Perempuan Aceh Bersuara : Islam Sebaik-baik Jalan Bukan UU TPKS

Seorang dukun BT (48) yang disebut Pesulap Hijau telah melakukan kekerasan seksual dalam bentuk pencabulan dan/atau persetubuhan, dengan modus pengobatan alternatif terhadap sejumlah ibu muda yang sedang ditinggal suami merantau di Kecamatan Padang Tiji, Pidie. Atas tindakannya BT disangkakan dengan Qanun Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Hukum Jinayat, yaitu Pasal 48 jo Pasal 52 dengan ancaman uqubat ta`zir cambuk sedikitnya 125 kali dan paling banyak 175 kali, atau denda paling sedikit 1.250 gram emas murni dan paling banyak 1.750 gram emas murni, atau penjara paling singkat 125 bulan dan paling lama 175 bulan.

Menanggapi  kekerasan seksual tersebut sejumlah lembaga mendesak agar diterapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2022 tentang Tindak Pidana Kekerasan Seksual  (UU TPKS).

YLBHI-LBH Banda Aceh menilai Penyidik Polres Pidie keliru menetapkan pelaku dengan Qanun Jinayat. Pihaknya beranggapan Qanun Jinayat tidak mengenal terminologi kekerasan seksual, namun hanya jarimah pemerkosaan dan pelecehan seksual. Kepala Operasional LBH Banda Aceh, Muhammad Qudrat  berpandangan bahawa UU TPKS lebih tepat diterapkan karena kasus pemerkosaan dan pelecehan seksual merupakan dua dari banyak bentuk tindak pidann kekerasan seksual (acehonline.co 26/10/2022).

Senada dengan itu Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) meminta proses hukum terhadap dukun BT dan kasus-kasus kekerasan seksual lainnya di Aceh mengacu pada UU TPKS. Menurutnya pengaturan kekerasan seksual di Qanun Jinayat memiliki permasalahan substantif intrinsik yang menghambat akses korban pada keadilan dan pemulihan (sindonews.com, 15/11/2022).

Derasnya suara-suara yang menjagokan UU TPKS sebagai solusi bagi kejahatan seksual di Aceh seolah mendistorsi sejumlah cacat bawaan yang dimiliki oleh UU TPKS.

Sebagai Muslim kita wajib menyandarkan seluruh aktivitas kita berdasarkan hukum Allah SWT, ini adalah konsekuensi keimanan. Maka standar perbuatan adalah halal dan haram. Islam sebagai akidah sekaligus way of life telah membingkai kehidupan termasuk interaksi laki-laki dan perempuan sedemikian sempurna dengan hukum-hukumnya yang mempu menjawab semua problematika kehidupan.

Kita harus jujur, menjamurnya fenomena kejahatan seksual apakah disebut kekerasan seksual atau pelecehan seksual, atau entah apalagi yang pada hakikatnya hendak mengaburkan bahwa semua perbuatan itu adalah sebuah kejahatan seksual tersebab tidak diterapkannya hukum Allah SWT sebagaimana yang Allah perintahkan.

Kita patut bertanya, mengapa dukun menjadi tempat mencari kebaikan? Entah itu untuk menjemput kesembuhan dari suatu penyakit atau solusi instan meraih tujuan? Kita harus mau jujur hal itu tersebab ketakwaan individu saat ini menjadi pekerjaan rumah bagi Muslim di Aceh.

Bagaimana pula dukun-dukun itu dapat terus eksis di tengah-tengah  masyarakat? Sekali lagi jangan malu mengakui hal tersebut karena kepeduliaan dan kepekaan kita sebagai warga kian tumpul. Kontrol sosial kian kendur sedangkan penguasa tidak lagi memposisikan diri dan lembaganya sebagai  perisai penjaga akidah warganya.

Disisi lain kita digempur oleh gelombang sekulerisme dari berbagai sisi. Sejumlah produk hukum menerjemahkan  sekaligus menerapkan Islam secara parsial dan setengah-setengah.  Lahirlah regulasi-regulasi dengan stempel syariah namun praktiknya masih jauh dari praktik hukum yang diterapkan baik di masa Rasulullah SAW maupun di masa kejayaan Peradaban Islam.

Terdapat sanksi bagi pelaku zina yang  hukumnya melulu jilid (cambuk) dan jilid. Tak lagi ditilik apakah muhsan (menikah)  atau ghairu muhsan (belum menikah). Apakah sukarela atau di paksa? Oleh karena itu wajar jika sanksi bagi pelaku kejahatan tidak mampu memberikan efek jera apalagi menjadi sarana penebus dosa si pelaku.

Padahal inilah ruh daripada penerapan hukum syariah, yaitu sebagai jawabir (paksaan)  dan zawazir (pencegahan). Wajar jika para predator seksual tidak kapok, coba jika mereka dirajam sampai mati, kemudian paksa  seluruh warga menyaksikan proses tersebut, masihkah angka kejahatan seksual itu meroket???

Oleh karena itu, sangat miris jika kita menaruh harap pada UU TPKS. Sebuah produk hukum yang ditempat asal penggaliannya saja telah kehilangan cara untuk memuliakan perempuan. Di antara hal-hal yang patut kita kuliti dari regulasi yang digadang sebagai solusi bagi kekerasan seksual di  Aceh adalah paradigma dari regulasi itu sendiri.

UU TPKS lahir dari sudut pandang yang tidak melibatkan Tuhan, karena ruang yang dihadirkan hanya sebatas akal manusia. Inilah ruang sekuler liberal. Para Pemuja  UU TPKS tidak pernah mau menggunakan frasa “kejahatan” pada pelaku kekerasan seksual atau pelecehan. Mengapa?

Karena mereka tidak mampu menyembunyikan ruh kebebasan, dimana ada kalanya aktivitas seksual itu suka-sama suka, sehingga menjadi boleh dan tidak apa-apa. Karena yang menjadi masalah adalah ketika aktivitas itu hanya diinginkan oleh sebelah pihak saja. Inilah yang disebut konsep persetujuan seksual  (sexual consent) yang memang telah tersimpan rapi sejak pertama kali (2014) Komnas Perempuan menginisiasi kebijakan ini.

Mengutip katadata.co.id pada 13/4/2022 Pengacara Publik LBH Jakarta, Citra Referendum, memberikan sepuluh kritik terhadap UU TPKS. Pertama, UU TPKS kurang tegas mengatur jaminan tindak pidana tidak akan berulang kembali sebagai asas undang-undangnya. Kedua, absennya pengaturan mengenai tindak pidana pemaksaan aborsi. Ketiga, tidak adanya definisi mengenai beberapa tindak pidana yaitu pemerkosaan, pemerkosaan terhadap anak, perbuatan cabul terhadap anak dan pemaksaan pelacuran. Padahal ini adalah poin-poin yang krusial sehingga berpotensi memunculkan multitafsir dalam pelaksanaannya.

Keempat, regulasi ini dinilai belum mengakomodasi sepenuhnya hak korban baik penanganan, perlindungan dan pemulihan. Kelima, hak korban terkait dengan pemberdayaan hukum, layanan rumah aman, dan hak untuk mendapatkan informasi juga belum  ter-akomodir. Keenam, belum adanya jaminan secara rinci mengenai kebutuhan korban. Ketujuh belum termaktubnya hak-hak keluarga korban.

Kedelapan, belum ada informasi teperinci tentang hak dan kewajiban untuk saksi. Kesembilan, belum tercakupnya penyebarluasan informasi penghapusan kekerasan seksual, penyediaan program, dan anggaran untuk pencegahan, pengadaan kebijakan untuk menghapus kekerasan seksual  bagi lembaga  negara serta komitmen penghapusan kekerasan seksual sebagai salah satu syarat perekrutan pejabat publik. Kesepuluh, belum memasukkan penghapusan kekerasan seksual dalam kurikulum pendidikan, dan pengadaan sistem data informasi kekerasan seksual yang terintegrasi.

Dari pemaparan di atas tampak jelas bahwa UU TPKS jauh dari kata komprehensif sehingga tidak layak untuk dijadikan solusi bagi kekerasan seksual. Justru solusi komprehensif itu terletak pada diterapkannya sistem Islam secara sempurna.

Penerapan sistem Islam meniscayakan terciptanya masyarakat yang bermartabat. Sistem pergaulan Islam akan mengatur interaksi warga secara terarah dan benar. Dari sisi ekonomi, negara menerapkan sistem ekonomi Islam, sehingga para istri tak perlu kehilangan qawwamah suami tersebab merantau jauh. Jika pun terjadi kejahatan, maka penerapan sistem persanksian Islam akan memangkas predator seksual karena sanksinya yang sangat  tegas.

Wallahu`alam

Artikel Lainnya

PERAN DAYAH DALAM MEMBANGUN PENDIDIKAN DI ACEH

Istilah Dayah sudah sangat populer dalam masyarakat Aceh. Hubugan Dayah dan masyarakat Aceh sudah terjalin sangat erat, sehingga keeradaan Dayah di tengah-tengah masyarakat sudah dapat diterima dan menjadi sebuah gebrakan perubahan untuk menciptakan suasana social kemasyarakatan yang aman, damai dan berpayungkan hukum-hukum Islam.
Keberadaan Dayah telah ada sejak masuknya agama Islam di Aceh yakni pada tahun 800 M. Pada masa itu para pedagang dan mubaligh yang datang dari Arab berlabuh di pesisir Sumatera. Selain melakukan perdagangan, para pedagang dan mubaligh ini juga sangat aktif dalam menyebarkan agama Islam. Untuk mempercepat proses penyebarannya maka didirikanlah tempat pendidikan Islam yang pada waktu berfungsi sebagai media transformasi pendidikan Islam kepada masyarakat. Sejarah mencatat bahwa Dayah tertua di Aceh adalah Dayah Cot Kala yang sudah berdiri sejak abad ketiga hijriah. Dayah ini menjadi pusat pendidikan Islam pertama di Asia Tenggara dengan tenaga-tenaga pengajar yang berasal dari Arab, Persia, dan India. Fungsi Dayah pada waktu itu masih terbatas untuk tujuan mengIslamisasikan masyrakat yang berada di sekitar Dayah dan untuk menjaga pengamalan-pengamalan masyarakat muslim di sekitar Dayah.
Pada masa itu Dayah lebih terfokus kepada materi-materi praktis, terutama dalam bidang tauhid, tasawuf dan fikih. Namun ketika peran Dayah Cot Kala sudah mulai terlibat dalam pemenuhan kepentingan keraajaan peureulak fungsinya berubah menjadi lebih besar dan mencakup ilmu-ilmu umum dan agama serta keahlian praktis. Dayah berasal dari kata Zawiyah, kata ini dalam bahasa Arab mengandung makna sudut, atau pojok Mesjid. Kata Zawiyah mula-mula dikenal di Afrika Utara pada masa awal perkembangan Islam, Zawiyah yang dimaksud pada masa itu adalah satu pojok Mesjid yang menjadi halaqah para Sufi, mereka biasanya berkumpul bertukar pengalaman, diskusi, berzikir dan bermalam di Mesjid. Dalam khazanah pendidikan Aceh, istilah Zawiyah kemudian berubah menjadi Dayah, seperti halnya perubahan istilah Madrasah menjadi Meunasah (Kanwil Kemenag Provinsi Aceh, 2022).
Dayah yang telah lebih dari seribu tahun berada di tengah-tengah perjalanan masyarakat Aceh, telah sangat banyak memberikan kontribusi pada bidang keilmuan masyarakat Aceh. Dalam sejarah dapat kita temukan bahwa Dayah telah menyajikan berbegai cabang ilmu, baik dalam bidang ilmu agama, kemasyarakatan, kenegaraan bahkan juga dalam bidang teknologi. Oleh karena itu alumni Dayah pada masa lalu benar-benar mendapat tempat dalam masyarakat, tidak hanya didaerah Aceh, bahkan juga ditingkat internasional.
Pada masa sekarang Dayah tetap masih terus memegang peran penting dalam pembinaan moral akhlak masyarakat Aceh dalam kehidupan sehari-hari. Dayah juga merupakan salah satu lembaga Pendidikan Islam yang ada di Aceh dengan kurikulumnya mengajarkan tentang kitab-kitab kuning, mendidik santri menjadi kader-kader ulama di masa mendatang, dan Dayah juga merupakan salah satu pendidikan tertua di Aceh
Dayah sebagai lembaga yang sangat mampu memberdayakan masyarakat untuk mengembangkan potensi fitrah manusia, sehingga mereka dapat memerankan diri secara maksimal sebagai hamba Allah yang beriman dan bertakwa, serta esksistensi Dayah juga masih semakin diakui dalam memainkan perannya di tengah-tengah masyarakat sebagai lembaga dakwah.
Sesuai yang dikutip dari KaKanwil Kemenag Aceh peningkatan jumlah Dayah di Aceh sangat pesat, tercatat ada 400 Dayah baru bertambah di Aceh hanya dalam kurun waktu 2 tahun, sehingga total jumlah saat ini ada 1.626. Dari jumlah ini terdapat 916 unit Dayah yang di dalamnya berbentuk madrasah atau sering disebut Dayah modern.
Semakin berkembang pesatnya jumlah Dayah di Aceh hal ini menunjukkan bahwa betapa pentingnya lembaga pendidikan Islam Dayah pada zaman ini. Oleh sebab itu fungsi Dayah tidak hanya untuk mendidik generasi-generasi muda agar bisa menguasai ilmu untuk menghadapi globalisasi, namun lembaga pendidikan Dayah juga harus menjadi agen perubahan sosial dalam masyarakat, sehingga dengan gerakan sosialnya diharapkan dapat terbentuknya masyarakat yang madani. Sehinggga eksistensi Dayah secara landasan sosial historisnya telah berperan aktif dan memilki ilmu untuk melakukan perubahan social dalam masyarakat.
Agama Islam juga memiliki konsep dalam perubahan social, yakni bahwa dakwah memiliki peran untuk memulihkan keseimbangan mengarahkan pembebasan, persaingan ataupun tampak dinamika budaya yang lain, sekaligus meletakkan pola dakwah dalam berbagai perspektif termasuk perspektif kultural. Dakwah pada wilayah ini, berfungsi sebagai Agent Of Sosial Change. Dakwah dalam wilayah ini menjadi pusat atau sentral setiap perubahan sosial, ia mengarahkan dan memberikan alternatif padanya, ia memanfaatkan budaya yang ada dan memolesnya dengan warna Islami.
Terjadinya perubahan sosial, juga sangat berpengaruh dalam proses dakwah Islam yang ada dikalangan masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari Cara pandang, cara berfikir dan cara bertindak masyarakat dapat berubah dengan drastis terhadap fenomena-fenomena yang ditemui dalam keberagaman masyarakat. Pada hal ini dakwah Islam harus mampu mengimbangi perubahan sosial yang terjadi di masyarakat untuk mengarahkan kepada hal-hal yang bersifat positif demi tegaknya dakwah di kalangan masyarakat serta seorang dai harus bisa memberikan solusi yang konstruktif sesuai dengan ajaran Islam yang dinamis, transformatif dan mengerakkan umat manusia untuk bangkit dari keterbelakangan menuju cahaya iman dan kemajuan ilmu pengetahuan. Hal ini bertujuan agar jalan dakwah dapat terus berlanjut dan lebih mudah diterima dalam kalangan masyarakat zaman ini.
Dayah dan masyarakat merupakan sebuah hubungan yang sudah terjalin erat sehingga keberadaan Dayah di tengah-tengah masyarakat dapat diterima dan menjadi sebuah gerakan perubahan dalam menciptakan suasana yang Islami bagi masyarakat itu sendiri kemudian masyarakat dan Dayah tidak lagi terjadi pertentangan baik dari pihak Dayah maupun dari kalangan masyarakat.
Oleh karena itu seluruh kegiatan atau aktivitas-aktivitas dakwah Dayah seperti majelis taklim di berbagai daerah di Aceh diharapkan nantinya dapat menciptakan berbagai perubahan social positif sehingga manfaatnya dapat dirasakan oleh orang banyak, serta dalam menjalankan aktivitas dakwahnya, sebab itu lembaga pendidikan Islam Dayah tidak hanya menajdikan hanya santri saja yang menjadi sasaran dakwahnya, akan tetapi seluruh elemen masyarakat juga yang di luar Dayah dapat mendapatkan ilmu tentang pengetahuan agama dari hasil aktivitas dakwah yang dilakukan Dayah dan perubahan social dapat dirasakan oleh masyarakat dari sebelum adanya Dayah hingga Dayah itu hadir di tengah-tengah masyarakat mampu memberikan perubahan, baik dari pengetahuan tentang agama maupun dalam proses pengamalan ibadah. (Hamdan 2017, 9: 119)

Sumber Gambar : NU Online.

Penulis Merupakan Mahasiswa Prodi Bimbingan Dan Konseling Islam, Institute Agama Islam Negeri Langsa, KKN-T(DR) Berbasis Medsos Smester Ganjil 2022-2023.

Teroris Musiman yang Tak Berkesudahan

Jelaslah agenda WoT adalah sarana AS untuk melawan Islam dan kaum muslimin serta untuk kepentingan hegemoninya di negeri-negeri Islam. Bagian paling menyedihkan adalah dukungan penguasa negeri Islam yang berkhianat terhadap umatnya. Tidak ada keuntungan sedikitpun dari gerakan ini karena serangkaian penangkapan terduga teroris dan framing berita di media massa selama ini selalu menyudutkan Islam. Hari ini terorisme selalu diidentikkan dengan Islam.

Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *