyawan yang terkena PHK. Presiden Asosiasi Serikat Pekerja Indonesia (Aspek), Mirah Sumirat mengatakan,“Mungkin bisa seratus ribu lebih, ratusan ribu, karena mereka cenderung lebih mudah dilepas dibanding karyawan tetap yang harus diberi pesangon dan lainnya,” (CNBC Indonesia, 21/1/2023).

 

Berbeda dengan karyawan tetap yang cenderung lebih sulit dilepas karena ada sejumlah kewajiban, maka karyawan kontrak sangat mudah tidak dilanjutkan masa kerjanya. Ketika kontraknya habis, maka tinggal tidak diperpanjang. Nasib karyawan kontrak di industri padat karya lebih tragis dibanding pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Jika karyawan terkena PHK mendapat pesangon, maka karyawan kontrak harus menerima nasib begitu saja. Jumlah pekerja yang terputus kontraknya pun besar. “Bisa jadi seperti itu, 2x lipat dari yang terkena PHK (200.000) orang lebih, karena memang yang putus kontrak kan nggak pernah lapor,” kata Ketua Umum Asosiasi Produsen Serta dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta.

 

Ketidakadilan Penguasa Dalam Memberikan Lapangan Pekerjaan Pada Rakyatnya

 

Maraknya PHK adalah salah satu buah buruknya situasi ekonomi dunia. Namun ternyata regulasi yang dibuat negeri ini juga memudahkan PHK terjadi. Mirisnya, negara justru memberikan banyak kesempatan terbuka untuk pekerja asing. Baik karena perjanjian kerja sama yang mengharuskan tenaga kerja dari negara asal, ataupun kemudahan yang diberikan oleh negara dalam memberikan visa bekerja bagi orang asing.

 

Saat pandemi Covid-19 dua tahun lalu membuat jumlah tenaga kerja asing (TKA) di Indonesia menyusut. Menurut data Kementerian Ketenagakerjaan, sebelum pandemi jumlah TKA yang bekerja di Indonesia sekitar 109,55 ribu orang pada akhir 2019. Jumlah tersebut sudah meningkat dari beberapa tahun sebelumnya. Demikian pula sepanjang 2021, jumlahnya kembali menyusut 5,49 ribu orang (5,85%) menjadi 88,27 ribu pekerja.

 

Memasuki tahun 2022, jumlah TKA di Indonesia bertambah 8,3 ribu orang (9,4%), sehingga totalnya menjadi 96,57 ribu pekerja pada akhir Mei 2022. Hal ini terjadi seiring dengan dilonggarkannya pembatasan kegiatan sosial, yang berimbas pada tumbuhnya aktivitas ekonomi. Tiongkok tercatat sebagai negara asal TKA terbesar di Indonesia, diikuti Jepang, Korea Selatan dan India (katadata.co.id, 22/7/2022).

 

Sungguh miris, rakyat negeri sendiri dikalahkan oleh regulasi. Dan Negara ternyata lebih berpihak kepada orang asing daripada rakyatnya sendiri. Perppu Ciptaker yang disahkan presiden dan disebut inskontitusional oleh Mahkamah Agung itu pun telah memuat berbagai peraturan yang telah dibahas dalam undang-undang sebelumnya, termasuk ihwal pesangon bagi para pekerja yang terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Pekerja yang terkena PHK paling sedikit mendapatkan 1 bulan upah, yaitu berupa pesangon untuk mereka yang masa kerjanya kurang dari 1 tahun. Sangat rentan mengancam karyawan kontrak.

 

Persoalan lain yaitu upah sektoral yang dihilangkan, upah minimum perdarahan/kota besarannya tidak jelas dan terkait pasal 88D ayat 2 yang isinya, “Formula penghitungan upah minimum mempertimbangkan variabel pertumbuhan ekonomi, inflasi, dan indeks tertentu”. Jelas besaran upah makin tidak beraturan karena bukan tergantung pada kemampuan dan ketrampilan kerja. Justru faktor-faktoe di luar upah yang jadi penentu. Dan memang, dari tahun ke tahun persoalan upah tak bisa selesai begitu saja. Padahal sangatlah mudah, upah adalah kesepakatan antara pekerja dan pemilik pekerjaan, bukan ranah negara yang kemudian mematok harga upah padahal tak sesuai dengan kemampuan perusahaan dan penghargaan terhadap karyawan.

 

Inilah buah sistem ekonomi kapitalis , yang berpihak kepada pemilik modal, mengabaikan nasib rakyat kecil. Sehingga dampak pengangguran bagi masyarakat di antaranya: Meningkatkan kemiskinan. Memicu tindakan kriminalitas atau kejahatan. Munculnya ketidaksetaraan politik dan sosial. Berbagai berita di media sosial hari ini telah memberikan bukti nyata kepada kita, betapa sulitnya hidup hingga manusia cenderung menggunakan berbagai cara untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.

 

Mungkin masih hangat tentang maraknya mengemis di tik tok, yang melibatkan nenek-nenek mandi lumpur, sementara otak konten kreatornya adalah cucunya sendri, hingga Menteri Sosial Tri Rismaharini akhirnya mengeluarkan surat edaran yang melarang kegiatan mengemis baik dilakukan di media sosial maupun secara langsung. Risma mengimbau setiap kepala daerah untuk menindak tegas agar tren ini nggak semakin marak. Surat Edaran itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor 2 Tahun 2023 tentang Penertiban Kegiatan Eksploitasi dan/atau Kegiatan Mengemis yang Memanfaatkan Lanjut Usia, Anak, Penyandang Disabilitas, dan/atau Kelompok Rentan Lainnya. Surat tersebut sudah ditandatangani Risma pada Senin, 16 Januari lalu.

 

Namun hanya berhenti pada himbauan, mungkin lebih jauh adalah pembinaan namun, hidup terus berjalan, sistem kapitalisme jelas-jelas memendekkan perhatian mereka terhadap rakyat, pelayanan ala kadarnya ,bukan benar-benar memastikan individu rakyat ini hingga mandiri. Padahal secara fitrah, ada yang mampu ada yang tidak, dalam kapitalisme ini dianggap kelemahan dan penghambat proses produksi. Mereka tak bermodal bahkan tak berpendidikan. Semestinya negara hadir dalam kasus ini, sebab jaminan negara terhadap rakyatnya tak terbatas waktu. Hingga dalam Islam, jika memang individu rakyat ini menderita kelemahan permanen yang membuat mereka tak mampu mandiri, negara akan hadir untuk mengurus.

 

Pendeknya, negara akan memastikan seorang ayah, kepala keluarga atau para wali untuk mampu menafkahi keluarga dan kerabat yang menjadi tanggungannya sebagaimana perintah syariat. Baik dengan mekanisme langsung berupa uang, pembayaran utang dan lainnya maupun mekanisme tidak langsung berupa modal usaha baik bergerak maupun tidak bergerak, pendidikan, pelatihan,dan lainnya. Tujuannya adalah agar para ibu tidak tertarik dari ranah domestiknya yaitu pengatur rumah tangga dan pendidik anak.

 

Menjadi bencana besar ketika peran ibu yang utama hilang karena kejamnya kapitalisme, pastinya kerusakan sosial dan lemahnya generasi. Pada akhirnya negara juga yang akan menanggung risiko, hilang kedaulatan sebab anak bangsa tak mampu berpikir Kritis hingga muncul pembelaan luar biasa kepada negara.

 

Islam Lindungi Pekerja, Bahagiakan Pengusaha

 

Kondisi ini tak akan terjadi bila negara menerapkan politik dan sistem ekonomi Islam. Karena sistem Islam mengharuskan negara mengurus rakyatnya dan menjamin kesejahteraannya melalui berbagai aturan yang bersumber dari Allah dan RasulNya. Negara Khilafah, akan memastikan fungsi pemimpin adalah sebagai pelayan umat, ia adalah orang yang paling bertakwa hingga memiliki rasa takut kepada Allah dan RasulNya jika ada satu rakyat di dalam kekuasaannya menderita bahkan tak bisa memenuhi hajat hidupnya.

 

Maka, negara akan membuka lapangan pekerjaan bagi rakyatnya hingga tidak ada satupun kepala keluarga atau pria yang menanggung keluarga dan kerabatnya tidak memiliki pekerjaan. Di sisi lain, kebutuhan pokok yang enam, sandang, pangan, papan, kesehatan, pendidikan dan keamananan sepenuhnya negara yang menjamin pengadaannya, sehingga rakyat dalam profesi apapun sangat bisa menikmati kesejahteraan.

 

Negara tidak akan tinggal diam, akan tetap mengawasi pekerja agar tidak terjadi kezaliman, sehingga pengusaha merasa aman dalam berusaha. Terkait keahlian,jam kerja, jenis pekerjaan memang hanya perjanjian antara pencari kerja dan pemilik kerja, dan dari situlah ditentukan upah, pengusaha tidak akan bertambah berat bebannya dengan menanggung kesejahteraan pekerja, kewajiban itu beralih kepada negara, maka, nikmat mana yang akan kau dustai? Islam lengkap dalam peraturan hingga tak akan di dapati PHK massal bertubi-tubi dan hilangnya kesempatan untuk hidup sejahtera, Wallahu a’lam bish showab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Pekerja Dihantui oleh PHK Massal yang Terus Terjadi

PT Sepatu Bata Tbk (BATA) harus menghentikan operasi pabriknya di wilayah Purwakarta, Jawa Barat. Sebanyak 233 pekerja harus menghadapi kenyataan yang tidak menyenangkan, yaitu dipecat secara massal. Hal ini terjadi karena banyaknya penutupan pabrik di sektor padat karya di provinsi Jawa Barat, yang menjadi faktor yang melatarbelakangi fenomena ini. Ketua Bidang Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Disnakertrans Jawa Barat, Firman Desa, mengakui hal ini dalam wawancara dengan Evening Up CNBC Indonesia pada hari Sabtu (11/5/2024).

Sikap terhadap gelombang PHK ini menjadi hal yang disayangkan karena lambatnya respon pemerintah dalam mengatasi masalah ini. Sebab, tanda-tanda terjadinya pemutusan hubungan kerja telah muncul sejak tahun 2023, namun pemerintah sepertinya tidak terlalu memperdulikannya. Terlihat jelas kalau pemerintah tidak menekan arus impor, khususnya yang tidak sah dan malah lebih fokus pada tindakan operasi pasar barang ilegal bagi perusahaan-perusahaan yang berfokus pada pasar lokal. Tidak hanya itu, langkah pencegahan terhadap modernisasi mesin di beberapa perusahaan pun belum dilakukan dengan baik. Jika di masa mendatang perusahaan harus merumahkan karyawan, maka hal ini akan terjadi.

Ketika sistem ekonomi Islam diterapkan oleh negara, kemungkinan PHK kecil sekali terjadi. Sebab, prinsip ekonomi Islam adalah penyerapan pasar domestik yang didukung oleh negara dalam rangka memenuhi kebutuhan individu masyarakatnya. Ekspor bukan menjadi tujuan utama hasil produksi. Karena, sistem mata uangnya juga sudah sangat stabil, yaitu dengan menggunakan standar emas yaitu dinar dan dirham. Dengan demikian, negara tidak membutuhkan cadangan devisa mata uang negara lain karena semua transaksi akan menggunakan dinar atau dirham. Maka jelaslah hanya sistem ekonomi Islamlah yang mampu mengatasi masalah PHK.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *