Kado Awal Tahun, Pajak Jadi Alat Negara Malak Rakyat, Kapan Sejahtera?

Setelah euforia merayakan tahun baru, terompet, kembang api dan dentang jam beriringan dengan suara perhitungan mundur jam menuju angka 00.00 yang menandai pergantian tahun, habis-habisan, menyisakan sampah di sepanjang jalan, rakyat dihadapkan pada kenyataan bahwa kesulitan hidup masih ada. Tak berganti.

Resmi sejak 1 Januari 2023, sebagai kado awal tahun pemerintah menerapkan ketentuan baru terkait tarif pajak penghasilan (PPh) orang pribadi atau karyawan. Seperti biasa, pemerintah menggunakan kata Penyesuaian yang faktanya tidak pernah sesuai hingga hari ini. Penyesuaian tarif pajak tersebut dalam rangka menekan defisit anggaran dan meningkatkan tax ratio, sehingga pemerintah mengambil langkah kebijakan fiskal.

Kebijakan ini tertuang dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan yang telah ditandatangani Presiden Joko Widodo pada 20 Desember 2022. Dalam PP tersebut, setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak yang berupa penghasilan merupakan objek pajak. Artinya, setiap penghasilan yang diterima karyawan baik dari dalam maupun luar negeri akan dikenai pajak.

Namun untuk warga negara asing yang memiliki keahlian tertentu sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan, maka dikecualikan dari pengenaan PPh. Tarif pajak yang diterapkan atas Penghasilan Kena Pajak dibagi menjadi lima layer. Pertama, penghasilan sampai dengan Rp 60 juta dikenakan tarif pajak PPh sebesar 5%. Dengan demikian, karyawan dengan gaji Rp 5 juta per bulan harus membayar pajak PPh sebesar 5%, kedua Rp60 juta—Rp 250 juta (15%), ketiga Rp250 juta—Rp500 juta (25%), keempat Rp500 juta—Rp5 miliar (30%), dan kelima di atas Rp5 miliar (35%).

Ada ketidakadilan yang bermain disini, warga asing yang memiliki keahlian tertentu dikecualikan dari pengenaan PPh, sedangkan karyawan bergaji Rp5 juta malah terkena PPh. Jika dihitung dengan ketentuan beleid terbaru, karyawan bergaji Rp5 juta per bulan atau Rp60 juta per tahun, setiap tahunnya terkena PPh Rp300 ribu per tahun atau Rp25 ribu per bulan. Belum lagi dengan kebijakan amnesti pajak bagi orang kaya yang menyimpan kekayaan mereka di luar negeri. Mereka diberi keringanan bayar denda pajak, padahal kekayaan mereka tak semua dihitung oleh pemerintah.

Yang ada, rakyat miskin bertambah miskin, sedang yang kaya bertambah kaya, dengan gaji Rp5 juta per bulan, hari ini belum cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga secara layak. Harga bahan kebutuhan pokok, tarif air dan listrik, iuran BPJS, serta sejumlah fasilitas umum (kesehatan ataupun pendidikan), jalan tol tarifnya pun disesuaikan, tidak sebanding dengan gaji mereka.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati memang memberikan kelonggaran pajak terhadap beberapa kelompok masyarakat yang membutuhkan. Bahkan tidak sedikit yang akhirnya dibebaskan dari kewajiban tersebut. Kelompok masyarakat yang dimaksud adalah memiliki kriteria penghasilan di bawah Rp 4,5 juta per bulan atau Rp 54 juta per tahun. Penghasilan di bawah batas tersebut disebut sebagai penghasilan tidak kena pajak (PTKP). Sehingga tidak ada kewajiban untuk membayar pajak. Bukankah sama saja dengan bohong?

Pembebasan pajak juga diberikan kepada para pedagang yang usahanya dijalankan sendiri atau UMKM orang pribadi. Contohnya, para pedagang warteg, warung kopi dan warmindo dengan syarat omzet maksimal Rp 500 juta per tahun. Nyatanya, pelaku UMKM orang pribadi tak sebanyak rakyat biasa yang tak memiliki unit usaha. Tetap saja kebijakan bodong alias palsu.

Pemerintah keukeuh mengatakan bahwa pajak semata untuk rakyat. Padahal, rakyat tidak merasakan kebermanfaatan pajak lantaran semua yang diklaim dibangun oleh pajak atau disubsidi pajak, faktanya tetap mahal. Sebut saja tarif listrik dan air, ataupun Pertalite yang katanya telah disubsidi, harganya masih saja selangit. Belum lagi tarif KRL yang juga dibedakan kaya dan miskin, bukannya dibebaskan untuk semua rakyat. Tarif BPJS juga naik berikut kelasnya, lagi-lagi agar orang kaya tidak memakai fasilitas BPJS, padahal, BPJS banyak digunakan oleh orang miskin.

Belum lagi dengan tarif tol yang terus naik, padahal tak semua rakyat memanfaatkannya. Biaya pendidikan dan kesehatan, benar-benar membuat rakyat kelimpungan karena tak pernah cukup untuk kantong mereka.

Pemerintah juga mengklaim dengan menciptakan bracket baru, memberikan keberpihakan kepada masyarakat yang berpendapatan rendah dan yang memiliki pendapatan yang lebih besar, membayar lebih tinggi namun tentunya Penetapan Pajak Penghasilan di atas 5 juta adalah untuk menaikkan pendapatan negara.

Sistem Kapitalisme Menyengsarakan Rakyat.

Ini pula yang menjadi alasan pajak dipungut sepanjang tahun. Sebab negara hanya mengandalkan pajak sebagai sumber pendapatan negara. Maka tak heran jika negara akan terus mencari legitimasi untuk menambah pendapatan negara berupa pungutan pajak pada rakyat. Padahal pajak membebani rakyat di tengah kesulitan hidup yang ada.

Maka yang harus kita pahami, mengapa kemudian sistem kapitalisme hanya menyengsarakan rakyat karena pertama, sumber utama pendapatan negara adalah pajak. Kekayaan alam yang dimiliki oleh negeri ini yang seharusnya menjadi hak milik umum, melalui kerjasama ekonomi atau penandatanganan bilateral maupun multilateral beralih menjadi milik asing atau korporat. Akibatnya yang dirasakan rakyat adalah efek domino, dimana ketika sumber energi dimiliki asing, rakyat harus membeli, maka harga bahan kebutuhan pokok otomatis terkerek naik, transport demikian karena urusan distribusi tak mungkin jalan tanpa energi.

Ketika daya beli masyarakat menurun karena berbagai kebutuhan pokok tak terbeli, otomatis tingkat pembayaran pajak juga menurun, maka kapitalisme meniscayakan negara mengambil utang luar negeri agar pembiayaan operasional negara tetap lancar. Maka, sumber pendapatan negara berdasar kapitalisme kedua adalah utang. Disinilah krusialnya, sebab rentan negara kita kehilangan kedaulatannya dan mudah didikte asing. Termasuk mencampuri urusan dapur dalam negeri negara.

Tidak salah jika kita katakan pajak adalah alat memalak rakyat, ketika keuangan defisit, negara pasti mengotak-atik regulasi pajak agar pendapatan dari pajak makin tinggi. Demokrasi sebagai sistem politik turut melestarikan upaya pemalakan ini, sebab dalam praktiknya ada kekhususan pelayanan pungutan pajak bagi orang kaya, orang yang turut membidani lolosnya pemimpin kita hari ini. Sudah masyhur jika proses pemilihan pemimpin dalam demokrasi berbiaya mahal, pada pemilih modal inilah yang kemudian menciptakan kerjasama mutualisme simbiosis.

Ketika sudah menang maka seluruh kebijakan penguasa akan terwarnai dengan simbiosis ini. Dan inilah tata kelola pajak dalam demokrasi, walaupun rakyatnya sengsara, tetap saja rakyat yang disuruh membayar pajaknya. Sementara pengusahanya melenggang turut serta dalam pengesahan berbagai kebijakan.

Paradigma Pajak Dalam Islam

Paradigma Islam atau khilafah sangatlah berbeda . Pajak adalah pungutan insidental sesuai kondisi keuangan khilafah dan hanya dipungut dari rakyat yang kaya. Dalam Islam, pungutan pajak (dharîbah) hanya dipungut ketika kas negara atau Baitul mal dalam keadaan krisis. Artinya, pajak bersifat temporer (sewaktu-waktu/tidak terus-menerus).

Itu pun hanya diambil dari warga Muslim yang kaya saja (non-Muslim tidak dikenai pajak). Beda dengan pajak dalam sistem kapitalisme yang dipungut secara zalim dari semua warga negara, miskin dan kaya, bahkan dipungut dari beragam barang dan jasa, dan bersifat terus-menerus. Dan sepanjang sejarah Islam memimpin sangatlah jarang mendapati kondisi Baitul mal yang kosong. Ini karena Baitul mal memiliki sumber pemasukan melimpah, yaitu dari fai dan kharaj, juga kepemilikan umum dan sedekah. Dimana kepemilikan umum berupa tambang misalnya, haram untuk dikuasai swasta. Dari sini, pemasukan akan mengalir deras untuk Baitul mal.

Sudah selayaknya kita kaum muslim menerapkan syariat Islam secara Kaffah sebagai bentuk ketaatan kita kepada Allah SWT, Sang Khaliq dan Muddabir ( Pengatur). Sebab ,telah terbukti kapitalisme hanya memberi janji namun bukan pasti. Sementara Islam, selama 1300 tahun sukses memberikan keberkahan dari langit dan bumi kepada rakyat di dua pertiga dunia. Wallahu a’lam bish showab.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Artikel Lainnya

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *